MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
------
GAGASAN
DASAR TENTANG KONSTITUSI
DAN
MAHKAMAH KONSTITUSI
Oleh: Jimly Asshidiqie[1]
Dalam perkembangan kehidupan
bernegara, konstitusi menempati posisi yang sangat penting. Pengertian dan
materi muatan konstitusi senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan
peradaban manusia dan organisasi kenegaraan.
Dengan meneliti dan mengkaji konstitusi, dapat diketahui prinsip-prinsip
dasar kehidupan bersama dan penyelenggaraan negara serta struktur organisasi
suatu negara tertentu. Bahkan nilai-nilai konstitusi dapat dikatakan mewakili
tingkat peradaban suatu bangsa.
Kajian
tentang konstitusi semakin penting dalam negara-negara modern saat ini yang
pada umumnya menyatakan diri sebagai negara konstitusional, baik demokrasi
konstitusional maupun monarki konstitusional. Konstitusi tidak lagi sekedar istilah
untuk menyebut suatu dokumen hukum, tetapi menjadi suatu paham tentang
prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan negara (konstitusionalisme) yang dianut
hampir di semua negara, termasuk negara-negara yang tidak memiliki konstitusi
sebagai dokumen hukum tertulis serta yang menempatkan supremasi kekuasaan pada
parlemen sebagai wujud kedaulatan rakyat.[2]
Untuk
memahami konstitusi dan supremasi konstitusi dapat dilakukan dengan melacak
akar sejarah peristilahan dan pengertiannya. Selain itu, supremasi konstitusi
juga dapat dipahami dari sisi legitimasi pembentukan serta tujuan dan
hakekatnya.
A. Akar Sejarah Istilah Konstitusi
Dari catatan
sejarah klasik terdapat dua perkataan yang berkaitan erat dengan pengertian
kita sekarang tentang konstitusi, yaitu dalam perkataan Yunani Kuno politeia dan perkataan bahasa Latin constitutio yang juga berkaitan dengan kata jus. Dalam kedua perkataan politeia dan constitutio itulah awal mula gagasan konstitusionalisme
diekspresikan oleh umat manusia. Kata politeia dari
kebudayaan Yunani dapat disebut yang paling tua usianya. Pengertiannya
secara luas mencakup
all
the innumerable characteristics which determine that state’s
peculiar nature, and these include its whole economic and social texture as
well as matters governmental in our narrower modern sense. It is a purely
descriptive term, and as inclusive in its meaning as our own use of the word
‘constitution’
when we speak generally of a man’s constitution or of the constitution of
matter.[3]
Dalam bahasa
Yunani Kuno tidak dikenal adanya istilah yang
mencerminkan pengertian kata jus
ataupun constitutio sebagaimana dalam tradisi Romawi yang datang kemudian.[4]
Dalam keseluruhan sistem berpikir para filosof Yunani Kuno, perkataan constitution adalah seperti apa yang kita maksudkan
sekarang ini. Perkataan
constitution di zaman Kekaisaran Romawi (Roman Empire), dalam bentuk bahasa
latinnya, mula-mula digunakan sebagai istilah teknis untuk menyebut the acts of legislation by the Emperor.[5]
Bersamaan dengan banyak aspek dari hukum Romawi yang dipinjam ke dalam sistem
pemikiran hukum di kalangan gereja, maka istilah teknis constitution juga dipinjam untuk menyebut peraturan-peraturan
eklesiastik yang berlaku di seluruh gereja ataupun untuk beberapa peraturan
eklesiastik yang berlaku di gereja-gereja tertentu (ecclesiastical province). Oleh karena itu, kitab-kitab Hukum Romawi
dan Hukum Gereja (Kanonik) itulah yang sering
dianggap sebagai sumber rujukan atau referensi paling awal mengenai penggunaan
perkataan constitution dalam sejarah.
Pengertian
konstitusi di zaman Yunani Kuno masih bersifat materiil,
dalam arti belum berbentuk seperti yang dimengerti di zaman modern sekarang.
Namun, perbedaan antara konstitusi dengan hukum biasa sudah tergambar dalam
pembedaan yang dilakukan oleh Aristoteles terhadap pengertian kata politea dan nomoi.
Pengertian politiea dapat disepadankan
dengan pengertian konstitusi, sedangkan nomoi
adalah undang-undang biasa. [6]
Politea mengandung kekuasaan yang lebih tinggi dari
pada nomoi, karena politea mempunyai kekuasaan membentuk
sedangkan pada nomoi tidak ada,
karena ia hanya merupakan materi yang harus dibentuk agar tidak
bercerai-berai. Dalam kebudayaan Yunani istilah konstitusi berhubungan erat dengan ucapan Respublica Constituere yang
melahirkan semboyan, Princeps Legibus Solutus Est, Salus Publica
Suprema Lex, yang
artinya ”Rajalah yang berhak menentukan struktur organisasi negara, karena
dialah satu-satunya pembuat undang-undang”.
Di Inggris,
peraturan yang pertama kali dikaitkan dengan istilah konstitusi adalah “Constitutions of Clarendon 1164”
yang disebut oleh Henry II sebagai constitutions,
avitae constitutions or leges, a recordatio vel recognition,[7]
menyangkut hubungan antara gereja dan pemerintahan negara di masa pemerintahan kakeknya, yaitu Henry I.
Isi peraturan yang disebut sebagai konstitusi tersebut masih bersifat eklesiastik,
meskipun pemasyarakatannya dilakukan oleh pemerintahan sekuler. Namun, di
masa-masa selanjutnya, istilah constitutio itu sering pula dipertukarkan satu sama lain
dengan istilah lex atau edictum
untuk menyebut berbagai secular
administrative enactments. Glanvill sering menggunakan kata constitution untuk a
royal edict (titah raja atau ratu). Glanvill juga mengaitkan Henry II’s writ creating the remedy by grand
assize as ‘legalis is a constitutio’,[8]
dan menyebut the assize of novel
disseisin sebagai a recognitio
sekaligus sebagai a constitutio. [9]
Beberapa
tahun setelah diberlakukannya Undang-Undang Merton pada tahun 1236, Bracton menulis artikel yang menyebut salah satu
ketentuan dalam undang-undang itu sebagai a
new constitution, dan mengaitkan satu bagian dari
Magna Carta yang dikeluarkan kembali pada tahun 1225
sebagai constitutio libertatis. Dalam waktu yang hampir bersamaan (satu zaman),
Beauma-noir di Perancis berpendapat bahwa “speaks of the remedy in novel disseisin as ’une nouvele constitucion’
made by the kings”. Ketika itu dan selama beradab-abad sesudahnya, perkataan
constitution selalu diartikan sebagai
a particular administrative enactment
much as it had meant to the Roman lawyers. Perkataan constitution ini dipakai untuk membedakan antara particular enactment dari consuetudo atau ancient custom (kebiasaan).
Pierre
Gregoire Tholosano (of Toulouse), dalam bukunya De Republica (1578) menggunakan kata constitution dalam arti yang hampir sama dengan
pengertian sekarang.[10]
Hanya saja kandungan maknanya lebih luas dan lebih umum, karena Gregoire
memakai frase yang lebih tua, yaitu status
reipublicae. Dapat dikatakan bahwa di zaman ini, arti perkataan constitution tercermin dalam pernyataan
Sir James Whitelocke pada sekitar tahun yang sama, yaitu “the natural frame and constitution
of the policy of this Kingdom, which is jus publicum regni”. Bagi James Whitelocke, jus publicum regni itulah yang merupakan
kerangka alami dan konstitusi politik bagi kerajaan.
Dari sini,
kita dapat memahami pengertian konstitusi dalam dua konsepsi. Pertama, konstitusi
sebagai the natural frame of the state yang dapat ditarik ke belakang dengan
mengaitkannya dengan pengertian politeia dalam tradisi Yunani Kuno. Kedua, konstitusi
dalam arti jus publicum regni, yaitu the public law of the realm. Cicero[11]
dapat disebut sebagai sarjana pertama yang menggunakan perkataan constitutio dalam pengertian kedua ini, seperti tergambar
dalam bukunya “De Res Publica”. Di lingkungan Kerajaan Romawi (Roman Empire), perkataan constitutio ini dalam bentuk Latinnya
juga dipakai sebagai istilah teknis untuk menyebut the acts of legislation by the Emperor. Menurut Cicero, “This
constitution
(haec constitution) has a great measure of equability without which men can
hardly remain free for any length of time”. Selanjutnya dikatakan oleh Cicero:
Now
that opinion of Cato becomes more certain, that the constitution of the republic (consitutionem rei publicae)
is the work of no single time or of no single man.
Pendapat
Cato dapat dipahami secara lebih pasti bahwa konstitusi republik bukanlah hasil kerja satu waktu
ataupun satu orang, melainkan kerja kolektif dan akumulatif. Oleh karena itu,
dari sudut etimologi, konsep klasik mengenai konstitusi dan konstitusionalisme
dapat ditelusuri lebih mendalam dalam perkembangan pengertian dan penggunaan
perkataan politeia dalam
bahasa Yunani dan perkataan constitutio dalam bahasa Latin, serta hubungan di antara keduanya
satu sama lain di sepanjang sejarah pemikiran maupun pengalaman praktik
kehidupan kenegaraan dan hukum.
Perkembangan-perkembangan
demikian itulah yang pada akhirnya mengantarkan umat manusia pada pengertian
kata constitution itu dalam bahasa Inggris modern. Dalam Oxford Dictionary, perkataan constitution dikaitkan dengan beberapa arti,
yaitu: “… the act of establishing or of
ordaining, or the ordinance or regulation so established”. Selain itu,
kata constitution juga diartikan
sebagai pembuatan atau penyusunan yang menentukan hakikat sesuatu (the “make” or composition which determines
the nature of anything). Oleh karena itu, constitution dapat pula dipakai untuk menyebut “… the body or the mind of man as well as to external objects”.
Dalam
pengertiannya yang demikian itu, konstitusi selalu dianggap “mendahului” dan “mengatasi”
pemerintahan dan segala keputusan serta peraturan lainnya. A Constitution, kata Thomas Paine, “is
not the act of a government but of the people constituting a government”.[12]
Konstitusi disebut mendahului, bukan karena urutan waktunya, melainkan dalam
sifatnya yang superior dan
kewenangannya untuk mengikat. Oleh sebab itu, Charles Howard McIlwain menjelaskan:
In
fact, the traditional notion of constitutionalism before the late eighteenth
century was of a set of principles embodied in the institutions of a nation
and neither external to these nor in existence prior to them.[13]
Secara
tradisional, sebelum abad ke-18, konstitutionalisme memang selalu dilihat
sebagai seperangkat prinsip-prinsip yang tercermin dalam kelembagaan suatu
bangsa dan tidak ada yang mengatasinya dari luar serta tidak ada pula yang
mendahuluinya.
Perkembangan konstitusi dan konstitusionalisme juga
dapat dilacak pada peradaban negara-negara Islam. Ketika bangsa Eropa berada dalam
keadaan kegelapan pada abad
pertengahan (the dark age), di Timur Tengah tumbuh dan berkembang pesat peradaban baru di
lingkungan penganut ajaran Islam. Atas pengaruh Nabi Muhammad SAW, banyak
sekali inovasi-inovasi baru dalam kehidupan umat manusia yang dikembangkan
menjadi pendorong kemajuan peradaban. Salah satunya ialah penyusunan dan
penandatanganan persetujuan atau perjanjian bersama di antara kelompok-kelompok
penduduk kota Madinah untuk bersama-sama membangun struktur
kehidupan bersama yang di kemudian hari berkembang menjadi kehidupan kenegaraan
dalam pengertian modern sekarang. Naskah persetujuan bersama itulah yang selanjutnya dikenal sebagai Piagam Madinah (Madinah
Charter).
Piagam
Madinah ini dapat disebut sebagai piagam tertulis
pertama dalam sejarah umat manusia yang dapat dibandingkan dengan pengertian
konstitusi dalam arti modern. Piagam ini dibuat atas
persetujuan bersama antara Nabi Muhammad SAW dengan wakil-wakil penduduk kota
Madinah tak lama setelah beliau hijrah dari Mekkah ke Yastrib, nama kota Madinah sebelumnya, pada
tahun 622 M. Para ahli menyebut Piagam
Madinah tersebut dengan berbagai macam istilah yang berlainan satu sama lain.[14]
Para pihak
yang mengikatkan diri atau terikat dalam Piagam Madinah yang berisi perjanjian masyarakat Madinah (social
contract) tahun 622 M ini ada tiga belas kelompok komunitas yang secara
eksplisit disebut dalam teks Piagam. Ketiga belas komunitas itu adalah (i) kaum
Mukminin dan Muslimin Muhajirin dari suku Quraisy Mekkah, (ii) Kaum Mukminin dan Muslimin dari
Yatsrib, (iii) Kaum Yahudi dari Banu ‘Awf, (iv) Kaum Yahudi dari Banu
Sa’idah, (v) Kaum Yahudi dari Banu al-Hars, (vi) Banu Jusyam, (vii) Kaum Yahudi
dari Banu Al-Najjar, (viii) Kaum Yahudi dari Banu ‘Amr ibn ‘Awf, (ix) Banu
al-Nabit, (x) Banu al-‘Aws, (xi) Kaum Yahudi dari Banu Sa’labah, (xii) Suku
Jafnah dari Banu Sa’labah, dan (xiii) Banu Syuthaybah.
Secara
keseluruhan, Piagam Madinah tersebut berisi 47 pasal. Pasal 1, misalnya,
menegaskan prinsip persatuan dengan menyatakan: “Innahum ummatan wahidatan min duuni al-naas” (Sesungguhnya mereka
adalah ummat yang satu, lain dari (komunitas) manusia yang lain).[15]
Dalam Pasal 44 ditegaskan bahwa “Mereka (para pendukung piagam) bahu membahu
dalam menghadapi penyerang atas kota Yatsrib (Madinah)”. Dalam Pasal 24 dinyatakan “Kaum
Yahudi memikul biaya bersama kamu mukminin selama
dalam peperangan”. Pasal 25 menegaskan bahwa “Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah
satu umat dengan kaum mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kamu
mukminin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri
mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan yang jahat. Hal demikian akan
merusak diri dan keluarganya sendiri.” Jaminan persamaan dan persatuan dalam
keragaman tersebut demikian indah dirumuskan dalam Piagam ini, sehingga
dalam menghadapi musuh yang mungkin akan menyerang kota Madinah, setiap warga
kota ditentukan harus saling bahu membahu.
Dalam
hubungannya dengan perbedaan keimanan dan amalan keagamaan, jelas ditentukan
adanya kebebasan beragama. Bagi orang Yahudi sesuai dengan agama mereka, dan bagi kaum
mukminin sesuai dengan agama mereka pula. Prinsip kebersamaan ini bahkan lebih
tegas dari rumusan al-Quran mengenai prinsip lakum diinukum walya diin (bagimu agamamu, dan bagiku agamaku)
yang menggunakan perkataan “aku” atau “kami” versus “kamu”. Dalam piagam
digunakan perkataan mereka, baik bagi orang Yahudi maupun bagi kalangan
mukminin dalam jarak yang sama dengan Nabi.
Selanjutnya, pasal terakhir, yaitu Pasal 47 berisi ketentuan penutup yang
dalam bahasa Indonesianya adalah:
Sesungguhnya
piagam ini tidak membela orang zalim dan khianat. Orang yang keluar (bepergian)
aman, dan orang yang berada di Madinah aman, kecuali orang yang zalim dan khianat.
Allah adalah penjamin orang yang berbuat baik dan taqwa. (tertanda Muhammad
Rasulullah SAW).[16]
Dapat dikatakan bahwa lahirnya Piagam Madinah pada abad ke 7 M itu merupakan inovasi yang
paling penting selama abad-abad pertengahan yang memulai suatu tradisi baru
adanya perjanjian bersama di antara kelompok-kelompok masyarakat untuk
bernegara dengan naskah perjanjian yang dituangkan dalam bentuk yang tertulis.
Piagam Madinah ini dapat disebut sebagai konstitusi tetulis pertama dalam sejarah umat manusia,
meskipun dalam pengertiannya sebagai konstitusi modern yang dikenal dewasa
ini, Konstitusi Amerika Serikat tahun 1787-lah yang pada umumnya dianggap
sebagai konstitusi tertulis pertama. Peristiwa penandatangan Piagam Madinah itu dicatat oleh banyak ahli
sebagai perkembangan yang paling modern di zamannya, sehingga mempengaruhi
berbagai tradisi kenegaraan yang berkembang di kawasan yang dipengaruhi
oleh peradaban Islam di kemudian hari. Bahkan pada masa setelah
Nabi Muhammad SAW wafat, kepemimpinan dilanjutkan oleh empat khalifah pertama
yang biasa dikenal dengan sebutan Khalifatu al-Rasyidin, yaitu Abubakar, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, dan Ali ibn Abi Thalib.
B. Konstitusi dan Kedaulatan
Berlakunya
suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan
atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu
negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber
legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah paham
kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi.
Hal inilah yang disebut oleh para ahli sebagai constituent power yang merupakan kewenangan yang berada di luar dan
sekaligus di atas sistem yang diaturnya.[17]
Untuk itu, di lingkungan negara-negara demokrasi liberal, rakyatlah yang menentukan berlakunya
suatu konstitusi.
Hal ini
dapat dilakukan secara langsung oleh rakyat misalnya melalui referendum,
seperti yang dilakukan di Irlandia pada tahun 1937, atau dengan cara tidak langsung
melalui lembaga perwakilan rakyat. Meskipun dalam pembukaan Konstitusi Amerika Serikat (preamble) terdapat perkataan “We
the people”, tetapi yang diterapkan sesungguhnya adalah sistem perwakilan,
yang pertama kali diadopsi dalam konvensi khusus (special convention) dan kemudian disetujui oleh wakil-wakil rakyat
terpilih dalam forum perwakilan negara yang didirikan bersama.
Dalam
hubungan dengan pengertian constituent
power tersebut di atas, muncul pula pengertian constituent act. Konstitusi adalah constituent
act, bukan produk
peraturan legislatif
yang biasa (ordinary legislative act).
Constituent power mendahului
konstitusi, dan konstitusi mendahului organ pemerintahan yang diatur dan
dibentuk berdasarkan konstitusi itu. Seperti dikatakan oleh Bryce (1901), konstitusi tertulis merupakan:
The
instrument in which a constitution is embodied proceeds from a source different
from that whence spring other laws, is regulated in a different way, and exerts
a sovereign force. It is enacted not by the ordinary legislative authority but
by some higher and specially empowered body. When any of its provisions conflict
with the provisions of the ordinary law, it prevails and the ordinary law
must give way.[18]
Konstitusi bukanlah undang-undang biasa. Ia tidak
ditetapkan oleh lembaga legislatif yang biasa, tetapi oleh badan yang lebih
khusus dan lebih tinggi kedudukannya. Jika norma hukum yang terkandung di
dalamnya bertentangan dengan norma hukum yang terdapat dalam undang-undang,
maka ketentuan undang-undang dasar itulah yang berlaku, sedangkan
undang-undang harus memberikan jalan untuk itu (it prevails and the ordinary law must give way).
Oleh karena
itu, dikembangkannya pengertian constituent
power berkaitan dengan pengertian hierarki hukum (hierarchy of law). Konstitusi merupakan hukum yang paling tinggi serta
paling fundamental sifatnya, karena konstitusi merupakan sumber legitimasi atau landasan
otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan perundang-undangan lainnya. Sesuai
dengan prinsip hukum yang berlaku universal, maka agar peraturan-peraturan
yang tingkatannya berada di bawah undang-undang dasar dapat berlaku dan diberlakukan,
peraturan-peraturan itu tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih
tinggi. Atas dasar logika demikian, maka Mahkamah Agung Amerika Serikat menganggap dirinya memiliki kewenangan untuk
menafsirkan dan menguji materi peraturan produk legislatif (judicial review) terhadap materi
konstitusi, meskipun Konstitusi Amerika tidak secara eksplisit memberikan kewenangan
demikian kepada Mahkamah Agung (The
Supreme Court).[19]
C. Gagasan Modern Pengertian Konstitusi
Menurut
Brian Thompson, secara sederhana pertanyaan what is a constitution dapat dijawab bahwa “…a constitution is a document which contains the rules for the
operation of an organization”.[20]
Bagi setiap organisasi kebutuhan akan naskah konstitusi
tertulis itu merupakan sesuatu yang niscaya, terutama dalam organisasi yang
berbentuk badan hukum (legal body, rechtspersoon).
Demikian pula Negara, pada umumnya, selalu memiliki
naskah yang disebut sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar.
Dalam
pengertian modern, negara pertama yang dapat dikatakan menyusun konstitusinya
dalam satu naskah UUD seperti sekarang ini adalah Amerika Serikat (United
States of America) pada tahun 1787.[21]
Sejak itu, hampir semua negara menyusun naskah undang-undang dasarnya. Beberapa
negara yang dianggap sampai sekarang
dikenal tidak memiliki Undang-Undang Dasar dalam satu naskah tertulis adalah
Inggris, Israel, dan Saudi Arabia.[22]
Undang-Undang Dasar di ketiga negara ini tidak pernah
dibuat tersendiri, tetapi tumbuh menjadi konstitusi dari aturan dan pengalaman
praktik ketatanegaraan.[23]
Namun, para
ahli tetap dapat menyebut adanya konstitusi dalam konteks hukum tata negara Inggris, yaitu sebagaimana
dikemukakan oleh Phillips Hood and Jackson sebagai:
a
body of laws, customs and conventions that define the composition and powers of
the organs of the State and that regulate the relations of the various State
organs to one another and to the private citizen.[24]
Dengan
demikian, ke dalam konsep konstitusi itu tercakup juga pengertian peraturan
tertulis, kebiasaan, dan konvensi-konvensi kenegaraan (ketatanegaraan) yang
menentukan susunan dan kedudukan organ-organ negara, mengatur hubungan antara
organ-organ negara itu, dan mengatur hubungan organ-organ negara tersebut
dengan warga negara.
Semua
konstitusi selalu menjadikan kekuasaan sebagai pusat
perhatian, karena kekuasaan itu sendiri pada intinya memang perlu diatur dan
dibatasi sebagaimana mestinya. Constitutions,
menurut Ivo D. Duchacek, adalah “identify the sources, purposes, uses and restraints of public power”[25]
(mengidentifikasikan sumber-sumber, tujuan-tujuan, penggunaan-penggunaan, dan
pembatasan-pembatasan kekuasaan umum). Pembatasan kekuasaan pada umumnya
dianggap merupakan corak umum materi konstitusi. Oleh sebab itu pula,
konstitutionalisme, seperti dikemukakan oleh Friedrich, didefinisikan
sebagai “an institutionalised system of
effective, regularised restraints upon governmental action”.[26] Dalam
pengertian demikian, persoalan yang dianggap terpenting dalam setiap
konstitusi adalah pengaturan mengenai pengawasan atau pembatasan terhadap
kekuasaan pemerintahan.[27]
Selain itu, terdapat pendapat beberapa sarjana terkait
dengan pengertian dan pemahaman tentang konstitusi. Pandangan beberapa sarjana mengenai
konstitusi dapat dikatakan berlainan satu sama lain.
Ferdinand Lasalle (1825-1864), dalam bukunya “Uber Verfassungswessen” (1862), membagi
konstitusi dalam dua pengertian, yaitu:[28]
(i)
Pengertian
sosiologis dan politis (sociologische
atau politische begrip). Konstitusi dilihat sebagai sintesis antara
faktor-faktor kekuatan politik yang nyata dalam masyarakat (de riele machtsfactoren), yaitu misalnya
raja, parlemen, kabinet, kelompok-kelompok penekan (preassure groups), partai politik, dan sebagainya. Dinamika hubungan
di antara kekuatan-kekuatan politik yang nyata itulah sebenarnya apa yang
dipahami sebagai konstitusi;
(ii)
Pengertian
juridis (juridische
begrip). Konstitusi dilihat sebagai satu naskah hukum yang memuat
ketentuan dasar mengenai bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan
negara.
Ferdinand
Lasalle sangat dipengaruhi oleh aliran pikiran
kodifikasi, sehingga menekankan pentingnya pengertian juridis mengenai konstitusi. Di samping sebagai cermin hubungan
antar aneka kekuatan politik yang nyata dalam masyarakat (de riele machtsfactoren), konstitusi
itu pada pokoknya adalah apa yang tertulis di atas kertas undang-undang dasar
mengenai lembaga-lembaga negara, prinsip-prinsip, dan sendi-sendi dasar
pemerintahan negara.
Ahli lain, yaitu Hermann
Heller mengemukakan tiga pengertian konstitusi, yaitu:
(i)
Die politische verfassung als gesellschaftlich wirklichkeit. Konstitusi dilihat dalam arti politis dan sosiologis
sebagai cermin kehidupan sosial-politik yang nyata dalam masyarakat;
(ii)
Die verselbstandigte rechtsverfassung. Konstitusi dilihat dalam arti juridis sebagai suatu kesatuan kaedah hukum yang hidup
dalam masyarakat;
(iii)
Die geschreiben verfassung. Konstitusi yang tertulis dalam suatu naskah
undang-undang dasar sebagai hukum yang tertinggi yang berlaku dalam suatu
negara.
Menurut
Hermann Heller, undang-undang dasar yang tertulis
dalam satu naskah yang bersifat politis, sosiologis, dan bahkan bersifat
juridis, hanyalah merupakan salah satu
bentuk atau sebagian saja dari pengertian konstitusi yang lebih luas, yaitu konstitusi yang hidup
di tengah-tengah masyarakat. Artinya, di samping konstitusi yang tertulis itu, segala
nilai-nilai normatif yang hidup dalam kesadaran masyarakat luas, juga termasuk
ke dalam pengertian konstitusi yang luas itu. Oleh karena itu pula, dalam
bukunya “Verfassungslehre”, Hermann Heller membagi konstitusi
dalam 3 (tiga) tingkatan, yaitu:
1)
Konstitusi dalam pengertian Sosial-Politik. Pada tingkat
pertama ini, konstitusi tumbuh dalam pengertian sosial-politik. Ide-ide konstitusional dikembangkan
karena memang mencerminkan keadaan sosial politik dalam masyarakat yang bersangkutan
pada saat itu. Konstitusi pada tahap ini dapat digambarkan sebagai
kesepakatan-kesepakatan politik yang belum dituangkan dalam bentuk hukum tertentu,
melainkan tercerminkan dalam perilaku nyata dalam kehidupan kolektif warga masyarakat;
2)
Konstitusi dalam pengertian Hukum. Pada tahap kedua
ini, konstitusi sudah diberi bentuk hukum tertentu, sehingga
perumusan normatifnya menuntut pemberlakuan yang dapat dipaksakan.
Konstitusi dalam pengertian sosial-politik yang dilihat sebagai kenyataan tersebut di
atas, dianggap harus berlaku dalam kenyataan. Oleh karena itu, setiap
pelanggaran terhadapnya haruslah dapat dikenai ancaman sanksi yang pasti;
3)
Konstitusi dalam pengertian Peraturan Tertulis. Pengertian
yang terakhir ini merupakan tahap terakhir atau yang tertinggi dalam perkembangan
pengertian rechtsverfassung yang
muncul sebagai akibat pengaruh aliran kodifikasi yang menghendaki agar berbagai
norma hukum dapat dituliskan dalam naskah yang bersifat resmi. Tujuannya
adalah untuk maksud mencapai kesatuan hukum atau unifikasi hukum (rechtseineheid), kesederhanaan hukum (rechtsvereenvoudiging), dan kepastian
hukum (rechtszekerheid).
Namun,
menurut Hermann Heller, konstitusi tidak dapat dipersempit maknanya hanya
sebagai undang-undang dasar
atau konstitusi dalam arti yang tertulis sebagaimana yang lazim dipahami
karena pengaruh aliran kodifikasi. Di samping undang-undang dasar yang tertulis,
ada pula konstitusi yang tidak tertulis yang hidup dalam kesadaran hukum
masyarakat.
Ahli lain yang pemikirannya banyak terkait dengan konstitusi adalah Carl
Schmitt. Menurut Carl
Schmitt, konstitusi dapat dipahami dalam 4 (empat) kelompok
pengertian. Keempat kelompok pengertian itu adalah: (a) konstitusi dalam arti
absolut (absoluter verfassungsbegriff),
(b) konstitusi dalam arti relatif (relativer
verfassungsbegriff), (c) konstitusi dalam arti positif (der
positive verfassungsbegriff), dan (d) konstitusi dalam arti ideal (idealbegriff der verfassung).
Keempat kelompok
pengertian tersebut dapat dirinci lagi menjadi 8 (delapan) pengertian, yaitu
(1) Konstitusi dalam arti absolut (Absolute Verfassungsbegriff). Dalam arti
absolute, arti konstitusi dapat dibedakan dalam 4 (empat) macam,
yaitu: (i) konstitusi sebagai cermin dari de
reaale machtsfactoren, (ii) Konstitusi dalam arti absolut sebagai forma-formarum (vorm der vormen), (iii) konstitusi dalam arti absolut
sebagai factor integratie, (iv)
konstitusi dalam arti absolut sebagai norma-normarum
(norm der normen); (2) Konstitusi dalam arti relatif (Relatieve Verfassungsbegriff) yang dapat dibagi lagi menjadi 2
(dua), yaitu (v) konstitusi dalam arti materiel (Constitutite in Materiele Zin) dan (vi) konstitusi dalam arti
formil (Constitutite in Formele Zin);
Sedangkan dua arti yang terakhir adalah (3) Konstitusi dalam arti positif (Positieve Verfassungsbegriff) sebagai
konstitusi dalam arti yang ke-7, dan (vii) konstitusi dalam arti ideal (Idealbegriff der verfassung)
sebagai konstitusi
dalam arti yang ke-8 (viii).
Konstitusi dalam Arti Absolut (Absolute Verfassungsbegriff) sebagai cermin dari de reele machtsfactoren dipahami
sebagai sekumpulan norma-norma hukum dasar yang terbentuk dari
pengaruh-pengaruh antar berbagai faktor kekuasaan yang nyata (de reele machtsfactoren) dalam suatu negara.
Berbagai faktor kekuasaan yang nyata itu adalah raja, pemerintah/kabinet,
parlemen, partai-partai politik, kelompok penekan (pressure groups) atau kelompok
kepentingan, pers, lembaga peradilan, lembaga-lembaga yang menjalankan
fungsi-fungsi kekuasaan negara lainnya, dan semua organisasi yang ada dalam
negara yang bersangkutan.
Dengan
perkataan lain, semua kekuatan politik yang ada dalam negara itu secara nyata mempengaruhi
terbentuknya norma-norma dasar yang kemudian tersusun menjadi apa yang disebut
sebagai konstitusi itu. Oleh karena itu, seperti dalam pandangan
Ferdinand Lassalle,[29]
konstitusi itu menggambarkan hubungan-hubungan antar faktor-faktor kekuasaan
yang nyata (de riele machts factoren)
dalam dinamika kehidupan bernegara. Di dalam pengertian pertama ini, konstitusi
dianggap sebagai kesatuan organisasi yang nyata yang mencakup semua bangunan
hukum dan semua organisasi-organisasi yang ada di dalam negara. [30]
Konstitusi dalam Arti Absolut (Absolute Verfassungsbegriff) sebagai forma-formarum (vorm der vormen) dilihat sebagai vorm atau bentuk dalam arti ia mengandung ide
tentang bentuk negara, yaitu bentuk yang melahirkan bentuk lainnya atau vorm der vormen, forma-formarum. Bentuk negara yang dimaksud di sini adalah negara
dalam arti keseluruhannya (sein ganzheit),
yang dapat berbentuk demokrasi yang bersendikan identitas atau berbentuk
monarki yang bersendikan representasi. Dalam kaitan ini, ada 3 (tiga) asas (staatsprincipe) yang dapat ditarik
dari pengertian demikian, yaitu (i) principe
van de staatsvorm, asas dari bentuk negara; (ii) principe van en uit de staatsvorm, yaitu asas dari atau yang timbul
dari bentuk negara; dan (iii) regeringsprincipe
atau asas pemerintahan.
Asas bentuk
negara (principe van staatsvorm) mencakup
prinsip kesamaan atau identiteit dan representatie. Identiteit merupakan asas-asas yang berhubungan dengan bentuk demokrasi, di mana bagi rakyat yang memerintah
dan yang diperintah berlaku prinsip persamaan identitas atau identik satu sama
lain. Sedangkan, representatie atau
perwakilan merupakan asas yang berhubungan dengan prinsip bahwa yang memerintah
dipandang sebagai wakil dari rakyat (representant
van het volk).
Mengapa dalam demokrasi terdapat sendi identitas dan dalam monarki
terdapat sendi representasi? Demokrasi, baik langsung maupun tidak langsung,
bersendi pada rakyat yang memerintah dirinya sendiri, sehingga antara yang
memerintah dan yang diperintah bersifat identik yaitu sama-sama rakyat.
Dalam monarki, asas yang dipakai adalah representasi karena baik raja maupun
kepala negara dalam negara yang demokratis hanya merupakan wakil atau mandataris
dari rakyat, karena pada dasarnya kekuasaan itu ada pada rakyat dan berasal
dari rakyat.[31]
Sementara
itu, asas dari atau yang timbul dari bentuk negara (principe van en uit de staatsvorm) mencakup asas-asas dari bentuk
negara (principe van de staatsvorm)
dan asas atau sendi-sendi dasar tertib negara (principe uit de staatsvorm). Menurut Carl Schmitt, para sarjana klasik dan modern
seperti tercermin dalam pandangan Arsitoteles dan Hans Kelsen, sama-sama memandang pentingnya
prinsip kebebasan (vrijheid, freedom)
dan persamaan (gelijkheid, equality)
sebagai sandaran bagi sistem demokrasi modern.
Konstitusi dalam Arti Absolut (Absolute Verfassungsbegriff) sebagai factor integratie melihat konstitusi sebagai faktor integrasi. Secara teoritis (integration theory), integrasi itu
sendiri dapat dibedakan ke dalam tiga macam, yaitu (i) persoonlijke integratie, (ii) zakelijke
integratie, dan (iii) functioneele
integratie. Persoonlijke integratie
mengandaikan jabatan kepemimpinan sebagai faktor integrasi, misalnya,
presiden. Sedangkan dalam zakelijke
integratie, yang menjadi faktor penentu adalah hal-hal yang objektif dan zakelijk, bukan yang bersifat subjektif
atau persoonlijk. Misalnya, dikatakan
bahwa bangsa Indonesia dipersatukan di bawah
satu kesatuan sistem konstitusi berdasarkan UUD 1945, sesuai dengan prinsip the rule of law, and not of man. Bangsa
Indonesia juga dipersatukan sebagai bangsa oleh satu bahasa persatuan atau
bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia. Sementara itu, integrasi fungsional
(functioneele integratie) adalah faktor
integrasi yang bersifat fungsional, baik dalam arti yang konkrit atau dalam
arti yang abstrak.
Dalam arti
fungsional yang konkrit, misalnya, integrasi melalui pemilihan umum (pemilu)
atau referendum yang mempersatukan perhatian segenap warga negara ke arah
satu tujuan, yaitu menentukan pilihan politik mengenai siapa yang akan ditetapkan
duduk menjadi wakil rakyat atau pejabat publik tertentu. Sedangkan, integrasi yang bersifat
abstrak dan simbolis, misalnya, adalah bendera dan lambang garuda Pancasila yang dapat pula berfungsi sebagai faktor
integrasi fungsional (functioneele
integratie).
Konstitusi dalam Arti Absolut (Absolute Verfassungsbegriff) sebagai norma-normarum (norm der normen) melihat norma dasar (grund norm) adalah norma yang menjadi dasar bagi terbentuk dan
berlakunya norma hukum lainnya. Suatu norma berlaku karena didasarkan atas
norma yang lebih tinggi, dan demikian seterusnya sampai ke norma yang paling
tinggi yaitu grund norm. Oleh karena
itu, setiap norma dibentuk oleh norma yang lebih tinggi, norma-normarum atau norm der
normen. Berhubung dengan itu, norma dasar yang tertinggi berfungsi sebagai ursprung atau tempat asal mulanya norma
diturunkan, sehingga grund norm itu
disebut juga dengan ursprungsnorm
atau norma asal. Di pihak lain, grund
norm itu sendiri pada pokoknya juga merupakan bentukan normatif yang bersifat
hipotesis. Untuk itu, grund norm
biasa disebut juga dengan hypothetisch
norm.
Konstitusi dalam Arti Relatif (Relatieve Verfassungsbegriff) sebagai konstitusi dalam Arti Materiel (Constitutite in Materiele Zin) dimaksudkan sebagai konstitusi yang terkait dengan kepentingan
golongan-golongan tertentu dalam masyarakat (proces relativering).[32]
Golongan dimaksud terutama adalah golongan borjuis liberal yang menghendaki
adanya jaminan supaya hak-haknya tidak dilanggar oleh penguasa. Jaminan itu
diletakkan dalam Undang-Undang Dasar yang ditulis sehingga orang tidak mudah
melupakannya dan juga tidak mudah hilang serta dapat dijadikan alat bukti (bewijsbaar) apabila seseorang memerlukannya.
Dalam arti yang kedua ini, konstitusi dapat pula dibagi lagi ke dalam dua sub
pengertian yakni (i) konstitusi sebagai tuntutan dari golongan borjuis
liberal agar hak-haknya dijamin tidak dilanggar oleh penguasa, dan (ii)
konstitusi dalam arti formil atau konstitusi yang tertulis.
Konstitusi dalam Arti Relatif (Relatieve Verfassungsbegriff) sebagai konstitusi dalam Arti Formil (Constitutie in Formele Zin) yang juga memunculkan pertanyaan apakah yang dimaksud
dengan konstitusi dalam arti materiil (constitutie
in materiele zin)? Konstitusi dalam arti materiil adalah konstitusi yang dilihat dari segi isinya. Isi
konstitusi itu menyangkut hal-hal yang bersifat dasar atau pokok bagi rakyat
dan negara. Karena pentingnya hal-hal yang bersifat dasar atau pokok bagi
rakyat dan negara tersebut, maka untuk membuat konstitusi itu diperlukan prosedur yang khusus.
Prosedur khusus itu dapat dilakukan sepihak, dua pihak, atau banyak pihak.
Prosedur itu dilakukan sepihak karena ia merupakan kehendak dari satu orang
yang menamakan dirinya eksponen dari rakyat atau seorang diktator. Bisa juga dilakukan
oleh dua pihak karena Konstitusi merupakan hasil persetujuan dari dua golongan
dalam masyarakat yaitu misalnya antara rakyat di satu pihak dan Raja di lain
pihak pada zaman abad pertengahan. Sedangkan, bisa banyak pihak dikarenakan
Konstitusi itu merupakan hasil persetujuan dari banyak pihak yaitu antara
wakil-wakil rakyat yang duduk dalam suatu badan yang bertugas membuat
Konstitusi (badan Konstitusi).
Hasil dari persetujuan
atau perjanjian itu diletakkan dalam suatu naskah tertulis. Di sinilah muncul
pengertian yang sama antara konstitusi dalam arti formil (constitutie in formele zin) dan konstitusi dalam arti tertulis (gedocumenteerd constitutie). Padahal, keduanya berbeda satu dengan
yang lain, karena konstitusi dalam arti formil (constitutie in materiele zin) itu pada pokoknya tidak selalu dalam
bentuk yang tertulis. Dalam pengertian konstitusi dalam arti formil, yang
terpenting adalah prosedur pembentukan konstitusi yang harus dilakukan secara khusus.
Kekhususan konstitusi merupakan keniscayaan, karena isi konstitusi itu sendiri
diakui sangatlah penting dan mendasar, yaitu berkenaan dengan perikehidupan
bernegara yang menyangkut nasib seluruh rakyat. Oleh karena itu, cara
membentuk, mengubah, dan mengganti konstitusi haruslah ditentukan
secara istimewa pula.
Selain beberapa
pengertian yang diuraikan
di atas, Carl Scmitt juga menyebut adanya pengertian konstitusi dalam arti positif (positieve verfassungsbegriff)[33]
yang dihubungkannya dengan ajaran mengenai dezisionismus
atau teori tentang keputusan. Dalam pandangan Carl Schmitt, Konstitusi dalam arti positif tersebut
mengandung pengertian sebagai produk keputusan politik yang tertinggi,[34]
yang dihubungkannya dengan terbentuknya Undang-Undang Dasar Weimar pada tahun 1919. Undang-Undang Dasar
Weimar itu sangat menentukan nasib rakyat seluruh Jerman, karena Undang-Undang Dasar itu
menimbulkan perubahan yang sangat mendasar terhadap struktur pemerintahan yang
lama ke stelsel pemerintahan yang baru.
Sistem pemerintahan lama yang didasarkan atas stelsel monarki di mana Raja memegang kekuasaan yang sangat kuat
dan sentral diubah oleh Konstitusi Weimar itu menjadi suatu pemerintahan dengan sistem
parlementer.
Dalam
hubungannya dengan Konstitusi pada arti positif atau the positive meaning of the constitution, maka ajaran Profesor Carl Schmitt ini dapat pula diterapkan kepada
peristiwa-peristiwa yang terjadi di Indonesia. Misalnya, kita dapat mengajukan
pertanyaan apakah pembentukan Undang-Undang Dasar 1945 itu merupakan konstitusi dalam arti positif atau bukan? Dikarenakan
pembuatan Undang-Undang Dasar 1945 hanya merupakan salah satu di antara
keputusan-keputusan politik yang tinggi, maka ia belum merupakan Konstitusi
dalam arti positif. Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah
suatu Konstitusi dalam arti positif, karena ia merupakan satu-satunya
keputusan politik yang tertinggi yang dilakukan oleh bangsa Indonesia yang
merubah dari suatu bangsa yang dijajah menjadi bangsa yang merdeka.
Undang-Undang Dasar 1945 dilahirkan sesudah proklamasi
kemerdekaan, sebagai tindak lanjut dari proklamasi kemerdekaan itu.
Sedangkan konstitusi dalam Arti Ideal (Idealbegriff der verfassung)[35]
dilihat sebagai sesuatu yang diimpikan atau diidamkan oleh kaum borjuis liberal
seperti tersebut di atas sebagai jaminan bagi rakyat agar hak-hak asasinya
dilindungi. Pandangan ideal tentang konstitusi tersebut dapat dikatakan
lahir sesudah terjadinya Revolusi Perancis, di mana ketika itu yang menjadi
tuntutan golongan revolusioner Perancis adalah agar pihak penguasa tidak
melakukan tindakan yang sewenang-wenang terhadap rakyat.
D. Tujuan
dan Hakikat Konstitusi
Di kalangan
para ahli hukum, pada umumnya dipahami bahwa hukum
mempunyai tiga tujuan pokok, yaitu (i) keadilan (justice), (ii) kepastian (certainty
atau zekerheid), dan (iii)
kebergunaan (utility). Keadilan itu sepadan dengan keseimbangan (balance, mizan) dan kepatutan (equity), serta kewajaran (proportionality). Sedangkan, kepastian
hukum terkait dengan ketertiban (order)
dan ketenteraman. Sementara, kebergunaan diharapkan dapat menjamin bahwa semua
nilai-nilai tersebut akan mewujudkan kedamaian hidup bersama.
Oleh karena
konstitusi itu sendiri adalah hukum yang dianggap paling
tinggi tingkatannya, maka tujuan konstitusi sebagai hukum tertinggi itu juga
untuk mencapai dan mewujudkan tujuan yang tertinggi. Tujuan yang dianggap
tertinggi itu adalah: (i) keadilan, (ii) ketertiban, dan (iii) perwujudan
nilai-nilai ideal seperti kemerdekaan atau kebebasan dan kesejahteraan atau
kemakmuran bersama, sebagaimana dirumuskan sebagai tujuan bernegara oleh para
pendiri negara (the founding fathers and
mothers).
Sehubungan
dengan itulah maka beberapa sarjana merumuskan tujuan konstitusi itu seperti merumuskan tujuan negara, yaitu
negara konstitusional, atau negara berkonstitusi. Menurut J. Barents, ada 3
(tiga) tujuan negara, yaitu (i) untuk memelihara ketertiban dan ketenteraman,
(ii) mempertahankan kekuasaan, dan (iii) mengurus hal-hal yang berkenaan
dengan kepentingan-kepentingan umum.[36]Sedangkan,
Maurice Hauriou menyatakan bahwa tujuan konstitusi adalah
untuk menjaga keseimbangan antara (i) ketertiban (orde), (ii) kekuasaan (gezag),
dan (iii) kebebasan (vrijheid).[37]
Kebebasan
individu warga negara harus dijamin, tetapi kekuasaan negara juga harus berdiri
tegak, sehingga tercipta tertib bermasyarakat dan bernegara. Ketertiban itu
sendiri terwujud apabila dipertahankan oleh kekuasaan yang efektif dan
kebebasan warga negara tetap tidak terganggu. Sementara itu, G.S. Diponolo merumuskan tujuan konstitusi ke dalam lima kategori, yaitu (i) kekuasaan,
(ii) perdamaian, keamanan, dan ketertiban, (iii) kemerdekaan, (iv) keadilan,
serta (v) kesejahteraan dan kebahagiaan.[38]
E. Supremasi Konstitusi Dan Negara Hukum
Ide negara
hukum sesungguhnya telah lama dikembangkan oleh para filsuf dari zaman Yunani
Kuno sejalan dengan perkembangan pemahaman konstitusi itu sendiri. Plato, dalam bukunya “the
Statesman” dan “the Law” menyatakan bahwa negara hukum merupakan bentuk
paling baik kedua (the second best) guna mencegah kemerosotan kekuasaan
seseorang adalah pemerintahan oleh hukum. Konsep negara hukum modern di Eropa
Kontinental dikembangkan dengan menggunakan istilah Jerman yaitu “rechtsstaat”
antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan
lain-lain. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika konsep negara hukum
dikembangkan dengan sebutan “The Rule of Law” yang dipelopori oleh A.V.
Dicey. Selain itu, konsep negara hukum juga terkait dengan istilah nomokrasi (nomocratie)
yang berarti bahwa penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan negara adalah
hukum.[39]
Prinsip-prinsip
negara hukum senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta semakin kompleksnya kehidupan
masyarakat di era global, menuntut pengembangan prinsip-prinsip negara hukum.
Dua isu pokok yang senantiasa menjadi inspirasi perkembangan prinsip-prinsip negara
hukum adalah masalah pembatasan kekuasaan dan perlindungan HAM. Saat ini,
paling tidak dapat dikatakan terdapat dua belas prinsip negara hukum, yaitu
Supremasi Konstitusi (supremacy of law),
Persamaan dalam Hukum (equality before
the law), Asas Legalitas (due process
of law), Pembatasan Kekuasaan (limitation
of power), Organ Pemerintahan yang Independen, Peradilan yang Bebas dan
Tidak Memihak (independent and impartial judiciary), Peradilan Tata
Usaha Negara (administrative court),
Peradilan Tata Negara (constitutional
court), Perlindungan Hak Asasi Manusia, Bersifat Demokratis (democratische-rehtsstaats), Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan
Bernegara (Welfare Rechtsstaat), serta Transparansi dan Kontrol Sosial.[40]
Dalam suatu negara hukum, mengharuskan
adanya pengakuan normatif dan empirik terhadap prinsip supremasi hukum, yaitu
bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi.
Pengakuan normatif mengenai supremasi hukum terwujud dalam pembentukan norma
hukum secara hirarkis yang berpuncak pada supremasi konstitusi. Sedangkan
secara empiris terwujud dalam perilaku pemerintahan dan masyarakat yang
mendasarkan diri pada aturan hukum.
Dengan
demikian, segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan
perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tersebut
harus ada dan berlaku terlebih dulu atau mendahului perbuatan yang dilakukan.
Dengan demikian, setiap perbuatan administratif harus didasarkan atas aturan
atau rules and procedures.
Namun
demikian, prinsip supremasi hukum selalu diiringi dengan dianut dan
dipraktekkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peran
serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap
peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan mencerminkan
perasaan keadilan masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau
hanya untuk kepentingan penguasa. Hukum tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin
kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan
keadilan bagi semua orang. Dengan demikian negara hukum yang dikembangkan bukan
absolute rechtsstaat, melainkan democratische rechtsstaat.
Berdasarkan
prinsi negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan manusia.
Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak
pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah negara hukum menghendaki
adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi disamping merupakan
konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi
karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi.
F. Mahkamah Konstitusi
Agar konstitusi benar-benar menjadi hukum tertinggi,
maka ketentuan-ketentuan dasar konstitusional yang menjadi materi muatannya
harus dilaksanakan melalui peraturan perundang-undangan di bawah konstitusi.
Peraturan perundang-undangan, baik yang dibuat oleh legislatif maupun peraturan
pelaksana yang dibuat oleh eksekutif tidak boleh bertentangan dengan konstitusi
itu sendiri.
Salah satu upaya tersebut adalah membentuk peradilan
konstitusi seperti yang secara teoretis dikemukakan oleh Hans Kelsen. Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan
aturan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika
suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu
produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika
menurut organ ini produk hukum tersebut tidak konstitusional. Untuk itu dapat
diadakan organ khusus seperti pengadilan khusus yang disebut mahkamah
konstitusi (constitutional court), atau kontrol terhadap
konstitusionalitas undang-undang (judicial review) diberikan kepada
pengadilan biasa, khususnya mahkamah agung seperti di
Amerika Serikat. Organ
khusus yang mengontrol tersebut dapat menghapuskan secara keseluruhan
undang-undang yang tidak konstitusional sehingga tidak dapat diaplikasikan oleh
organ lain.[41]
George
Jellinek pada akhir abad ke-19 mengembangkan gagasan agar kewenangan judicial
review tersebut diterapkan di Austria, seperti yang telah diterapkan oleh
John Marshal di Amerika. Pada 1867, Mahkamah Agung Austria mendapatkan
kewenangan menangani sengketa yuridis terkait dengan perlindungan hak-hak
politik berhadapan dengan pemerintah. Pemikiran Kelsen yang telah diungkapkan
di atas, mendorong dibentuknya suatu lembaga yang diberi nama “Verfassungsgerichtshoft”
atau Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) yang berdiri sendiri
di luar Mahkamah Agung, sehingga model ini sering disebut sebagai “The
Kelsenian Model[42]”.
Gagasan ini diajukan ketika Kelsen diangkat sebagai anggota lembaga pembaharu
Konstitusi Austria (Chancelery) pada tahun 1919 – 1920 dan diterima
dalam Konstitusi Tahun 1920. Inilah Mahkamah Konstitusi pertama di dunia. Model
ini menyangkut hubungan antara prinsip supremasi konstitusi (the principle
of the supremacy of the Constitution) dan prinsip supremasi parlemen (the
principle of the supremacy of the Parliament). Mahkamah konstitusi ini
melakukan pengujian baik terhadap norma-norma yang bersifat abstrak (abstract
review) dan juga memungkinkan pengujian terhadap norma kongkrit (concrete
review). Pengujian biasanya dilakukan secara “a posteriori”,
meskipun tidak menutup kemungkinan dilakukan pengujian “a priori”.[43]
Walaupun demikian, keberadaan lembaga Mahkamah Konstitusi merupakan fenomena baru dalam dunia ketatanegaraan. Sebagian
besar negara demokrasi yang sudah mapan, tidak mengenal lembaga Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri. Fungsinya biasanya dicakup dalam fungsi Supreme
Court yang ada di setiap negara. Salah satu contohnya ialah Amerika
Serikat. Fungsi-fungsi yang dapat dibayangkan sebagai fungsi MK seperti judicial
review dalam rangka menguji konstitusionalitas suatu undang-undang, baik
dalam arti formil ataupun dalam arti pengujian materiel, dikaitkan langsung
dengan kewenangan Mahkamah Agung (Supreme Court).[44] Akan tetapi, di beberapa negara
lainnya, terutama di lingkungan negara-negara yang mengalami perubahan dari
otoritarian menjadi demokrasi, pembentukan MK itu dapat dinilai cukup populer.
Negara-negara seperti ini dapat disebut sebagai contoh, Afrika Selatan, Korea
Selatan, Thailand, Lithuania, Ceko, dan sebagainya memandang perlu untuk
membentuk MK. Tentu tidak semua negara jenis ini membentuknya. Republik
Filipina yang baru mengalami perubahan menjadi demokrasi, tidak memiliki MK
yang tersendiri. Di samping itu, ada pula negara lain seperti Jerman yang
memiliki Federal Constitutional Court yang tersendiri.
Pemikiran mengenai pentingnya
suatu pengadilan konstitusi telah muncul dalam
sejarah ketatanegaraan Indonesia sebelum kemerdekaan.
Pada saat pembahasan rancangan UUD di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), anggota BPUPKI Prof. Muhammad Yamin telah mengemukakan
pendapat bahwa Mahkamah Agung (MA) perlu diberi kewenangan untuk membanding
Undang-Undang. Namun ide ini ditolak oleh Prof. Soepomo berdasarkan dua alasan,
pertama, UUD yang sedang disusun pada saat itu (yang kemudian menjadi UUD 1945)
tidak menganut paham trias politika. Kedua, pada saat itu jumlah sarjana hukum
kita belum banyak dan belum memiliki pengalaman mengenai hal ini.
Pada saat pembahasan
perubahan UUD 1945 dalam era reformasi, pendapat mengenai pentingnya suatu Mahkamah Konstitusi muncul kembali. Perubahan UUD 1945 yang terjadi dalam era
reformasi telah menyebabkan MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga
tertinggi negara dan supremasi telah beralih dari supremasi MPR kepada
supremasi konstitusi.[45]
Karena perubahan yang mendasar ini maka perlu disediakan sebuah mekanisme
institusional dan konstitusional serta hadirnya lembaga negara yang mengatasi
kemungkinan sengketa antarlembaga negara yang kini telah menjadi sederajat
serta saling mengimbangi dan saling mengendalikan (checks and balances).
Seiring dengan itu muncul desakan agar tradisi pengujian peraturan
perundang-undangan perlu ditingkatkan tidak hanya terbatas pada peraturan di
bawah undang-undang (UU) melainkan juga atas UU terhadap UUD. Kewenangan
melakukan pengujian UU terhadap UUD itu diberikan kepada sebuah mahkamah
tersendiri di luar Mahkamah Agung. Atas dasar pemikiran itu, adanya Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri di samping Mahkamah
Agung
menjadi sebuah keniscayaan.
Dalam perkembangannya, ide
pembentukan Mahkamah Konstitusi mendapat respon positif
dan menjadi salah satu materi perubahan UUD yang diputuskan oleh MPR. Setelah
melalui proses pembahasan yang mendalam, cermat, dan demokratis, akhirnya ide Mahkamah Konstitusi menjadi
kenyataan dengan disahkannya Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945 yang
menjadi bagian Perubahan Ketiga UUD 1945 pada ST MPR 2001 tanggal 9 November
2001. Dengan disahkannya dua pasal tersebut, maka Indonesia menjadi negara
ke-78 yang membentuk MK dan menjadi negara pertama pada abad ke-21 yang
membentuk lembaga kekuasaan kehakiman tersebut.
Pasal 24 ayat (2) UUD 1945
menyatakan:
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan ketentuan
tersebut, Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
selain Mahkamah Konstitusi. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Dengan demikian Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan, sebagai
cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu yang
menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945. Sesuai ketentuan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang (a) Menguji
undang-undang terhadap UUD; (b) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar; (c) Memutus pembubaran partai
politik; (d) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan (e) Memutus
pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wapres telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil
Presiden.
Kewenangan
pertama Mahkamah Konstitusi sering disebut sebagai “judicial review”.
Namun istilah ini harus diluruskan dan diganti dengan istilah “constitutional
review” atau pengujian konstitusional mengingat bahwa kewenangan Mahkamah
Konstitusi adalah menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945. Per definisi, konsep
“constitutional review” merupakan perkembangan gagasan modern tentang
sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide negara hukum (rule
of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), serta
perlindungan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights).
Dalam sistem “constitutional review” itu tercakup dua tugas pokok,
yaitu:[46]
1.
Menjamin
berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan peran atau “interpaly” antara
cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Constitutional review
dimaksudkan untuk mencegah dominasi kekuasaan dan/atau penyahgunaan
kekuasaan oleh salah satu cabang kekuasaan.
2.
Untuk
melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh
lembaga negara yang merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin dalam
konstitusi.
Sedangkan
kewenangan Mahkamah Konstitusi yang lain dapat dilihat sebagai upaya penataan
hubungan kelembagaan negara dan institusi-institusi demokrasi berdasarkan
prinsip supremasi hukum. Sebelum terbentuknya Mahkamah Konstitusi dengan
kewenangannya tersebut, hubungan kelembagaan negara dan institusi demokrasi
lebih didasarkan pada hubungan yang bersifat politik. Akibatnya, sebuah lembaga
dapat mendominasi atau mengkooptasi lembaga lain, atau terjadi pertentangan
antar lembaga atau institusi yang melahirkan krisis konstitusional. Hal ini
menimbulkan ketiadaan kepastian hukum dan kotraproduktif terhadap pengembangan
budaya demokrasi. Pengaturan kehidupan politik kenegaraan secara umum juga
telah berkembang sebagai bentuk “the constitutionalization of democratic
politics”.[47] Hal ini
semata-mata untuk mewujudkan supremasi hukum, kepastian hukum, dan perkembangan
demokrasi itu sendiri, berdasarkan konsep negara hukum yang demokratis (democratische
reshtsstaat).
G. Fungsi Mahkamah Konstitusi
Secara
keseluruhan, lima kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi terkait
erat dengan persoalan konstitusional, yaitu pelaksanaan ketentuan dasar UUD
1945 dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Wewenang memutus pengujian
konstitusionalitas undang-undang menjamin bahwa undang-undang yang menjadi
landasan kehidupan berbangsa dan bernegara benar-benar merupakan pelaksanaan
dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Wewenang memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan Undang-Undang Dasar, menjamin
mekanisme ketatanegaraan yang dijalankan oleh setiap lembaga negara dan
hubungan antarlembaga negara dilaksanakan sesuai ketentuan UUD 1945.
Wewenang
selanjutnya adalah memutus pembubaran partai politik. Partai politik adalah
salah satu bentuk pelaksanaan kebebasan berserikat yang tidak dapat dilepaskan
dari jaminan kebebasan hati nurani dan kebebasan menyampaikan pendapat.
Kebebasan-kebebasan tersebut menjadi prasyarat tegaknya demokrasi. Oleh karena
itu partai politik memiliki peran penting dalam negara demokrasi karena partai
politiklah yang pada prinsipnya akan membentuk pemerintahan.[48] Maka
keberadaan partai politik harus dijamin dan tidak dapat dibubarkan oleh
kekuasaan pemerintah. Jika pemerintah, yang pada prinsipnya dibentuk oleh suatu
partai politik, memiliki wewenang membubarkan partai politik lain, dapat
terjadi penyalahgunaan untuk membubarkan partai politik saingannya.[49] Dengan
demikian wewenang Mahkamah Konstitusi untuk memutus pembubaran partai politik
adalah untuk menjamin pelaksanaan demokrasi dan mekanisme ketatanegaraan sesuai
UUD 1945.
Salah
satu proses demokrasi yang utama adalah penyelenggaraan pemilihan umum.
Mekanisme ini menentukan pengisian jabatan-jabatan penting dalam lembaga
negara, yaitu anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD, Presiden dan Wakil
Presiden, serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Agar hasil pemilu
benar-benar mencerminkan pilihan rakyat[50] sebagai
pemilik kedaulatan pemilu harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil. Salah satu wujud prinsip tersebut adalah
penyelenggaraan pemilu tidak diselenggarakan oleh pemerintah, tetapi oleh
komisi tersendiri yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Selain itu, jika
terjadi perselisihan hasil pemilu antara peserta dan penyelenggara pemilu,
harus diputus melalui mekanisme peradilan agar benar-benar obyektif, tidak
dipengaruhi oleh kepentingan pemerintah, peserta, maupun penyelenggara pemilu.
Di sinilah pentingnya wewenang Mahkamah Konstitusi memutus perselisihan hasil
pemilu untuk menjamin hasil pemilu benar-benar sesuai dengan pilihan rakyat.
Wewenang
terakhir Mahkamah Konstitusi adalah memberi putusan atas pendapat DPR mengenai
dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang
Dasar. Wewenang ini di satu sisi merupakan jaminan terhadap sistem presidensiil
yang dianut UUD 1945 yang mana menghendaki masa jabatan Presiden yang bersifat
tetap (fix term) dan tidak mudah
dijatuhkan semata-mata karena alasan politik. Di sisi lain, wewenang ini merupakan
pelaksanaan prinsip persamaan dihadapan hukum (equality before the law), termasuk terhadap Presiden dan/atau
Wakil Presiden. Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dijatuhkan karena
melakukan pelanggaran hukum tertentu, tindak pidana berat lainnya, serta
perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden[51],
setelah dibuktikan di Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan
kelima wewenang yang dimiliki tersebut, Mahkamah Konstitusi memiliki fungsi
sebagai penjaga konstitusi (the guardian
of the constitution) hal itu sesuai dengan dasar keberadaan untuk menjaga
pelaksanaan konstitusi. Fungsi tersebut membawa konsekuensi Mahkamah Konstitusi juga
memiliki fungsi lain, yaitu sebagai penafsir konstitusi
yang bersifat final (the final interpreter
of the constitution). Selain itu, sesuai dengan materi muatan UUD 1945 yang meliputi
aturan dasar kehidupan bernegara berdasarkan prinsip demokrasi dan jaminan
terhadap perlindungan hak asasi manusia, Mahkamah Konstitusi juga memiliki fungsi
sebagai pengawal demokrasi (the guardian
of the democracy by protecting minority rights), pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the citizen’s constitutional rights), serta
pelindung hak asasi manusia (the
protector of human rights).
Produk hukum di bawah UUD 1945 yang
menjabarkan aturan dasar konstitusional adalah undang-undang yang dibuat oleh
lembaga legislatif. Secara hirarkis, produk hukum di bawah undang-undang
merupakan dasar hukum bagi aturan yang lebih rendah serta menjadi legitimasi
hukum bagi tindakan yang akan dilakukan oleh para penyelenggara negara. Untuk
menjamin konstitusionalitas pelaksanaan, baik dalam bentuk aturan hukum maupun
tindakan penyelenggara negara berdasarkan ketentuan undang-undang, dibentuklah Mahkamah Konstitusi[52] yang memiliki
wewenang salah satunya memutus pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar.
Undang-undang
sebenarnya adalah juga merupakan bentuk penafsiran terhadap ketentuan dalam
konstitusi oleh pembentuk undang-undang. Namun demikian, penafsiran tersebut
dapat saja terjadi kekeliruan dan dianggap bertentangan dengan UUD 1945 oleh
warga negara, lembaga negara lain, badan hukum tertentu, atau kesatuan
masyarakat hukum adat, karena melanggar hak dan atau kewenangan konstitusional
mereka. Terhadap perbedaan penafsiran tersebut, Mahkamah Konstitusi-lah
memberikan putusan akhir dalam perkara pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar. Fungsi inilah yang disebut sebagai the final interpreter of the constitution.
Sebagai bentuk kesepakatan
bersama seluruh rakyat,[53]
UUD 1945 tidak hanya melindungi kepentingan dan hak-hak mayoritas, tetapi juga
melindungi kepentingan dan hak-hak kelompok minoritas. Inilah salah satu
prinsip demokrasi modern yang menyeimbangkan antara pemerintahan mayoritas (majority rule) dengan perlindungan
kelompok minoritas. Demokrasi akan terperosok menjadi tirani jika semata-mata
berdasarkan pada prinsip mayoritas.
Di sisi lain,
undang-undang dapat dilihat sebagai produk dari proses politik yang lebih
ditentukan oleh suara mayoritas. Hal itu dapat dilihat dari lembaga pembentuk
undang-undang, yaitu DPR dan Presiden yang menduduki jabatan tersebut
berdasarkan perolehan suara dalam pemilihan umum. Dalam proses pembuatan
undang-undang juga sangat dipengaruhi oleh aspirasi masyarakat paling kuat.
Oleh karena itu, proses pembuatan dan hasil akhirnya memiliki potensi
mengesampingkan atau bahkan melanggar hak konstitusional kelompok minoritas.
Apabila hal itu terjadi, demokrasi telah terancam dan dapat tergelincir menjadi
tirani mayoritas. Di sinilah Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai penjaga
demokrasi dengan cara melindungi hak kaum minoritas (the guardian of democracy by protecting minority rights) sekaligus
menjaga pelaksanaan UUD 1945 sebagai kesepakatan seluruh rakyat, bukan hanya
kelompok mayoritas.
Fungsi selanjutnya adalah sebagai pelindung
hak asasi manusia (the protector of the
human rights) dan pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the constitutional
citizen’s rights). Salah satu hasil perubahan UUD 1945 yang paling banyak
ketentuannya adalah terkait dengan hak asasi yang karenanya menjadi hak
konstitusional. Hak tersebut meliputi kelompok-kelompok hak yang biasa disebut
sebagai hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial, hak budaya, bahkan hak
individu maupun hak kolektif masyarakat.[54] Adanya jaminan hak asasi
dalam konstitusi menjadikan negara memiliki kewajiban konstitusional untuk
melindungi, menghormati, dan memajukan hak-hak tersebut. Wewenang Mahkamah
Konstitusi menguji undang-undang dapat dilihat sebagai upaya melindungi hak
asasi manusia dan hak konstitusional warga negara yang dijamin UUD 1945 agar
tidak dilanggar oleh ketentuan undang-undang. Jika ketentuan suatu
undang-undang telah melanggar hak konstitusional warga negara, maka dapat
dipastikan tindakan penyelenggara negara atau pemerintahan yang dilakukan
berdasarkan ketentuan tersebut juga akan melanggar hak konstitusional warga
negara. Oleh karena itu, kewenangan pengujian tersebut sekaligus mencegah agar
tidak ada tindakan penyelenggara negara dan pemerintahan yang melanggar hak
konstitusional warga negara. Mahkamah Konstitusi juga berwenang memutus perkara
pembubaran partai politik yang dimaksudkan agar pemerintah tidak dapat secara
sewenang-wenang membubarkan partai politik yang melanggar hak berserikat yang terkait erat dengan hak atas kebebasan nurani dan kebebasan
mengeluarkan pendapat yang dijamin dalam UUD 1945.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh. Azas-Azas
Hukum Tata Negara. Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1991.
Abu
Daud Busroh. Ilmu Negara. Jakarta: Bumi Aksara, 1990.
Ahmad Sukardja. Piagam
Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup
Bersama dalam Masyarakat Majemuk. Jakarta: UI-Press, 1995.
Bagir Manan. Pertumbuhan
dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara.
Bandung: CV. Mandar Maju, 1995.
Berki, R.N. The History of
Political Thought: A Short Introduction. London: J.J.Dent and Sons, Everyman’s
University Library, 1988.
Bogdanor, Vernon (ed). Blackwell’s
Encyclopaedia of Political Science. Oxford: Blackwell, 1987.
Bryce, J. Studies
in History and Jurisprudence. Vol. 1.
Oxford: Clarendon Press, 1901.
Dahlan Thaib, dkk. Teori Konstitusi dan Hukum Konstitusi. cet. Kelima. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2005.
Friedrich, C.J. Man and His Government. New York: McGraw-Hill, 1963.
Heller, Herman. Staatlehre,
herausgegeben von Gerhart Niemeyer. Leiden: A.W: Sijthoff.
Ismail Saleh. Demokrasi,
Konstitusi, dan Hukum. Jakarta: Departemen Kehakiman RI,
1988.
Jimly
Asshiddiqie. Kebebasan Berserikat,
Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Konstitusi
Press, 2005.
---------------------------. Konstitusi & Konstitusionalisme
Indonesia.
Edisi Revisi.
Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
---------------------------. Model-Model Pengujian Konstitusional
Di Berbagai Negara.
Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. translated by: Anders Wedberg. New York: Russell & Russell, 1961.
L. M.
Sitorus. Ilmu Politika: Suatu Perkenalan Lapangan. cet. ke-3.
Jakarta: PT. Pembangunan, 1958.
Laski, Harold J. A Grammar of Politic. Eleventh Impression. London: George Allen & Unwin Ltd,
1951.
Lijphart, Arend. Patterns of Democracy: Government
Forms and Performance in Thirty-Six Countries. New Heaven and London: Yale
University Press, 1999.
MacIver, R.M. The Modern State.
First Edition. London: Oxford University Press, 1955.
McIlwain, Charles Howard. Constitutionalism:
Ancient and Modern.
Ithaca, New York: Cornell University Press, 1966.
Newman,
W. L. (ed). The Politics of Aristotle.
New York: Oxford University Press, 2000.
Pildes, Richard H. The Constitutionalization of Democratic
Politics.
Harvard Law Review. Vol. 118:1, 2004,
Schmitt, Carl. Verfassungslehre. Berlin unverandester neudruk: Duncker & Humbolt,
1957.
Tahir
Azhary. Negara Hukum: Suatu Studi
tentang Prinsio-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa
Kin., cet. Kedua. Jakarta: Kencana,
2004.
Tholosano, Authore D. Petro Gregorio. De
Republica Libri Sex et Viginti. lib.I, cap. I, 16, 19, Lugduni, 1609.
Thompson, Brian. Textbook
on Constitutional and Administrative Law. edisi ke-3. London: Blackstone Press Ltd., 1997.
Thompson, Brian. Textbook on Constitutional Law &
Administrative Law.
Third Edition.
London: Blackstone Press Limited, 1997.
Woodbine, George E. (ed.). Glanvill De Legibus et Consuetudinibus Angiluae. New Haven: 1932.
[2] Secara garis
besar perwujudan kedaulatan rakyat dalam kehidupan bernegara dapat
diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu dalam lembaga perwakilan rakyat atau
parlemen, dan dalam bentuk konstitusi sebagai wujud perjanjian sosial
tertinggi. Negara-negara yang menganut perwujudan kedaulatan rakyat dalam parlemen mengakibatkan dianutnya prinsip
supremasi parlemen. Konstitusi dalam negara tersebut dapat dibuat atau diubah
dengan produk hukum parlemen (legislative
act). Sedangkan negara yang menganut perwujudan kedaulatan rakyat pada
konstitusi, menempatkan konstitusi sebagai hukum tertinggi. Konsekuensinya,
hukum yang dibuat oleh parlemen tidak boleh bertentangan dengan konstitusi.
[3] Charles Howard
McIlwain, Constitutionalism:
Ancient and Modern, (Ithaca, New York: Cornell University Press, 1966),
hal. 26. Seperti dikatakan oleh Sir Paul Vinogradoff, “The Greeks recognized a close analogy between the organization of the
State and the organism of the individual human being. They thought that the two
elements of body and mind, the former guided and governed by the later, had a
parallel in two constitutive elements of the State, the rulers and the ruled”.
[4] Analogi di antara organisasi negara (state organization) dan organisme manusia (human organism) ini, seperti dikatakan oleh W. L.
Newman dalam The Politics of Aristotle,
merupakan the central inquiry of
political science di dalam sejarah Yunani Kuno. Lihat, W. L.
Newman (ed). The Politics of Aristotle,
(New York: Oxford University Press, 2000).
[6] Ibid.
[7] Dokumen Constitutions of Clarendon menyebut
dirinya sendiri sebagai recordatio (record) atau recognitio (a finding).
Pengarang buku “Leges Henrici Primi”
pada awal abad ke-12, juga menyebut “the
well-known writ of Henry I for the holding of the hundred and county courts”
sebagai record.
[8] George E. Woodbine (ed.), Glanvill De Legibus et Consuetudinibus Angiluae, (New Haven: 1932), hal. 63.
[9] McIlwain, Op. Cit., hal. 24.
[10] Authore D. Petro Gregorio Tholosano, De Republica Libri Sex et Viginti,
lib.I, cap. I, 16, 19, Lugduni, 1609, hal. 4-5.
[11] Nama lengkapnya adalah Marcus Tullius
Cicero (106-43 BC). Menurut R.N. Berki, “In the extant writings of the great Roman
statesman and orator, Marcus Tullius Cicero (106-43 BC), we find the most interesting formulations
of Roman Stoicism as regards political thought”. Lihat R.N. Berki, The History of Political Thought: A Short
Introduction, (London: J.J.Dent and Sons, Everyman’s
University Library, 1988), hal. 74.
[12] McIlwain, Op. Cit., hal. 20.
[13] Ibid.,
hal. 12.
[14] Banyak sarjana yang menggambarkan
Piagam Madinah itu sebagai Konstitusi seperti dipahami dewasa ini. Beberapa
diantaranya lihat Ahmad Sukardja, Piagam
Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup
Bersama dalam Masyarakat Majemuk,
(Jakarta: UI-Press, 1995); Dahlan Thaib dkk., Teori Konstitusi dan Hukum Konstitusi, cet. kelima, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2005). Lihat juga
Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsio-prinsipnya
Dilihat dari Segi Hukum Islam,
Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, cet. kedua, (Jakarta: Kencana, 2004).
[15] Ibid.,
hal. 47.
[16] Ibid.,
hal. 57.
[17] Lihat misalnya Thompson, Op. Cit., hal. 5.
[18] J. Bryce, Studies
in History and Jurisprudence, Vol. 1, (Oxford: Clarendon Press, 1901), hal.
151.
[19] Lihat kasus Marbury versus Madison
(1803) 5-US, 1 Cranch, 137, dalam Thompson, Op.
Cit., hal. 5.
[20] Brian Thompson, Textbook
on Constitutional and Administrative Law,
edisi ke-3, (London: Blackstone Press Ltd., 1997), hal.
3.
[21] Hal tersebut terjadi kurang lebih 11
tahun sejak kemerdekaan Amerika Serikat setelah dideklarasikannya pada tanggal 4 Juli
1776. Lihat juga Bagir Manan, Pertumbuhan
dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1995), hal. 2.
[22] Sementara ini, beberapa sarjana ada
juga yang berpendapat bahwa Arab Saudi telah memiliki satu Konstitusi tertulis, yaitu naskah yang dibuat dan disandarkan
berdasarkan Al Qur’an dan Hadist.
[23] Bandingkan dengan kesimpulan yang
dikemukakan oleh Brian Thompson tentang Konstitusi Inggris, “In
other words the British constitution was not made, rather it has grown”. Op.
Cit., hal. 5.
[25] Ivo D. Duchacek, “Constitution and Constitutionalism”
dalam Bogdanor, Vernon (ed), Blackwell’s
Encyclopaedia of Political Science, (Oxford: Blackwell, 1987), hal. 142.
[26] Friedrich, C.J., Man and His Government, (New York: McGraw-Hill, 1963), hal. 217.
[27] Lihat dan bandingkan juga pendapat
Padmo Wahjono mengenai pembatasan kekuasaan dalam Padmo Wahjono, Masalah Ketatanegaraan Indonesia
Dewasa ini, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1984), hal. 10.
[29] Lihat dan bandingkan lebih lanjut
pandangan dari Ferdinand Lassalle dalam Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh, Azas-Azas Hukum Tata Negara,
(Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1991), hal. 73.
[30] Carl Schmitt, Verfassungslehre, (Berlin unverandester
neudruk: Duncker & Humbolt, 1957), hal. 4. Vervassung ist der konkrete Gesamtzustand politischer Einheit und
sozialer Ordnung eines bestimmmten Staats. Zu jedem Staat gehoren politische
Einheit und soziale Ordnung, irgendwelche Prinzipien der Einheit und Ordnung,
irgendiene im kritischen Falle bei interesseb und Machtkonflikten maszgebende
Entscheuidungsintanz. Diesen Gesamtzustand politischer Einheit und sozialer
Ordnung kann man Verfassung nennen. Der Staat wurde aufhoren zu existieren,
wenn diese Verfassung, d.h. diese Einheit and Ordnung aufhorte. Diese
Verfassung ist eine “Seele”, sein konkretes heben und seine individuelle
Existenz. Lihat juga Georg Jellinek, Allgemeine
Staatslehre, hal. 491, menyebutkan: “die
Verfassung Als eine Ordnung, der gemasz der staatliche Wille sich bildet”.
[31] Carl Schmitt, Op. Cit, hal. 4-5, "Vervassung ist eine besondere Art politicher und sozialer
Ordnung Verfassung bedentet hier diekonkrete Art der Uber und Unterordnung,
wiel cs in der sozialer Wirklichkeit keine Ordnung ohne Uber und Unterordnung
gibt. Hier ist Verfassung die besondere Form der Herrschaft, die zu jedem Staat
gehort und von seiner pilitschen Ex~sl mz nicht zu trennen ist, Z.B. Monarchie,
Aristokratie oder Demokratie, oder wie man die Staatformen ein teilen
will" Verfassung is hier ist Staatsform.
[32] Ibid.,
hal. 11. “Die Relatieverung des
Verfassungsbegrieffes besteht hochster und letzter Normen bedaulen (Verfassung
ist Norm der Normen). darin, dasz statt der einheitlichen Verfassung in Ganzen
nur das einzefne Verfassungsgestz, der Begriff des Verfassungs geselzes aber
nach ausz Emlichen und nebensachlichen, sog formalen Kenn-Zeichen bestimmt
wird.”
[33] Ibid., hal. 20. “Die
Verfassung als Gesamt-Entscheidung uber Art und Vorm der politischen Einheit”.
[34] Bandingkan dengan
Ismail Saleh, Demokrasi, Konstitusi, dan Hukum, (Jakarta: Departemen Kehakiman RI,
1988).
[35] Schmitt, op cit., hal. 36 dst. “Idealbegriff der Verfassung (in einem auszeichnenden Sinne, wegen eines
bestimmten Inhaltes sogenannte ‘Verfassung’) Insbesondere hal das Liberale
Burgertum in seinem Kampl gegen die absolute Monarchie einem bestimmten idealbegriff
von Verfassung angsgestellt und ihn mit dem Begriff der Verfassung schiechin
dentifizirt. Man sprach also nur dan non ‘Verfassung’, wenn die Forderungen
burgerlibber Freiheit erfullt und dem Burgertum ein maszgebender pplitischer
Ein flusz geilichert was”.
[36] J. Barents,
“De Wetenschap de Politiek, Een Terreinverkenning” (1952), terjemahan L.M. Sitorus, Ilmu Politika: Suatu
Perkenalan Lapangan, cet. ke-3, (Jakarta: PT. Pembangunan, 1958), hal. 38.
[37] Maurice
Hauriou, Precis de Droit Constitutionnel. Lihat
juga Abu Daud Busro, Ilmu Negara,(Jakarta:
Bumi Aksara, 1990), hal. 99.
[39] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi
& Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Konstitusi
Press, 2005), hal. 152.
[41] Hans Kelsen, General Theory of Law
and State, translated by: Anders Wedberg, (New York: Russell & Russell,
1961), hal 157.
[42] Disebut juga dengan “the
centralized system of judicial review”. Lihat Arend Lijphart, Patterns
of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries,
(New Heaven and London: Yale University Press, 1999), hal. 225.
[43] Jimly Asshiddiqie, Model-Model
Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, (Jakarta: Konstitusi Press,
2005), hal. 28, 29, 64 – 66, 108 dan 109. Terhadap peran Kelsen dalam hal ini
masih ada perbedaan pandangan antara mana yang lebih penting perannya antara
Georg Jellinek dan Adolf Merkl atau Hans Kelsen. Lihat end note bagian
pertama halaman 51 nomor 32.
[44] Pembahasan secara komprehensif
mengenai pengujian konstitusional dapat dibaca dalam Jimly Asshiddiqie, Model-model
Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Jakarta: Konstitusi Press,
2005.
[45] Lihat Pasal 1 ayat (2) UUD 1945:
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar”.
[47] Richard H. Pildes, The
Constitutionalization of Democratic Politics, Harvard Law Review, Vol.
118:1, 2004, hal. 2-3, 10.
[48] Lihat Harold J. Laski, A Grammar of
Politic, Eleventh Impression, (London: George Allen & Unwin Ltd, 1951),
hal. 312.
[49] Pembahasan
mengenai hal ini dapat dibaca pada Jimly Asshiddiqie, Kebebasan Berserikat,
Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Press,
2005).
[50] Jimly Asshiddiqie, Pergumulan
Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi
Berbagai Negara, (Jakarta: UI-Press, 1996), hal. 25 – 26; Lihat pula
MacIver, The Modern State, First Edition,
(London: Oxford University Press, 1955),
hal. 396 – 397.
[51] Berdasarkan
Pasal 7A UUD 1945, alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah
apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, ataupun
perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden.
[53] Brian Thompson, Textbook on
Constitutional Law & Administrative Law, Third Edition, (London:
Blackstone Press Limited, 1997), hal. 5.
[54] Materi yang semula
hanya berisi 7 butir ketentuan dalam UUD 1945
sebelum perubahan,
sekarang telah bertambah secara sangat signifikan. Ketentuan baru yang
diadopsikan ke dalam UUD 1945 setelah Perubahan Kedua pada tahun 2000 termuat
dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J, ditambah beberapa ketentuan lainnya
yang tersebar di beberapa pasal.
No comments:
Post a Comment