Wednesday, April 24, 2013

GAGASAN DASAR TENTANG KONSTITUSI DAN MAHKAMAH KONSTITUSI Oleh: Jimly Asshidiqie[1]



MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
------

GAGASAN DASAR TENTANG KONSTITUSI
DAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Oleh: Jimly Asshidiqie[1]


         Dalam perkembangan kehidupan bernegara, konstitusi menempati posisi yang sangat penting. Pengertian dan materi muatan konstitusi senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan peradaban manusia dan organisasi kenegaraan. Dengan meneliti dan mengkaji konstitusi, dapat diketahui prinsip-prinsip dasar kehidupan bersama dan penyelenggaraan negara serta struktur organisasi suatu negara tertentu. Bahkan nilai-nilai konstitusi dapat dikatakan mewakili tingkat peradaban suatu bangsa.
         Kajian tentang konstitusi semakin penting dalam negara-negara modern saat ini yang pada umumnya menyatakan diri sebagai negara konstitusional, baik demokrasi konstitusional maupun monarki konstitusional. Konstitusi tidak lagi sekedar istilah untuk menyebut suatu dokumen hukum, tetapi menjadi suatu paham tentang prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan negara (konstitusionalisme) yang dianut hampir di semua negara, termasuk negara-negara yang tidak memiliki konstitusi sebagai dokumen hukum tertulis serta yang menempatkan supremasi kekuasaan pada parlemen sebagai wujud kedaulatan rakyat.[2]
         Untuk memahami konstitusi dan supremasi konstitusi dapat dilakukan dengan melacak akar sejarah peristilahan dan pengertiannya. Selain itu, supremasi konstitusi juga dapat dipahami dari sisi legitimasi pembentukan serta tujuan dan hakekatnya.
A.     Akar Sejarah Istilah Konstitusi
Dari catatan sejarah klasik terdapat dua perkataan yang berkaitan erat dengan pengertian kita sekarang ten­tang konstitusi, yaitu dalam per­kataan Yunani Kuno poli­teia dan perkataan bahasa Latin constitutio yang juga berkaitan dengan kata jus. Dalam kedua perkataan poli­teia dan constitutio itulah awal mula gagasan konstitu­sio­nalisme diekspresikan oleh umat manusia. Kata politeia dari kebu­daya­an Yunani dapat disebut yang paling tua usianya. Pengertiannya secara luas mencakup
all the innumerable characteristics which determine that state’s peculiar nature, and these include its whole economic and social texture as well as matters govern­mental in our narrower modern sense. It is a purely descriptive term, and as inclusive in its meaning as our own use of the word ‘constitution’ when we speak gene­rally of a man’s constitution or of the constitu­tion of matter.[3]

Dalam bahasa Yunani Kuno tidak dikenal ada­nya istilah yang mencerminkan pengertian ka­ta jus ataupun constitutio sebagaimana dalam tra­disi Romawi yang datang kemudian.[4] Dalam ke­se­luruhan sistem berpikir para filosof Yunani Kuno, perkataan constitution adalah seperti apa yang kita maksudkan sekarang ini. Perkata­an consti­tution di zaman Kekaisaran Romawi (Roman Empire), dalam bentuk bahasa latinnya, mula-mula digunakan se­ba­gai istilah teknis untuk menyebut the acts of legisla­tion by the Empe­ror.[5] Bersamaan dengan banyak aspek dari hukum Romawi yang dipinjam ke dalam sistem pemikiran hukum di kalangan gereja, maka istilah teknis constitution juga dipinjam untuk menyebut peraturan-peraturan eklesiastik yang berlaku di seluruh gereja atau­pun untuk beberapa peraturan eklesiastik yang ber­laku di gereja-gereja tertentu (ecclesiastical province). Oleh karena itu, kitab-kitab Hukum Romawi dan Hukum Ge­reja (Kano­nik) itulah yang sering dianggap sebagai sum­ber rujukan atau referensi paling awal mengenai peng­gu­na­an perkataan constitution dalam sejarah.
Pengertian konstitusi di zaman Yunani Kuno masih bersifat materiil, dalam arti belum berbentuk seperti yang dime­nger­ti di zaman mo­dern sekarang. Namun, per­bedaan antara konstitusi de­ngan hukum biasa sudah tergambar dalam pembedaan yang dila­kukan oleh Aristoteles terhadap pengertian kata politea dan nomoi. Pengertian politiea dapat dise­pa­dankan dengan pengertian konstitusi, sedang­kan nomoi adalah undang-undang biasa. [6]
Politea mengandung ke­kuasaan yang lebih tinggi dari pada nomoi, karena politea mem­punyai kekuasaan membentuk sedangkan pada nomoi tidak ada, karena ia hanya merupakan materi yang harus di­bentuk agar tidak bercerai-berai. Dalam kebudayaan Yunani istilah konstitusi ber­hubungan erat dengan ucapan Res­pub­lica Consti­tuere yang melahirkan semboyan, Princeps Legibus Solutus Est, Salus Publica Suprema Lex, yang arti­­nya ”Rajalah yang berhak menentukan struk­tur orga­ni­sasi negara, karena dialah satu-satunya pembuat un­dang-undang”.
Di Inggris, peraturan yang pertama kali dikaitkan dengan istilah konstitusi adalah “Consti­tutions of Cla­rendon 1164” yang disebut oleh Henry II sebagai const­i­tutions, avitae constitu­tions or leges, a recordatio vel recognition,[7] me­nyangkut hubungan antara gereja dan pemerintahan negara di masa pemerintahan kakeknya, yaitu Henry I. Isi peraturan yang disebut sebagai kon­stitusi tersebut masih bersifat eklesiastik, meskipun pemasyarakatannya dila­ku­kan oleh pemerintahan seku­ler. Namun, di masa-masa selanjutnya, istilah constitutio itu sering pula dipertukarkan satu sama lain dengan istilah lex atau edictum untuk menyebut berbagai secular administrative enactments. Glanvill sering meng­guna­kan kata constitution untuk a royal edict (titah raja atau ratu). Glanvill juga mengaitkan Henry II’s writ creating the remedy by grand assize as ‘legalis is a constitutio’,[8] dan menyebut the assize of novel disseisin sebagai a re­cog­nitio sekaligus sebagai a constitutio. [9]
Beberapa tahun setelah diberlakukannya Undang-Undang Merton pada tahun 1236, Brac­ton menulis arti­kel yang menyebut salah satu ketentuan dalam undang-undang itu sebagai a new constitution, dan mengaitkan satu bagian dari Magna Carta yang dikeluarkan kembali pada tahun 1225 sebagai constitutio libertatis. Dalam waktu yang hampir bersamaan (satu zaman), Beauma-noir di Perancis berpendapat bahwa “speaks of the re­medy in novel disseisin as ’une nouvele constitucion’ made by the kings”. Ketika itu dan selama beradab-abad sesudahnya, per­kata­an constitution selalu diartikan se­bagai a particular administrative enactment much as it had meant to the Roman lawyers. Perkataan consti­­tution ini dipakai untuk membedakan antara particular enactment dari consuetudo atau ancient custom (kebia­saan).
Pierre Gregoire Tholosano (of Toulouse), dalam bukunya De Republica (1578) meng­gunakan kata con­stitution dalam arti yang hampir sama dengan penger­tian sekarang.[10] Hanya saja kandungan maknanya lebih luas dan lebih umum, karena Gregoire memakai frase yang lebih tua, yaitu status reipublicae. Dapat dikatakan bahwa di zaman ini, arti perkataan constitution tercer­min dalam pernyataan Sir James Whitelocke pada se­kitar tahun yang sama, yaitu “the natural frame and con­stitution of the policy of this Kingdom, which is jus pub­licum regni”. Bagi James White­locke, jus publicum regni itulah yang merupakan kerangka alami dan konstitusi po­li­tik bagi keraja­an.
Dari sini, kita dapat memahami pengertian konsti­tusi dalam dua konsepsi. Pertama, konsti­tusi sebagai the natural frame of the state yang dapat ditarik ke belakang dengan mengaitkannya dengan pengertian politeia da­lam tradisi Yunani Kuno. Kedua, konstitusi dalam arti jus publicum regni, yaitu the public law of the realm. Ci­cero[11] dapat disebut sebagai sarjana pertama yang meng­gunakan perkataan constitutio dalam pengertian kedua ini, seperti tergambar dalam bukunya “De Res Pub­lica”. Di lingkungan Kerajaan Romawi (Roman Empire), per­kataan constitutio ini dalam bentuk Latinnya juga dipakai sebagai istilah teknis untuk menyebut the acts of legislation by the Emperor. Menurut Cicero, “This con­s­ti­tution (haec constitution) has a great measure of equa­bi­lity without which men can hardly remain free for any length of time”. Selanjutnya dikatakan oleh Cice­ro:
Now that opinion of Cato becomes more certain, that the constitution of the republic (consitutionem rei publicae) is the work of no single time or of no single man.

Pendapat Cato dapat dipahami secara lebih pasti bahwa konstitusi republik bukanlah hasil ker­ja satu wak­tu ataupun satu orang, melainkan kerja kolektif dan aku­mu­latif. Oleh karena itu, dari sudut etimologi, konsep kla­­sik mengenai konsti­tusi dan konstitusionalisme dapat ditelusuri lebih mendalam dalam perkembangan penger­tian dan penggunaan perkataan politeia dalam bahasa Yunani dan perkataan constitutio dalam bahasa Latin, serta hubungan di antara keduanya satu sama lain di se­panjang sejarah pemikiran maupun pengalaman praktik kehidupan kenegaraan dan hukum.
Perkembangan-perkembangan demikian itu­lah yang pada akhirnya mengantarkan umat ma­nu­sia pada pe­ngertian kata constitution itu dalam bahasa Inggris modern. Dalam Oxford Dictionary, perkataan consti­tution dikaitkan dengan beberapa arti, yaitu: “… the act of establishing or of ordai­ning, or the ordinance or re­gu­lation so establi­shed”. Selain itu, kata constitution juga diartikan sebagai pembuatan atau penyusunan yang me­nentukan hakikat sesuatu (the “make” or com­po­sition which determines the nature of any­thing). Oleh karena itu, constitution dapat pula dipakai untuk menyebut “… the body or the mind of man as well as to external ob­jects”.
Dalam pengertiannya yang demikian itu, kon­stitusi selalu dianggap “mendahului” dan “menga­tasi” pemerin­ta­han dan segala keputusan serta peraturan lainnya. A Constitution, kata Thomas Paine, “is not the act of a go­vern­ment but of the people constituting a govern­ment”.[12] Kon­stitusi disebut mendahului, bukan karena urutan waktunya, melainkan dalam sifatnya yang supe­rior dan kewenangannya untuk mengikat. Oleh sebab itu, Charles Howard McIlwain menjelaskan:
In fact, the traditional notion of constitu­tionalism before the late eighteenth century was of a set of prin­ciples embodied in the institutions of a nation and neither external to these nor in existence prior to them.[13]

Secara tradisional, sebelum abad ke-18, kon­sti­tu­tionalisme memang selalu dilihat sebagai seperangkat prinsip-prinsip yang tercermin dalam kelembagaan suatu bangsa dan tidak ada yang mengatasinya dari luar serta tidak ada pula yang mendahuluinya.
Perkembangan konstitusi dan konstitusionalisme juga dapat dilacak pada peradaban negara-negara Islam. Ketika bangsa Eropa berada dalam keadaan kegelapan pada abad pertengahan (the dark age), di Timur Tengah tumbuh dan berkembang pesat perada­ban baru di lingkungan penganut ajaran Islam. Atas penga­ruh Nabi Muhammad SAW, ba­nyak sekali inovasi-inovasi baru dalam kehidupan umat manusia yang di­kembangkan menjadi pen­dorong kemajuan peradaban. Salah satunya ialah penyusunan dan penandatanganan per­setujuan atau perjanjian bersama di antara kelom­pok-kelompok penduduk kota Madinah untuk ber­sama-sama membangun struktur kehidupan ber­sama yang di kemudian hari berkembang men­jadi kehidupan ke­ne­gara­an dalam pengertian modern sekarang. Naskah per­setujuan bersama itulah yang selanjutnya dikenal sebagai Piagam Madinah (Madinah Charter).
Piagam Madinah ini dapat disebut sebagai piagam tertulis pertama dalam sejarah umat manusia yang dapat dibandingkan dengan penger­tian konstitusi dalam arti modern. Piagam ini dibuat atas persetujuan bersama antara Nabi Muhammad SAW dengan wakil-wakil pen­du­duk kota Madinah tak lama setelah beliau hijrah dari Mekkah ke Yastrib, nama kota Madinah sebelum­nya, pa­da tahun 622 M. Para ahli menyebut Piagam Madinah ter­­sebut dengan berbagai macam istilah yang berlainan satu sama lain.[14]
Para pihak yang mengikatkan diri atau terikat dalam Piagam Madinah yang berisi per­janjian masya­rakat Madinah (social contract) tahun 622 M ini ada tiga belas kelompok komu­nitas yang secara eksplisit disebut dalam teks Piagam. Ketiga belas komunitas itu adalah (i) kaum Mukminin dan Muslimin Muhajirin dari suku Quraisy Mekkah, (ii) Kaum Mukminin dan Muslimin dari Yatsrib, (iii) Kaum Yahudi dari Banu ‘Awf, (iv) Kaum Yahudi dari Banu Sa’idah, (v) Kaum Yahudi dari Banu al-Hars, (vi) Banu Jusyam, (vii) Kaum Yahudi dari Banu Al-Najjar, (viii) Kaum Yahudi dari Banu ‘Amr ibn ‘Awf, (ix) Banu al-Nabit, (x) Banu al-‘Aws, (xi) Kaum Yahudi dari Banu Sa’labah, (xii) Suku Jafnah dari Banu Sa’labah, dan (xiii) Banu Syuthaybah.
Secara keseluruhan, Piagam Madinah tersebut berisi 47 pasal. Pasal 1, misalnya, mene­gas­kan prinsip per­satuan dengan menyatakan: “Innahum ummatan wa­hi­datan min duuni al-naas” (Sesungguhnya mereka ada­lah ummat yang satu, lain dari (komunitas) manusia yang lain).[15] Dalam Pasal 44 ditegaskan bahwa “Mereka (pa­ra pendukung piagam) bahu membahu dalam meng­ha­dapi penyerang atas kota Yatsrib (Madinah)”. Dalam Pasal 24 dinyatakan “Kaum Yahudi memi­kul biaya ber­sama kamu mukminin selama dalam peperangan”. Pasal 25 menegaskan bahwa “Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf ada­lah satu umat dengan kaum mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kamu mukminin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan yang jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarganya sendiri.” Jaminan persamaan dan persatuan dalam kera­ga­man tersebut demi­kian indah dirumuskan dalam Pia­gam ini, sehingga dalam menghadapi musuh yang mung­kin akan menyerang kota Madinah, setiap warga kota di­tentukan harus saling bahu membahu.
Dalam hubungannya dengan perbedaan keimanan dan amalan keagamaan, jelas diten­tu­kan adanya kebeba­san beragama. Bagi orang Yahudi sesuai dengan agama mereka, dan bagi kaum mukminin sesuai dengan agama mereka pula. Prinsip kebersamaan ini bahkan lebih tegas dari rumusan al-Quran mengenai prinsip lakum diinu­kum walya diin (bagimu agamamu, dan bagiku agama­ku) yang menggunakan perkataan “aku” atau “kami” ver­sus “kamu”. Dalam piagam digunakan perkataan mere­ka, baik bagi orang Yahudi maupun bagi kalangan mukminin dalam jarak yang sama dengan Nabi. HalH

Selanjutnya, pasal terakhir, yaitu Pasal 47 berisi ketentuan penutup yang dalam bahasa Indonesianya adalah:
Sesungguhnya piagam ini tidak membela orang zalim dan khianat. Orang yang keluar (bepergian) aman, dan orang yang berada di Madinah aman, kecuali orang yang zalim dan khianat. Allah adalah penjamin orang yang berbuat baik dan taqwa. (tertanda Muhammad Rasulul­lah SAW).[16]

Dapat dikatakan bahwa lahirnya Piagam Madinah pada abad ke 7 M itu merupakan inovasi yang paling pen­ting selama abad-abad pertenga­han yang memulai suatu tradisi baru adanya perjanjian bersama di antara kelompok-kelompok masyarakat untuk bernegara de­ngan naskah per­janjian yang dituangkan dalam bentuk yang ter­tulis. Piagam Madinah ini dapat disebut sebagai konstitusi tetulis pertama dalam sejarah umat manusia, meskipun dalam pengertiannya sebagai konstitusi mo­dern yang dikenal dewasa ini, Konstitusi Amerika Serikat tahun 1787-lah yang pada umumnya dianggap sebagai konstitusi ter­tulis pertama. Peristiwa penandatangan Pia­gam Madinah itu dicatat oleh banyak ahli sebagai per­kembangan yang paling modern di zamannya, sehingga mempengaruhi berbagai tradisi kene­gara­an yang ber­kembang di kawasan yang dipe­ngaruhi oleh peradaban Islam di kemudian hari. Bahkan pada masa setelah Nabi Muhammad SAW wafat, kepemimpinan dilanjutkan oleh empat khalifah pertama yang biasa dikenal dengan se­bu­tan Khalifatu al-Rasyidin, yaitu Abubakar, Umar ibn Khat­tab, Utsman ibn Affan, dan Ali ibn Abi Thalib.

B. Konstitusi dan Kedaulatan
Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi. Hal ini­lah yang disebut oleh para ahli sebagai constituent power yang merupakan kewenangan yang berada di luar dan se­kaligus di atas sistem yang diaturnya.[17] Untuk itu, di ling­­kungan negara-negara demokrasi liberal, rakyatlah yang menentukan berlakunya suatu konstitusi.
Hal ini dapat dilakukan secara langsung oleh rakyat misalnya melalui referendum, seperti yang dilakukan di Irlandia pada tahun 1937, atau dengan cara tidak lang­sung melalui lembaga per­wa­kilan rakyat. Mes­ki­pun dalam pembukaan Konstitusi Amerika Serikat (preamble) terdapat perkataan “We the people”, tetapi yang diterapkan sesungguhnya adalah sis­tem perwaki­lan, yang pertama kali diadopsi dalam konvensi khusus (special convention) dan kemu­dian disetujui oleh wakil-wakil rakyat terpilih dalam forum perwakilan negara yang didirikan bersama.
Dalam hubungan dengan pengertian consti­tuent power tersebut di atas, muncul pula penger­tian consti­tuent act. Konstitusi adalah constituent act, bukan produk peraturan legislatif yang biasa (ordinary legislative act). Constituent power mendahului konstitusi, dan konstitusi mendahului organ pe­me­rintahan yang diatur dan dibentuk berdasarkan konstitusi itu. Seperti dikatakan oleh Bryce (1901), kon­sti­tusi tertulis merupakan:
The instrument in which a constitution is embodied proceeds from a source different from that whence spring other laws, is regulated in a different way, and exerts a sovereign force. It is enacted not by the ordi­nary legislative authority but by some higher and spe­ci­ally empowered body. When any of its provisions con­flict with the provisions of the ordinary law, it prevails and the ordinary law must give way.[18]

Konstitusi bukanlah undang-undang biasa. Ia tidak ditetapkan oleh lembaga legislatif yang bia­sa, tetapi oleh badan yang lebih khusus dan lebih tinggi kedudukannya. Jika norma hukum yang terkandung di dalamnya ber­ten­tangan de­ngan norma hukum yang terdapat dalam undang-undang, maka ketentuan undang-undang dasar itu­lah yang berlaku, sedangkan undang-undang harus mem­berikan jalan untuk itu (it prevails and the ordi­nary law must give way).
Oleh karena itu, dikembangkannya penger­tian constituent power berkaitan dengan penger­tian hierarki hukum (hierarchy of law). Konstitusi merupakan hukum yang paling tinggi serta paling fundamental sifatnya, karena konstitusi merupa­kan sumber legitimasi atau lan­da­san otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hu­kum yang berlaku universal, maka agar peraturan-pera­turan yang tingkatannya berada di bawah undang-un­dang dasar dapat berlaku dan diber­lakukan, peraturan-pe­ra­turan itu tidak boleh ber­tentangan dengan hukum yang lebih tinggi. Atas dasar logika demikian, maka Mah­kamah Agung Amerika Serikat menganggap dirinya me­miliki kewenangan untuk menafsirkan dan menguji ma­teri peraturan produk legislatif (judicial review) ter­hadap materi konstitusi, meskipun Konstitusi Amerika tidak secara eksplisit memberikan kewe­nangan demikian kepada Mahkamah Agung (The Supreme Court).[19]


C. Gagasan Modern Pengertian Konstitusi
Menurut Brian Thompson, secara sederhana perta­nyaan what is a constitution dapat dijawab bahwa “…a constitution is a document which con­tains the rules for the operation of an organi­zation”.[20] Bagi setiap organisasi kebutuhan akan naskah konstitusi tertulis itu merupakan sesuatu yang niscaya, terutama dalam organisasi yang berbentuk ba­dan hukum (legal body, recht­sper­soon). Demikian pula Negara, pada umumnya, selalu me­miliki naskah yang disebut sebagai konstitusi atau Un­dang-Undang Dasar.
Dalam pengertian modern, ne­gara pertama yang dapat dikatakan menyusun konsti­tusinya dalam satu naskah UUD seperti sekarang ini adalah Amerika Serikat (United States of America) pada tahun 1787.[21] Sejak itu, hampir semua negara menyusun naskah undang-undang dasarnya. Beberapa nega­ra yang dianggap  sampai sekarang dikenal tidak memiliki Undang-Undang Dasar dalam satu nas­kah tertulis adalah Inggris, Israel, dan Saudi Arabia.[22] Undang-Undang Da­sar di ketiga negara ini tidak pernah dibuat tersendiri, tetapi tumbuh menjadi konstitusi dari aturan dan pengalaman praktik ketata­negaraan.[23]
Namun, para ahli tetap dapat menyebut ada­nya konstitusi dalam konteks hukum tata negara Inggris, yaitu sebagaimana dikemukakan oleh Phillips Hood and Jack­son sebagai:
a body of laws, customs and conventions that define the composition and powers of the organs of the State and that regulate the relations of the various State organs to one another and to the private citizen.[24]

Dengan demikian, ke dalam konsep konsti­tusi itu tercakup juga pengertian peraturan tertulis, kebiasaan, dan konvensi-konvensi kenegara­an (ketatanegaraan) yang menentukan susunan dan kedudukan organ-organ negara, mengatur hu­bu­ngan antara organ-organ negara itu, dan me­nga­tur hubungan organ-organ negara ter­sebut dengan warga negara.
Semua konstitusi selalu menjadikan kekua­sa­an sebagai pusat perhatian, karena kekuasaan itu sendiri pada intinya memang perlu diatur dan dibatasi se­bagaimana mestinya. Constitutions, menurut Ivo D. Duchacek, adalah “identify the sources, purposes, uses and restraints of public power[25] (mengidentifikasikan sumber-sumber, tujuan-tujuan, penggunaan-peng­guna­an, dan pem­batasan-pembatasan kekuasaan umum). Pembatasan kekuasaan pada umumnya dianggap merupakan corak umum materi konstitusi. Oleh sebab itu pula, konstitutio­na­lisme, seperti di­ke­mukakan oleh Friedrich, didefinisikan sebagai “an insti­tutionalised system of effective, regularised restraints upon govern­mental action”.[26] Dalam pengertian demi­kian, persoalan yang dianggap terpenting dalam setiap konstitusi adalah pengaturan mengenai pengawa­san atau pembatasan terhadap kekuasaan peme­rin­tahan.[27]
Selain itu, terdapat pendapat beberapa sarjana terkait dengan pengertian dan pemahaman tentang konstitusi. Pandangan beberapa sarjana mengenai kon­sti­tusi dapat dikatakan berlainan satu sama lain. Ferdinand Lasalle (1825-1864), dalam buku­nya “Uber Verfassungswessen” (1862), membagi konstitusi da­lam dua pengertian, yaitu:[28]
(i)        Pengertian sosiologis dan politis (sociolo­gische atau politische  begrip). Konstitusi di­li­hat sebagai sin­tesis antara faktor-faktor kekuatan politik yang nyata dalam masyara­kat (de riele machtsfactoren), yaitu misal­nya raja, parlemen, kabinet, kelompok-ke­lom­pok penekan (preassure groups), partai po­li­tik, dan sebagainya. Dinamika hubungan di antara kekuatan-kekuatan politik yang nyata itulah se­be­nar­nya apa yang dipahami sebagai konstitusi;
(ii)      Pengertian juridis (juridische begrip). Kon­sti­tusi dilihat sebagai satu naskah hukum yang memuat ke­tentuan dasar mengenai bangunan negara dan sendi-sendi pemerin­ta­han negara.

Ferdinand Lasalle sangat dipengaruhi oleh ali­ran pikiran kodifikasi, sehingga me­nekankan pen­ting­nya pengertian juridis mengenai konstitusi. Di sam­ping sebagai cermin hubungan antar aneka kekuatan politik yang nyata dalam masyarakat (de riele machts­factoren), konstitusi itu pada pokoknya adalah apa yang tertulis di atas kertas undang-undang dasar mengenai lem­baga-lembaga negara, prinsip-prinsip, dan sendi-sen­di dasar pemerintahan negara.
Ahli lain, yaitu Hermann Heller me­nge­mu­kakan tiga penger­tian konstitusi, yaitu:
(i)        Die politische verfassung als gesellschaftlich wirk­lichkeit. Konstitusi dilihat dalam arti politis dan so­siologis sebagai cermin kehidu­pan sosial-politik yang nyata dalam masya­rakat;
(ii)      Die verselbstandigte rechtsverfassung. Kon­stitusi di­lihat dalam arti juridis sebagai suatu kesatuan kaedah hukum yang hidup dalam masyarakat;
(iii)     Die geschreiben verfassung. Konstitusi yang ter­tulis dalam suatu naskah undang-undang dasar se­bagai hukum yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara.

Menurut Hermann Heller, undang-undang dasar yang tertulis dalam satu naskah yang ber­sifat politis, sosiologis, dan bahkan bersifat juridis, hanyalah merupa­kan salah satu bentuk atau sebagian saja dari pengertian konstitusi yang lebih luas, yaitu konstitusi yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Artinya, di samping konsti­tu­si yang tertulis itu, segala nilai-nilai normatif yang hidup dalam kesadaran masyarakat luas, juga termasuk ke da­lam pengertian konstitusi yang luas itu. Oleh karena itu pula, dalam bukunya “Verfassung­slehre”, Hermann Heller membagi konstitusi dalam 3 (tiga) tingkatan, yaitu:
1)    Konstitusi dalam pengertian Sosial-Politik. Pada ting­kat pertama ini, konstitusi tumbuh dalam pe­ngertian sosial-politik. Ide-ide kon­stitusional dikem­bangkan karena memang mencerminkan keadaan sosial poli­tik dalam masyarakat yang bersangkutan pada saat itu. Konstitusi pada tahap ini dapat digambarkan se­bagai kesepakatan-kesepakatan politik yang belum di­tuangkan dalam bentuk hukum ter­tentu, melainkan tercerminkan dalam perilaku nyata dalam kehidupan kolektif warga ma­syarakat;
2)    Konstitusi dalam pengertian Hukum. Pada ta­hap ke­dua ini, konstitusi sudah diberi bentuk hukum ter­tentu, sehingga perumusan nor­ma­tif­nya menuntut pem­berlakuan yang dapat di­pak­sakan. Konstitusi da­lam pengertian sosial-politik yang dilihat sebagai ke­nyataan tersebut di atas, dianggap harus berlaku da­lam kenya­ta­an. Oleh karena itu, setiap pelanggaran ter­hadapnya haruslah dapat dikenai ancaman sanksi yang pasti;
3)    Konstitusi dalam pengertian Peraturan Ter­tulis. Pe­ngertian yang terakhir ini merupakan tahap terakhir atau yang tertinggi dalam per­kem­bangan pengertian rechts­verfassung yang muncul sebagai akibat pe­nga­ruh aliran kodifi­kasi yang menghendaki agar ber­ba­gai norma hukum dapat dituliskan dalam naskah yang ber­sifat resmi. Tujuannya adalah untuk mak­sud mencapai kesatuan hukum atau unifikasi hukum (rechtseineheid), kesederhanaan hu­kum (rechtsve­reen­­voudiging), dan kepastian hukum (rechts­ze­ker­heid).

Namun, menurut Hermann Heller, konstitusi tidak dapat dipersempit maknanya ha­nya sebagai undang-un­dang dasar atau konstitusi dalam arti yang tertulis seba­gai­mana yang lazim dipahami karena pengaruh aliran kodi­fikasi. Di samping undang-undang dasar yang ter­tu­lis, ada pula konstitusi yang tidak tertulis yang hidup da­lam kesadaran hukum masyarakat.
Ahli lain yang pemikirannya banyak terkait dengan konstitusi adalah Carl Schmitt. Menurut Carl Schmitt, konstitusi dapat dipahami dalam 4 (empat) ke­lompok pengertian. Keempat kelom­pok pengertian itu adalah: (a) konstitusi dalam arti absolut (absoluter ver­fassungsbegriff), (b) konstitusi dalam arti relatif (rela­ti­ver verfas­sungs­begriff), (c) konstitusi dalam arti positif (der positive verfassungsbegriff), dan (d) konstitusi da­lam arti ideal (idealbegriff der verfassung).
Keempat kelompok pengertian tersebut dapat di­rinci lagi menjadi 8 (delapan) pengertian, yaitu (1) Kon­sti­tusi dalam arti absolut (Absolute Verfassungsbegriff). Dalam arti absolute, arti kon­­stitusi dapat di­beda­kan dalam 4 (empat) ma­cam, yaitu: (i) konstitusi sebagai cer­min dari de reaale machtsfactoren, (ii) Konstitusi da­lam arti absolut sebagai forma-formarum (vorm der vor­men), (iii) konstitusi dalam arti absolut sebagai factor integratie, (iv) konstitusi dalam arti absolut sebagai norma-normarum (norm der normen); (2) Konstitusi dalam arti relatif (Relatieve Verfas­sungsbegriff) yang dapat dibagi lagi menjadi 2 (dua), yaitu (v) konstitusi dalam arti materiel (Constitutite in Materiele Zin) dan (vi) konstitusi dalam arti formil (Constitutite in Formele Zin); Sedangkan dua arti yang terakhir adalah (3) Kon­sti­tusi dalam arti positif (Positieve Verfassungs­begriff) sebagai konstitusi dalam arti yang ke-7, dan (vii) kon­stitusi dalam arti ideal (Idealbegriff der verfassung) se­bagai konstitusi dalam arti yang ke-8 (viii).
Konstitusi dalam Arti Absolut (Absolute Verfas­sungs­begriff) sebagai cermin dari de reele machts­fac­toren dipahami sebagai sekumpulan norma-norma hukum dasar yang terbentuk dari pengaruh-pengaruh antar ber­bagai faktor kekuasaan yang nyata (de reele macht­sfactoren) dalam suatu ne­gara. Berbagai faktor kekuasaan yang nyata itu adalah raja, pe­me­rintah/kabinet, parlemen, partai-partai politik, kelompok penekan (pressure groups) atau kelom­pok kepentingan, pers, lembaga peradilan, lem­baga-lembaga yang menjalankan fungsi-fungsi kekuasaan negara lain­nya, dan semua organisasi yang ada dalam negara yang bersangkutan.
Dengan perkataan lain, semua kekuatan politik yang ada dalam negara itu secara nyata mem­pengaruhi terbentuknya norma-norma dasar yang kemudian ter­susun menjadi apa yang disebut sebagai konstitusi itu. Oleh karena itu, seperti da­lam pandangan Ferdinand Las­salle,[29] konstitusi itu menggambarkan hubungan-hubungan antar faktor-faktor kekuasaan yang nyata (de riele machts factoren) dalam dinamika kehidupan ber­negara. Di dalam pengertian pertama ini, kon­stitusi di­anggap sebagai kesatuan organisasi yang nyata yang mencakup semua bangunan hukum dan semua organi­sasi­-organisasi yang ada di da­lam negara. [30]
Konstitusi dalam Arti Absolut (Absolute Verfas­sungsbegriff) sebagai forma-formarum (vorm der vormen) dilihat sebagai vorm atau bentuk dalam arti ia me­ngandung ide tentang bentuk negara, yaitu bentuk yang melahirkan bentuk lain­nya atau vorm der vormen, forma-formarum. Ben­tuk negara yang dimaksud di sini adalah negara dalam arti ke­seluruhannya (sein ganzheit), yang dapat ber­ben­tuk demokrasi yang bersendikan identitas atau ber­ben­tuk monarki yang bersendikan represen­tasi. Dalam kai­tan ini, ada 3 (tiga) asas (staats­principe) yang dapat di­tarik dari pengertian demi­kian, yaitu (i) principe van de staatsvorm, asas dari bentuk negara; (ii) principe van en uit de staatsvorm, yaitu asas dari atau yang timbul dari bentuk negara; dan (iii) regeringsprincipe atau asas pemerintahan.
Asas bentuk negara (principe van staatsvorm) men­cakup prinsip kesamaan atau identiteit dan repre­sentatie. Identiteit merupakan asas-asas yang ber­hu­bungan dengan bentuk de­mok­rasi, di mana bagi rakyat yang memerintah dan yang diperintah berlaku prinsip persamaan identitas atau identik satu sama lain. Se­dangkan, representatie atau perwakilan merupakan asas yang berhubungan dengan prinsip bahwa yang me­merintah dipandang sebagai wakil dari rakyat (repre­sentant van het volk).
Mengapa dalam demokrasi terdapat sendi identi­tas dan dalam monarki terdapat sendi rep­re­sentasi? Demok­rasi, baik langsung maupun tidak langsung, ber­sendi pada rakyat yang meme­rintah dirinya sendiri, se­hingga antara yang me­me­rin­tah dan yang diperin­tah bersifat identik yaitu sama-sama rakyat. Dalam mo­narki, asas yang dipakai adalah representasi karena baik raja maupun kepala negara dalam negara yang de­mok­ratis hanya merupakan wakil atau man­da­taris dari rak­yat, karena pada dasarnya kekuasa­an itu ada pada rak­yat dan berasal dari rakyat.[31]
Sementara itu, asas dari atau yang timbul dari ben­tuk negara (principe van en uit de staats­vorm) menca­kup asas-asas dari bentuk negara (principe van de staats­vorm) dan asas atau sendi-sendi dasar tertib ne­gara (principe uit de staats­vorm). Menurut Carl Schmitt, para sarjana klasik dan modern seperti tercermin dalam pandangan Arsitoteles dan Hans Kelsen, sama-sama me­man­dang pentingnya prinsip kebebasan (vrijheid, free­dom) dan persamaan (gelijkheid, equality) seba­gai san­daran bagi sistem demokrasi modern.
Konstitusi dalam Arti Absolut (Absolute Ver­fas­­sungs­begriff) sebagai factor integratie melihat konstitusi sebagai faktor integrasi. Secara teo­ritis (integration theory), integrasi itu sendiri dapat dibedakan ke dalam tiga macam, yaitu (i) per­soonlijke integratie, (ii) zake­lijke integratie, dan (iii) functioneele integratie. Per­soon­lijke in­teg­ra­tie mengandaikan jabatan kepemim­pinan sebagai faktor integrasi, misalnya, presiden. Sedang­kan dalam zakelijke integratie, yang men­jadi fak­tor penentu adalah hal-hal yang objektif dan zakelijk, bukan yang bersifat subjektif atau persoonlijk. Misalnya, dikatakan bahwa bangsa Indonesia dipersatukan di ba­wah satu kesatuan sistem konstitusi berdasarkan UUD 1945, sesuai dengan prinsip the rule of law, and not of man. Bangsa Indonesia juga dipersatukan sebagai bang­sa oleh satu bahasa persatuan atau bahasa nasio­nal, yaitu bahasa Indonesia. Sementara itu, integ­rasi fungsional (func­tioneele integratie) adalah fak­tor integrasi yang ber­sifat fungsional, baik dalam arti yang konkrit atau dalam arti yang ab­strak.
Dalam arti fungsional yang konkrit, misal­nya, in­teg­rasi melalui pemilihan umum (pemilu) atau re­fe­ren­dum yang mempersatukan perhatian segenap warga ne­gara ke arah satu tujuan, yaitu menentukan pilihan po­litik mengenai siapa yang akan ditetapkan duduk men­jadi wakil rakyat atau pejabat publik tertentu. Sedang­kan, integrasi yang bersifat abstrak dan simbolis, misal­nya, adalah bendera dan lambang garuda Pancasila yang dapat pula berfungsi sebagai faktor integrasi fungsional (functioneele integratie).
Konstitusi dalam Arti Absolut (Absolute Ver­fas­­sungs­begriff) sebagai norma-normarum (norm der normen) melihat norma dasar (grund norm) adalah norma yang menjadi dasar bagi terbentuk dan berlakunya norma hu­kum lainnya. Suatu norma berlaku karena dida­sar­kan atas norma yang lebih tinggi, dan demikian seterusnya sampai ke norma yang paling tinggi yaitu grund norm. Oleh karena itu, setiap norma di­ben­tuk oleh norma yang lebih tinggi, norma-normarum atau norm der normen. Berhubung dengan itu, norma dasar yang tertinggi berfungsi sebagai ursprung atau tempat asal mulanya nor­ma diturunkan, sehingga grund norm itu disebut juga dengan ursprungsnorm atau norma asal. Di pihak lain, grund norm itu sendiri pada pokok­nya juga merupakan bentukan normatif yang ber­sifat hipo­tesis. Untuk itu, grund norm biasa disebut juga dengan hypothetisch norm.
Konstitusi dalam Arti Relatif (Relatieve Ver­fas­sungs­begriff) sebagai konstitusi dalam Arti Materiel (Con­stitutite in Materiele Zin) dimaksudkan sebagai konstitusi yang terkait dengan kepenti­ngan golongan-golongan tertentu dalam masyara­kat (proces relati­ve­ring).[32] Golongan dimaksud ter­utama adalah golongan borjuis liberal yang menghendaki adanya jaminan su­paya hak-haknya tidak di­langgar oleh penguasa. Jami­nan itu dile­takkan dalam Undang-Undang Dasar yang ditulis sehingga orang tidak mudah melupakannya dan juga tidak mudah hilang serta dapat dijadikan alat bukti (bewijsbaar) apabila seseorang memer­lukannya. Dalam arti yang kedua ini, konstitusi dapat pula dibagi lagi ke dalam dua sub penger­ti­an yakni (i) konstitusi sebagai tuntutan dari golongan borjuis liberal agar hak-haknya dijamin tidak dilanggar oleh penguasa, dan (ii) konstitusi dalam arti formil atau konstitu­si yang tertulis.
Konstitusi dalam Arti Relatif (Relatieve Verfas­sungs­begriff) sebagai konstitusi dalam Arti Formil (Const­i­tutie in Formele Zin) yang juga memunculkan per­tanyaan apakah yang dimaksud dengan konstitusi dalam arti materiil (constitutie in materiele zin)? Konstitusi dalam arti materiil ada­lah konsti­tusi yang dilihat dari segi isinya. Isi konstitusi itu menyangkut hal-hal yang bersifat dasar atau pokok bagi rakyat dan negara. Karena pentingnya hal-hal yang bersifat dasar atau pokok bagi rakyat dan negara ter­sebut, maka untuk mem­buat kon­stitusi itu diperlukan prosedur yang khusus. Prosedur khusus itu dapat dilakukan sepihak, dua pihak, atau banyak pihak. Prosedur itu dilakukan sepihak karena ia merupakan ke­hendak dari satu orang yang menamakan dirinya eksponen dari rakyat atau seorang diktator. Bisa juga dilakukan oleh dua pihak karena Konstitusi me­rupakan hasil persetujuan dari dua golongan dalam masyarakat yaitu misalnya antara rakyat di satu pihak dan Raja di lain pihak pada zaman abad pertengahan. Sedangkan, bisa banyak pihak dikarenakan Konstitusi itu merupakan hasil per­se­tujuan dari banyak pihak yaitu antara wakil-wakil rakyat yang duduk dalam suatu badan yang bertugas membuat Konstitusi (badan Konstitusi).
Hasil dari persetujuan atau perjanjian itu di­letakkan dalam suatu naskah tertulis. Di sinilah muncul pe­ngertian yang sama antara konstitusi dalam arti formil (constitutie in formele zin) dan konstitusi dalam arti tertulis (gedocumenteerd constitutie). Pada­hal, ke­duanya berbeda satu de­ngan yang lain, karena konstitusi da­lam arti for­mil (constitutie in materiele zin) itu pada pokok­nya tidak selalu dalam bentuk yang ter­tulis. Dalam pengertian konstitusi da­lam arti formil, yang terpenting adalah prosedur pembentukan konsti­tusi yang harus dilakukan secara khusus. Kekhususan konstitusi me­rupakan keniscayaan, karena isi konstitusi itu sendiri diakui sangatlah penting dan mendasar, yaitu ber­kenaan dengan perikehidupan bernegara yang me­nyang­kut nasib seluruh rakyat. Oleh karena itu, cara membentuk, mengubah, dan mengganti konstitusi ha­rus­­lah diten­tukan secara  istimewa pula.
Selain beberapa pengertian yang diuraikan di atas, Carl Scmitt juga me­nyebut adanya pengertian konstitusi da­lam arti positif (positieve verfassungsbegriff)[33] yang dihubungkannya dengan ajaran mengenai dezisionismus atau teori ten­tang keputusan. Dalam pandangan Carl Schmitt, Konsti­tusi dalam arti positif tersebut mengandung pengertian se­ba­gai produk keputusan politik yang tertinggi,[34] yang di­hubungkannya dengan terbentuknya Undang-Undang Dasar Weimar pada tahun 1919. Undang-Undang Dasar Weimar itu sangat menen­tukan nasib rakyat seluruh Jerman, karena Un­dang-Undang Dasar itu menimbulkan perubahan yang sangat mendasar terhadap struktur pe­merintahan yang lama ke stelsel pemerintahan yang ba­ru. Sistem pemerintahan lama yang di­da­sar­­kan atas stel­sel monarki di mana Raja memegang kekuasaan yang sangat kuat dan sen­tral diubah oleh Konstitusi Weimar itu menjadi suatu pemerintahan dengan sistem par­le­men­ter.
Dalam hubungannya dengan Konsti­tusi pada arti positif atau the positive meaning of the con­stitution, maka ajaran Profesor Carl Schmitt ini dapat pula di­terapkan kepada peristiwa-peristiwa yang terjadi di Indonesia. Misalnya, kita dapat mengajukan pertanyaan apakah pembentukan Undang-Undang Dasar 1945 itu merupakan kon­sti­tusi dalam arti positif atau bukan? Dikarenakan pembuatan Undang-Undang Dasar 1945 ha­nya merupakan salah satu di antara keputusan-ke­pu­tu­san politik yang tinggi, maka ia belum meru­pakan Kons­titusi dalam arti positif. Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 ada­lah suatu Kons­titusi dalam arti positif, karena ia merupa­kan satu-satunya keputusan politik yang tertinggi yang dilakukan oleh bang­sa Indonesia yang merubah dari suatu bangsa yang dijajah men­j­adi bangsa yang merdeka. Undang-Undang Da­sar 1945 dilahirkan sesudah proklamasi kemer­dekaan, sebagai tindak lanjut dari proklamasi kemerdekaan itu.
Sedangkan konstitusi dalam Arti Ideal (Idealbegriff der ver­fas­sung)[35] dilihat se­bagai sesuatu yang diimpikan atau diidamkan oleh kaum borjuis libe­ral seperti tersebut di atas sebagai jaminan bagi rak­yat agar hak-hak asasinya dilindungi. Panda­ngan ideal tentang konstitusi tersebut dapat dika­ta­kan lahir sesudah terjadinya Revolusi Perancis, di mana ketika itu yang menjadi tuntutan go­longan revolusioner Perancis adalah agar pihak penguasa tidak melakukan tindakan yang sewe­nang-we­nang terhadap rakyat.

D.     Tujuan dan Hakikat Konstitusi
Di kalangan para ahli hukum, pada umumnya dipahami bahwa hukum mempunyai tiga tujuan pokok, yaitu (i) keadilan (justice), (ii) kepastian (certainty atau zekerheid), dan (iii) kebergunaan (utility). Keadilan itu sepadan dengan keseimbangan (balance, mizan) dan kepa­tu­tan (equity), serta kewajaran (proportionality). Sedangkan, kepastian hukum terkait dengan ketertiban (order) dan ketenteraman. Sementara, kebergunaan diharapkan dapat menjamin bahwa semua nilai-nilai tersebut akan mewujudkan kedamaian hidup bersama.
Oleh karena konstitusi itu sendiri adalah hukum yang dianggap paling tinggi tingkatannya, maka tujuan konstitusi sebagai hukum tertinggi itu juga untuk men­capai dan mewujudkan tujuan yang tertinggi. Tujuan yang dianggap tertinggi itu adalah: (i) keadilan, (ii) ketertiban, dan (iii) per­wujudan nilai-nilai ideal seperti kemerdekaan atau kebebasan dan kesejahteraan atau kemak­muran bersama, sebagaimana dirumuskan sebagai tujuan bernegara oleh para pendiri negara (the founding fathers and mothers).
Sehubungan dengan itulah maka beberapa sarjana merumuskan tujuan konstitusi itu seperti merumuskan tujuan negara, yaitu negara konsti­tu­sional, atau negara berkonstitusi. Menurut J. Barents, ada 3 (tiga) tujuan ne­ga­ra, yaitu (i) untuk memelihara ketertiban dan ke­ten­teraman, (ii) mempertahankan kekuasaan, dan (iii) me­ngurus hal-hal yang berkenaan dengan kepentingan-ke­pentingan umum.[36]Sedangkan, Maurice Hauriou me­nya­takan bahwa tujuan konstitusi adalah untuk menjaga keseimbangan antara (i) ketertiban (orde), (ii) kekuasaan (gezag), dan (iii) kebebasan (vrijheid).[37]
Kebebasan individu warga negara harus dijamin, tetapi kekuasaan negara juga harus ber­diri tegak, sehing­ga tercipta tertib bermasyarakat dan bernegara. Keter­tiban itu sendiri terwujud apabila dipertahankan oleh ke­kuasaan yang efektif dan kebebasan warga negara tetap tidak ter­gang­gu. Sementara itu, G.S. Diponolo meru­mus­kan tujuan konstitusi ke dalam lima kategori, yaitu (i) kekuasaan, (ii) perdamaian, keamanan, dan ketertiban, (iii) kemerdekaan, (iv) keadilan, serta (v) kesejahteraan dan kebahagiaan.[38]

E. Supremasi Konstitusi Dan Negara Hukum
Ide negara hukum sesungguhnya telah lama dikembangkan oleh para filsuf dari zaman Yunani Kuno sejalan dengan perkembangan pemahaman konstitusi itu sendiri. Plato, dalam bukunya “the Statesman” dan “the Law”  menyatakan bahwa negara hukum merupakan bentuk paling baik kedua (the second best) guna mencegah kemerosotan kekuasaan seseorang adalah pemerintahan oleh hukum. Konsep negara hukum modern di Eropa Kontinental dikembangkan dengan menggunakan istilah Jerman yaitu “rechtsstaat” antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika konsep negara hukum dikembangkan dengan sebutan “The Rule of Law” yang dipelopori oleh A.V. Dicey. Selain itu, konsep negara hukum juga terkait dengan istilah nomokrasi (nomocratie) yang berarti bahwa penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan negara adalah hukum.[39]
Prinsip-prinsip negara hukum senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta semakin kompleksnya kehidupan masyarakat di era global, menuntut pengembangan prinsip-prinsip negara hukum. Dua isu pokok yang senantiasa menjadi inspirasi perkembangan prinsip-prinsip negara hukum adalah masalah pembatasan kekuasaan dan perlindungan HAM. Saat ini, paling tidak dapat dikatakan terdapat dua belas prinsip negara hukum, yaitu Supremasi Konstitusi (supremacy of law), Persamaan dalam Hukum (equality before the law), Asas Legalitas (due process of law), Pembatasan Kekuasaan (limitation of power), Organ Pemerintahan yang Independen, Peradilan yang Bebas dan Tidak Memihak (independent and impartial judiciary), Peradilan Tata Usaha Negara (administrative court), Peradilan Tata Negara (constitutional court), Perlindungan Hak Asasi Manusia, Bersifat Demokratis (democratische-rehtsstaats), Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtsstaat), serta Transparansi dan Kontrol Sosial.[40]
Dalam suatu negara hukum, mengharuskan adanya pengakuan normatif dan empirik terhadap prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Pengakuan normatif mengenai supremasi hukum terwujud dalam pembentukan norma hukum secara hirarkis yang berpuncak pada supremasi konstitusi. Sedangkan secara empiris terwujud dalam perilaku pemerintahan dan masyarakat yang mendasarkan diri pada aturan hukum.
Dengan demikian, segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tersebut harus ada dan berlaku terlebih dulu atau mendahului perbuatan yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan administratif harus didasarkan atas aturan atau rules and procedures.
Namun demikian, prinsip supremasi hukum selalu diiringi dengan dianut dan dipraktekkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa. Hukum tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang. Dengan demikian negara hukum yang dikembangkan bukan absolute rechtsstaat, melainkan democratische rechtsstaat.
Berdasarkan prinsi negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi disamping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi.

F. Mahkamah Konstitusi
Agar konstitusi benar-benar menjadi hukum tertinggi, maka ketentuan-ketentuan dasar konstitusional yang menjadi materi muatannya harus dilaksanakan melalui peraturan perundang-undangan di bawah konstitusi. Peraturan perundang-undangan, baik yang dibuat oleh legislatif maupun peraturan pelaksana yang dibuat oleh eksekutif tidak boleh bertentangan dengan konstitusi itu sendiri.
Salah satu upaya tersebut adalah membentuk peradilan konstitusi seperti yang secara teoretis dikemukakan oleh Hans Kelsen. Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini produk hukum tersebut tidak konstitusional. Untuk itu dapat diadakan organ khusus seperti pengadilan khusus yang disebut mahkamah konstitusi (constitutional court), atau kontrol terhadap konstitusionalitas undang-undang (judicial review) diberikan kepada pengadilan biasa, khususnya mahkamah agung seperti di Amerika Serikat. Organ khusus yang mengontrol tersebut dapat menghapuskan secara keseluruhan undang-undang yang tidak konstitusional sehingga tidak dapat diaplikasikan oleh organ lain.[41]
            George Jellinek pada akhir abad ke-19 mengembangkan gagasan agar kewenangan judicial review tersebut diterapkan di Austria, seperti yang telah diterapkan oleh John Marshal di Amerika. Pada 1867, Mahkamah Agung Austria mendapatkan kewenangan menangani sengketa yuridis terkait dengan perlindungan hak-hak politik berhadapan dengan pemerintah. Pemikiran Kelsen yang telah diungkapkan di atas, mendorong dibentuknya suatu lembaga yang diberi nama “Verfassungsgerichtshoft” atau Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung, sehingga model ini sering disebut sebagai “The Kelsenian Model[42]. Gagasan ini diajukan ketika Kelsen diangkat sebagai anggota lembaga pembaharu Konstitusi Austria (Chancelery) pada tahun 1919 – 1920 dan diterima dalam Konstitusi Tahun 1920. Inilah Mahkamah Konstitusi pertama di dunia. Model ini menyangkut hubungan antara prinsip supremasi konstitusi (the principle of the supremacy of the Constitution) dan prinsip supremasi parlemen (the principle of the supremacy of the Parliament). Mahkamah konstitusi ini melakukan pengujian baik terhadap norma-norma yang bersifat abstrak (abstract review) dan juga memungkinkan pengujian terhadap norma kongkrit (concrete review). Pengujian biasanya dilakukan secara “a posteriori”, meskipun tidak menutup kemungkinan dilakukan pengujian “a priori”.[43]
Walaupun demikian, keberadaan lembaga Mahkamah Konstitusi merupakan fenomena baru dalam dunia ketatanegaraan. Sebagian besar negara demokrasi yang sudah mapan, tidak mengenal lembaga Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri. Fungsinya biasanya dicakup dalam fungsi Supreme Court yang ada di setiap negara. Salah satu contohnya ialah Amerika Serikat. Fungsi-fungsi yang dapat dibayangkan sebagai fungsi MK seperti judicial review dalam rangka menguji konstitu­sionalitas suatu undang-undang, baik dalam arti formil ataupun dalam arti pengujian materiel, dikait­kan langsung dengan kewenangan Mahkamah Agung (Supreme Court).[44] Akan tetapi, di beberapa negara lainnya, terutama di lingkungan negara-negara yang mengalami perubahan dari otoritarian menjadi demokrasi, pembentukan MK itu dapat dinilai cukup populer. Negara-negara seperti ini dapat disebut sebagai contoh, Afrika Selatan, Korea Selatan, Thailand, Lithuania, Ceko, dan sebagainya meman­dang perlu untuk membentuk MK. Tentu tidak semua negara jenis ini membentuknya. Republik Filipina yang baru mengalami perubahan menjadi demokrasi, tidak memiliki MK yang tersendiri. Di samping itu, ada pula negara lain seperti Jerman yang memiliki Federal Constitutional Court yang tersendiri.

Pemikiran mengenai pentingnya suatu pengadilan konstitusi telah muncul dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sebelum kemerdekaan. Pada saat pembahasan rancangan UUD di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), anggota BPUPKI Prof. Muhammad Yamin telah mengemukakan pendapat bahwa Mahkamah Agung (MA) perlu diberi kewenangan untuk membanding Undang-Undang. Namun ide ini ditolak oleh Prof. Soepomo berdasarkan dua alasan, pertama, UUD yang sedang disusun pada saat itu (yang kemudian menjadi UUD 1945) tidak menganut paham trias politika. Kedua, pada saat itu jumlah sarjana hukum kita belum banyak dan belum memiliki pengalaman mengenai hal ini.
Pada saat pembahasan perubahan UUD 1945 dalam era reformasi, pendapat mengenai pentingnya suatu Mahkamah Konstitusi muncul kembali. Perubahan UUD 1945 yang terjadi dalam era reformasi telah menyebabkan MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara dan supremasi telah beralih dari supremasi MPR kepada supremasi konstitusi.[45] Karena perubahan yang mendasar ini maka perlu disediakan sebuah mekanisme institusional dan konstitusional serta hadir­nya lembaga negara yang mengatasi kemung­kinan sengketa antarlembaga negara yang kini telah menjadi sederajat serta saling mengimbangi dan saling mengendalikan (checks and balances). Seiring dengan itu muncul desakan agar tradisi pengujian peraturan perundang-undangan perlu ditingkatkan tidak hanya terbatas pada peraturan di bawah undang-undang (UU) melainkan juga atas UU terhadap UUD. Kewenang­an melakukan pengujian UU terhadap UUD itu diberikan kepada sebuah mahkamah tersendiri di luar Mahkamah Agung. Atas dasar pemikiran itu, adanya Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri di samping Mahkamah Agung menjadi sebuah keniscayaan.
Dalam perkembangannya, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi mendapat respon positif dan menjadi salah satu materi perubahan UUD yang diputuskan oleh MPR. Setelah melalui proses pembahasan yang mendalam, cermat, dan demokratis, akhirnya ide Mahkamah Konstitusi menjadi kenyataan dengan disahkannya Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945 yang menjadi bagian Perubahan Ketiga UUD 1945 pada ST MPR 2001 tanggal 9 November 2001. Dengan disahkannya dua pasal ter­sebut, maka Indonesia menjadi negara ke-78 yang membentuk MK dan menjadi negara pertama pada abad ke-21 yang membentuk lembaga kekuasaan kehakiman tersebut.
Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan:
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahka­mah Agung dan badan peradilan yang berada di bawah­nya dalam lingkungan peradilan umum, ling­kung­an peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Konstitusi. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945. Sesuai ketentuan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang (a) Menguji undang-undang terhadap UUD; (b) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; (c) Memutus pembubaran partai politik; (d) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan (e) Memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wapres telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain­nya, atau perbuatan tercela dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden.
Kewenangan pertama Mahkamah Konstitusi sering disebut sebagai “judicial review”. Namun istilah ini harus diluruskan dan diganti dengan istilah “constitutional review” atau pengujian konstitusional mengingat bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945. Per definisi, konsep “constitutional review” merupakan perkembangan gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), serta perlindungan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights). Dalam sistem “constitutional review” itu tercakup dua tugas pokok, yaitu:[46]
1.    Menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan peran atau “interpaly” antara cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Constitutional review dimaksudkan untuk mencegah dominasi kekuasaan dan/atau penyahgunaan kekuasaan oleh salah satu cabang kekuasaan.
2.    Untuk melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin dalam konstitusi.

Sedangkan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang lain dapat dilihat sebagai upaya penataan hubungan kelembagaan negara dan institusi-institusi demokrasi berdasarkan prinsip supremasi hukum. Sebelum terbentuknya Mahkamah Konstitusi dengan kewenangannya tersebut, hubungan kelembagaan negara dan institusi demokrasi lebih didasarkan pada hubungan yang bersifat politik. Akibatnya, sebuah lembaga dapat mendominasi atau mengkooptasi lembaga lain, atau terjadi pertentangan antar lembaga atau institusi yang melahirkan krisis konstitusional. Hal ini menimbulkan ketiadaan kepastian hukum dan kotraproduktif terhadap pengembangan budaya demokrasi. Pengaturan kehidupan politik kenegaraan secara umum juga telah berkembang sebagai bentuk “the constitutionalization of democratic politics”.[47] Hal ini semata-mata untuk mewujudkan supremasi hukum, kepastian hukum, dan perkembangan demokrasi itu sendiri, berdasarkan konsep negara hukum yang demokratis (democratische reshtsstaat).

G.   Fungsi Mahkamah Konstitusi
Secara keseluruhan, lima kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi terkait erat dengan persoalan konstitusional, yaitu pelaksanaan ketentuan dasar UUD 1945 dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Wewenang memutus pengujian konstitusionalitas undang-undang menjamin bahwa undang-undang yang menjadi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara benar-benar merupakan pelaksanaan dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Wewenang memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan Undang-Undang Dasar, menjamin mekanisme ketatanegaraan yang dijalankan oleh setiap lembaga negara dan hubungan antarlembaga negara dilaksanakan sesuai ketentuan UUD 1945.
Wewenang selanjutnya adalah memutus pembubaran partai politik. Partai politik adalah salah satu bentuk pelaksanaan kebebasan berserikat yang tidak dapat dilepaskan dari jaminan kebebasan hati nurani dan kebebasan menyampaikan pendapat. Kebebasan-kebebasan tersebut menjadi prasyarat tegaknya demokrasi. Oleh karena itu partai politik memiliki peran penting dalam negara demokrasi karena partai politiklah yang pada prinsipnya akan membentuk pemerintahan.[48] Maka keberadaan partai politik harus dijamin dan tidak dapat dibubarkan oleh kekuasaan pemerintah. Jika pemerintah, yang pada prinsipnya dibentuk oleh suatu partai politik, memiliki wewenang membubarkan partai politik lain, dapat terjadi penyalahgunaan untuk membubarkan partai politik saingannya.[49] Dengan demikian wewenang Mahkamah Konstitusi untuk memutus pembubaran partai politik adalah untuk menjamin pelaksanaan demokrasi dan mekanisme ketatanegaraan sesuai UUD 1945.
Salah satu proses demokrasi yang utama adalah penyelenggaraan pemilihan umum. Mekanisme ini menentukan pengisian jabatan-jabatan penting dalam lembaga negara, yaitu anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Agar hasil pemilu benar-benar mencerminkan pilihan rakyat[50] sebagai pemilik kedaulatan pemilu harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Salah satu wujud prinsip tersebut adalah penyelenggaraan pemilu tidak diselenggarakan oleh pemerintah, tetapi oleh komisi tersendiri yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Selain itu, jika terjadi perselisihan hasil pemilu antara peserta dan penyelenggara pemilu, harus diputus melalui mekanisme peradilan agar benar-benar obyektif, tidak dipengaruhi oleh kepentingan pemerintah, peserta, maupun penyelenggara pemilu. Di sinilah pentingnya wewenang Mahkamah Konstitusi memutus perselisihan hasil pemilu untuk menjamin hasil pemilu benar-benar sesuai dengan pilihan rakyat.
Wewenang terakhir Mahkamah Konstitusi adalah memberi putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Wewenang ini di satu sisi merupakan jaminan terhadap sistem presidensiil yang dianut UUD 1945 yang mana menghendaki masa jabatan Presiden yang bersifat tetap (fix term) dan tidak mudah dijatuhkan semata-mata karena alasan politik. Di sisi lain, wewenang ini merupakan pelaksanaan prinsip persamaan dihadapan hukum (equality before the law), termasuk terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden. Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dijatuhkan karena melakukan pelanggaran hukum tertentu, tindak pidana berat lainnya, serta perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden[51], setelah dibuktikan di Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan kelima wewenang yang dimiliki tersebut, Mahkamah Konstitusi memiliki fungsi sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution) hal itu sesuai dengan dasar keberadaan untuk menjaga pelaksanaan konstitusi. Fungsi tersebut membawa konsekuensi Mahkamah Konstitusi juga memiliki fungsi lain, yaitu sebagai penafsir konstitusi yang bersifat final (the final interpreter of the constitution). Selain itu, sesuai dengan materi muatan UUD 1945 yang meliputi aturan dasar kehidupan bernegara berdasarkan prinsip demokrasi dan jaminan terhadap perlindungan hak asasi manusia, Mahkamah Konstitusi juga memiliki fungsi sebagai pengawal demokrasi (the guardian of the democracy by protecting minority rights), pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the citizen’s constitutional rights), serta pelindung hak asasi manusia (the protector of human rights).
Produk hukum di bawah UUD 1945 yang menjabarkan aturan dasar konstitusional adalah undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif. Secara hirarkis, produk hukum di bawah undang-undang merupakan dasar hukum bagi aturan yang lebih rendah serta menjadi legitimasi hukum bagi tindakan yang akan dilakukan oleh para penyelenggara negara. Untuk menjamin konstitusionalitas pelaksanaan, baik dalam bentuk aturan hukum maupun tindakan penyelenggara negara berdasarkan ketentuan undang-undang, dibentuklah Mahkamah Konstitusi[52] yang memiliki wewenang salah satunya memutus pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Undang-undang sebenarnya adalah juga merupakan bentuk penafsiran terhadap ketentuan dalam konstitusi oleh pembentuk undang-undang. Namun demikian, penafsiran tersebut dapat saja terjadi kekeliruan dan dianggap bertentangan dengan UUD 1945 oleh warga negara, lembaga negara lain, badan hukum tertentu, atau kesatuan masyarakat hukum adat, karena melanggar hak dan atau kewenangan konstitusional mereka. Terhadap perbedaan penafsiran tersebut, Mahkamah Konstitusi-lah memberikan putusan akhir dalam perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Fungsi inilah yang disebut sebagai the final interpreter of the constitution.
Sebagai bentuk kesepakatan bersama seluruh rakyat,[53] UUD 1945 tidak hanya melindungi kepentingan dan hak-hak mayoritas, tetapi juga melindungi kepentingan dan hak-hak kelompok minoritas. Inilah salah satu prinsip demokrasi modern yang menyeimbangkan antara pemerintahan mayoritas (majority rule) dengan perlindungan kelompok minoritas. Demokrasi akan terperosok menjadi tirani jika semata-mata berdasarkan pada prinsip mayoritas.
Di sisi lain, undang-undang dapat dilihat sebagai produk dari proses politik yang lebih ditentukan oleh suara mayoritas. Hal itu dapat dilihat dari lembaga pembentuk undang-undang, yaitu DPR dan Presiden yang menduduki jabatan tersebut berdasarkan perolehan suara dalam pemilihan umum. Dalam proses pembuatan undang-undang juga sangat dipengaruhi oleh aspirasi masyarakat paling kuat. Oleh karena itu, proses pembuatan dan hasil akhirnya memiliki potensi mengesampingkan atau bahkan melanggar hak konstitusional kelompok minoritas. Apabila hal itu terjadi, demokrasi telah terancam dan dapat tergelincir menjadi tirani mayoritas. Di sinilah Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai penjaga demokrasi dengan cara melindungi hak kaum minoritas (the guardian of democracy by protecting minority rights) sekaligus menjaga pelaksanaan UUD 1945 sebagai kesepakatan seluruh rakyat, bukan hanya kelompok mayoritas.
Fungsi selanjutnya adalah sebagai pelindung hak asasi manusia (the protector of the human rights) dan pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the constitutional citizen’s rights). Salah satu hasil perubahan UUD 1945 yang paling banyak ketentuannya adalah terkait dengan hak asasi yang karenanya menjadi hak konstitusional. Hak tersebut meliputi kelompok-kelompok hak yang biasa disebut sebagai hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial, hak budaya, bahkan hak individu maupun hak kolektif masyarakat.[54] Adanya jaminan hak asasi dalam konstitusi menjadikan negara memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi, menghormati, dan memajukan hak-hak tersebut. Wewenang Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang dapat dilihat sebagai upaya melindungi hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara yang dijamin UUD 1945 agar tidak dilanggar oleh ketentuan undang-undang. Jika ketentuan suatu undang-undang telah melanggar hak konstitusional warga negara, maka dapat dipastikan tindakan penyelenggara negara atau pemerintahan yang dilakukan berdasarkan ketentuan tersebut juga akan melanggar hak konstitusional warga negara. Oleh karena itu, kewenangan pengujian tersebut sekaligus mencegah agar tidak ada tindakan penyelenggara negara dan pemerintahan yang melanggar hak konstitusional warga negara. Mahkamah Konstitusi juga berwenang memutus perkara pembubaran partai politik yang dimaksudkan agar pemerintah tidak dapat secara sewenang-wenang membubarkan partai politik yang melanggar hak berserikat yang terkait erat dengan hak atas kebebasan nurani dan kebebasan mengeluarkan pendapat yang dijamin dalam UUD 1945.


DAFTAR PUSTAKA



Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh. Azas-Azas Hukum Tata Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1991.
Abu Daud Busroh.  Ilmu Negara. Jakarta: Bumi Aksara, 1990.
Ahmad Sukardja. Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Per­bandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat Majemuk. Jakarta: UI-Press, 1995.
Bagir Manan. Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara. Ban­dung:  CV. Mandar Maju, 1995.
Berki, R.N. The History of Political Thought: A Short Introduction. London: J.J.Dent and Sons, Everyman’s University Library, 1988.
Bogdanor, Vernon (ed). Blackwell’s Encyclopaedia of Political Science. Oxford: Blackwell, 1987.
Bryce,  J. Studies in History and Jurisprudence. Vol. 1. Oxford: Clarendon Press, 1901.
Dahlan Thaib, dkk. Teori Konstitusi dan Hukum Konstitusi. cet. Kelima. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,  2005.
Friedrich, C.J. Man and His Government. New York: McGraw-Hill, 1963.
Heller, Herman. Staatlehre, herausgegeben von Gerhart Niemeyer. Leiden: A.W: Sijthoff.
Ismail Saleh.  Demokrasi, Konstitusi, dan Hukum. Jakarta: Departemen Kehakiman RI, 1988.
Jimly Asshiddiqie. Kebebasan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
---------------------------. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
---------------------------. Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. translated by: Anders Wedberg. New York: Russell & Russell, 1961.
L. M. Sitorus. Ilmu Politika: Suatu Perkenalan Lapangan. cet. ke-3. Jakarta: PT. Pembangunan, 1958.
Laski, Harold J. A Grammar of Politic. Eleventh Impression. London: George Allen & Unwin Ltd, 1951.
Lijphart, Arend. Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries. New Heaven and London: Yale University Press, 1999.
MacIver, R.M. The Modern State. First Edition. London: Oxford University Press, 1955.
McIlwain, Charles Howard. Constitutionalism: Ancient and Modern. Ithaca, New York: Cornell University Press, 1966.
Newman, W. L. (ed). The Politics of Aristotle. New York: Oxford University Press, 2000.
Pildes, Richard H. The Constitutionalization of Democratic Politics. Harvard Law Review. Vol. 118:1, 2004,
Schmitt, Carl. Verfassungslehre. Berlin unveran­dester neudruk: Duncker & Humbolt, 1957.
Tahir Azhary. Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsio-prinsipnya Dili­hat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kin., cet. Kedua. Jakarta: Kencana, 2004.Hh
Tholosano, Authore D. Petro Gregorio. De Republica Libri Sex et Viginti.  lib.I, cap. I, 16, 19, Lugduni, 1609.
Thompson, Brian. Textbook on Constitutional and Administrative Law. edisi ke-3. London: Blackstone Press Ltd., 1997.
Thompson, Brian. Textbook on Constitutional Law & Administrative Law. Third Edition. London: Blackstone Press Limited, 1997.
Woodbine, George E. (ed.). Glanvill De Legibus et Consuetudinibus Angiluae. New Haven: 1932.




[1] Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
[2] Secara garis besar perwujudan kedaulatan rakyat dalam kehidupan bernegara dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu dalam lembaga perwakilan rakyat atau parlemen, dan dalam bentuk konstitusi sebagai wujud perjanjian sosial tertinggi. Negara-negara yang menganut perwujudan kedaulatan rakyat dalam  parlemen mengakibatkan dianutnya prinsip supremasi parlemen. Konstitusi dalam negara tersebut dapat dibuat atau diubah dengan produk hukum parlemen (legislative act). Sedangkan negara yang menganut perwujudan kedaulatan rakyat pada konstitusi, menempatkan konstitusi sebagai hukum tertinggi. Konsekuensinya, hukum yang dibuat oleh parlemen tidak boleh bertentangan dengan konstitusi.
[3] Charles Howard McIlwain, Constitutionalism: Ancient and Modern, (Ithaca, New York: Cornell University Press, 1966), hal. 26. Seperti dikata­kan oleh Sir Paul Vinogradoff, “The Greeks recognized a close analogy between the organization of the State and the organism of the individual human being. They thought that the two elements of body and mind, the former guided and governed by the later, had a parallel in two constitutive elements of the State, the rulers and the ruled”.
[4] Analogi di antara organisasi negara (state organization) dan organisme manusia (human organism) ini, seperti dikatakan oleh W. L. Newman dalam The Politics of Aristotle, merupakan the central inquiry of political science di dalam sejarah Yunani Kuno. Lihat, W. L. Newman (ed). The Politics of Aristotle, (New York: Oxford University Press, 2000).
[5] McIlwain, Op. Cit., hal. 23.
[6] Ibid.
[7] Dokumen Constitutions of Clarendon menyebut dirinya sendiri sebagai recordatio (record) atau recognitio (a finding). Pengarang buku “Leges Henrici Primi” pada awal abad ke-12, juga menyebut “the well-known writ of Henry I for the holding of the hundred and county courts” sebagai record.
[8] George E. Woodbine (ed.), Glanvill De Legibus et Consuetudinibus Angiluae, (New Haven: 1932), hal. 63.
[9] McIlwain, Op. Cit., hal. 24.
[10] Authore D. Petro Gregorio Tholosano, De Republica Libri Sex et Viginti, lib.I, cap. I, 16, 19, Lugduni, 1609, hal. 4-5.
[11] Nama lengkapnya adalah Marcus Tullius Cicero (106-43 BC). Menurut R.N. Berki, “In the extant writings of the great Roman statesman and orator, Marcus Tullius Cicero (106-43 BC), we find the most interesting for­mu­lations of Roman Stoicism as regards political thought”. Lihat R.N. Berki, The History of Political Thought: A Short Introduction, (London: J.J.Dent and Sons, Everyman’s University Library, 1988), hal. 74.
[12] McIlwain, Op. Cit., hal. 20.
[13] Ibid., hal. 12.
[14] Banyak sarjana yang menggambarkan Piagam Madinah itu sebagai Konstitusi seperti dipahami dewasa ini. Beberapa diantaranya lihat Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Per­bandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat Majemuk, (Jakarta: UI-Press, 1995); Dahlan Thaib dkk., Teori Konstitusi dan Hukum Konstitusi, cet. kelima, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,  2005). Lihat juga Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsio-prinsipnya Dili­hat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, cet. kedua, (Jakarta: Kencana, 2004).Hh
[15] Ibid., hal. 47.
[16] Ibid., hal. 57.
[17] Lihat misalnya Thompson, Op. Cit., hal. 5.
[18] J. Bryce, Studies in History and Jurisprudence, Vol. 1, (Oxford: Clarendon Press, 1901), hal. 151.
[19] Lihat kasus Marbury versus Madison (1803) 5-US, 1 Cranch, 137, dalam Thompson, Op. Cit., hal. 5.
[20] Brian Thompson, Textbook on Constitutional and Administrative Law, edisi ke-3, (London: Blackstone Press Ltd., 1997), hal. 3.
[21] Hal tersebut terjadi kurang lebih 11 tahun sejak kemerdekaan Amerika Serikat setelah dideklarasikannya pada tanggal 4 Juli 1776. Lihat juga Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, (Ban­dung:  CV. Mandar Maju, 1995), hal. 2.
[22] Sementara ini, beberapa sarjana ada juga yang berpendapat bahwa Arab Saudi telah memiliki satu Konstitusi tertulis, yaitu naskah yang dibuat dan di­sandarkan berdasarkan Al Qur’an dan Hadist.
[23] Bandingkan dengan kesimpulan yang dikemukakan oleh Brian Thompson tentang Konstitusi Inggris, “In other words the British constitution was not made, rather it has grown”. Op. Cit., hal. 5.
[24] Phillips, Op. Cit., hal. 5.
[25] Ivo D. Duchacek, “Constitution and Constitutionalism” dalam Bogdanor, Vernon (ed), Blackwell’s Encyclopaedia of Political Science, (Oxford: Blackwell, 1987), hal. 142.
[26] Friedrich, C.J., Man and His Government, (New York: McGraw-Hill, 1963), hal. 217.
[27] Lihat dan bandingkan juga pendapat Padmo Wahjono mengenai pem­ba­tasan kekuasaan dalam Padmo Wahjono, Masalah Ketatanegaraan Indo­ne­sia Dewasa ini, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hal. 10.
[28] Herman Heller, Staatlehre, herausgegeben von Gerhart Niemeyer, (Leiden: A.W: Sijthoff).
[29] Lihat dan bandingkan lebih lanjut pandangan dari Ferdinand Lassalle dalam Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh, Azas-Azas Hukum Tata Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1991), hal. 73.
[30] Carl Schmitt, Verfassungslehre, (Berlin unveran­dester neudruk: Duncker & Humbolt, 1957), hal. 4. Vervassung ist der konkrete Gesamtzustand poli­tischer Einheit und sozialer Ordnung eines bestimmmten Staats. Zu jedem Staat gehoren politische Einheit und soziale Ordnung, irgendwelche Prin­zipien der Einheit und Ordnung, irgendiene im kritischen Falle bei interes­seb und Macht­konflikten maszgebende Entscheuidungsintanz. Diesen Gesam­­tzu­stand politischer Einheit und sozialer Ordnung kann man Ver­fassung nennen. Der Staat wurde aufhoren zu existieren, wenn diese Verfas­sung, d.h. diese Einheit and Ordnung aufhorte. Diese Verfassung ist eine “Seele”, sein konkretes heben und seine indivi­duelle Existenz. Lihat juga Georg Jellinek, Allgemeine Staats­lehre, hal. 491, menyebutkan: “die Ver­fassung Als eine Ordnung, der gemasz der staatliche Wille sich bildet”.
[31] Carl Schmitt, Op. Cit, hal. 4-5, "Vervassung ist eine besondere Art poli­ticher und sozialer Ordnung Verfassung bedentet hier diekonkrete Art der Uber und Unterordnung, wiel cs in der sozialer Wirklichkeit keine Ordnung ohne Uber und Unterordnung gibt. Hier ist Verfassung die besondere Form der Herrschaft, die zu jedem Staat gehort und von seiner pilitschen Ex~sl mz nicht zu trennen ist, Z.B. Monarchie, Aris­tokratie oder Demokratie, oder wie man die Staatformen ein teilen will" Verfassung is hier ist Staatsform.
[32] Ibid., hal. 11. “Die Relatieverung des Verfassungsbegrieffes besteht hochster und letzter Normen bedaulen (Verfassung ist Norm der Normen). darin, dasz statt der einheitlichen Verfassung in Ganzen nur das einzefne Verfassungsgestz, der Begriff des Verfas­sungs geselzes aber nach ausz Emlichen und neben­sach­lichen, sog formalen Kenn-Zeichen bestimmt wird.”
[33] Ibid., hal. 20. “Die Verfassung als Gesamt-Entscheidung uber Art und Vorm der politischen Einheit”.
[34] Bandingkan dengan Ismail Saleh, Demokrasi, Konstitusi, dan Hukum, (Jakarta: Departemen Kehakiman RI, 1988).
[35] Schmitt, op cit., hal. 36 dst. Idealbegriff der Verfassung (in einem auszeichnenden Sinne, wegen eines bestimmten Inhaltes sogenannte ‘Verfassung’) Ins­besondere hal das Liberale Burgertum in seinem Kampl gegen die absolute Monarchie einem bestimmten ideal­begriff von Verfassung angsgestellt und ihn mit dem Begriff der Verfassung schiechin dentifizirt. Man sprach also nur dan non ‘Verfassung’, wenn die Forderungen burgerlibber Freiheit erfullt und dem Burgertum ein maszgebender pplitischer Ein flusz geilichert was”.
[36] J. Barents, “De Wetenschap de Politiek, Een Terreinverkenning” (1952), terjemahan L.M. Sitorus, Ilmu Politika: Suatu Perkenalan Lapangan, cet. ke-3, (Jakarta: PT. Pembangunan, 1958), hal. 38.
[37] Maurice Hauriou, Precis de Droit Constitutionnel. Lihat juga Abu Daud Busro, Ilmu Negara,(Jakarta: Bumi Aksara, 1990), hal. 99.
[38] G.S. Diponolo, Ilmu Negara, Jilid I, Balai Pustaka, Jakarta, 1951, hal. 23.
[39] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 152.
[40] Ibid., hal. 154-162.
[41] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by: Anders Wedberg, (New York: Russell & Russell, 1961), hal 157.
[42] Disebut juga dengan “the centralized system of judicial review”. Lihat Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries, (New Heaven and London: Yale University Press, 1999), hal. 225.
[43] Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 28, 29, 64 – 66, 108 dan 109. Terhadap peran Kelsen dalam hal ini masih ada perbedaan pandangan antara mana yang lebih penting perannya antara Georg Jellinek dan Adolf Merkl atau Hans Kelsen. Lihat end note bagian pertama halaman 51 nomor 32.
[44] Pembahasan secara komprehensif mengenai pengujian konstitusional dapat dibaca dalam Jimly Asshiddiqie, Model-model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
[45] Lihat Pasal 1 ayat (2) UUD 1945: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
[46] Asshiddiqie, Model-Model Pengujian, Op. Cit., hal. 10-11.
[47] Richard H. Pildes, The Constitutionalization of Democratic Politics, Harvard Law Review, Vol. 118:1, 2004, hal. 2-3, 10.
[48] Lihat Harold J. Laski, A Grammar of Politic, Eleventh Impression, (London: George Allen & Unwin Ltd, 1951), hal. 312.
[49] Pembahasan mengenai hal ini dapat dibaca pada Jimly Asshiddiqie, Kebebasan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005).
[50] Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, (Jakarta: UI-Press, 1996), hal. 25 – 26; Lihat pula MacIver, The Modern State, First Edition, (London: Oxford University Press, 1955), hal. 396 – 397.
[51] Berdasarkan Pasal 7A UUD 1945, alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, ataupun perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
[52] Kelsen, Op. Cit.
[53] Brian Thompson, Textbook on Constitutional Law & Administrative Law, Third Edition, (London: Blackstone Press Limited, 1997), hal. 5.
[54] Materi yang semula hanya berisi 7 butir ketentuan dalam UUD 1945 sebelum perubahan, sekarang telah bertambah secara sangat signifikan. Ketentuan baru yang diadopsikan ke dalam UUD 1945 setelah Perubahan Kedua pada tahun 2000 termuat dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J, ditambah beberapa ketentuan lainnya yang tersebar di beberapa pasal.

No comments: