Wednesday, April 24, 2013

PEMBANGUNAN HUKUM DAN PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA[1] Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.[2]



MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA


PEMBANGUNAN HUKUM DAN PENEGAKAN HUKUM
DI INDONESIA[1]
Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.[2]



Indonesia diidealkan dan dicita-citakan oleh the foun­ding fathers sebagai suatu Negara Hukum (Rechtsstaat/ The Rule of Law). UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.[3] Namun, bagaimana cetak biru dan desain makro penjabaran ide negara hukum itu, selama ini belum pernah dirumuskan secara kom­prehensif. Yang ada hanya pembangunan bidang hukum yang bersifat sektoral. Oleh karena itu, hukum hendaknya dapat dipahami dan dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem. Apalagi, negara hendak dipahami sebagai suatu kon­sep hukum, yaitu sebagai Negara Hukum. Dalam hukum se­ba­gai suatu kesatuan sistem terdapat (1) elemen kelemba­gaan (elemen institusional), (2) elemen kaedah aturan (ele­men instrumental), dan (3) elemen perilaku para subjek hu­kum yang menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma aturan itu (elemen subjektif dan kultural). Ketiga elemen sistem hukum itu mencakup (a) kegiatan pembuatan hukum (law making), (b) kegiatan pelaksanaan atau pene­rapan hukum (law administrating), dan (c) kegiatan per­adil­an atas pelanggaran hukum (law adjudicating). Biasanya, kegiatan terakhir lazim juga disebut sebagai kegiatan pene­gakan hukum dalam arti yang sempit (law enforcement) yang di bidang pidana melibatkan peran kepolisian, kejaksa­an, advokat, dan kehakiman atau di bidang perdata melibat­kan peran advokat (pengacara) dan kehakiman. Selain itu, ada pula kegiatan lain yang sering dilupakan orang, yaitu: (d) pemasyarakatan dan pendidikan hukum (law socialization and law education) dalam arti seluas-luasnya yang juga berkaitan dengan (e) pengelolaan informasi hukum (law infor­mation management) sebagai kegiatan penunjang. Ke­lima kegiatan itu biasanya dibagi ke dalam tiga wilayah fung­si kekuasaan negara, yaitu (i) fungsi legislasi dan regulasi, (ii) fungsi eksekutif dan administratif, serta (iii) fungsi yudikatif atau judisial[4]. Organ legislatif adalah lembaga parlemen, organ eksekutif adalah birokrasi pemerintahan, sedangkan organ judikatif adalah birokrasi aparatur penegakan hukum yang mencakup kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Kese­mua itu harus pula dihubungkan dengan hirarkinya masing-masing mulai dari organ tertinggi sampai terendah, yaitu yang terkait dengan aparatur tingkat pusat, aparatur tingkat provinsi, dan aparatur tingkat kabupaten/kota.
Dalam keseluruhan elemen, komponen, hirarki dan aspek-aspek yang bersifat sistemik dan saling berkaitan satu sama lain itulah,[5] tercakup pengertian sistem hukum yang harus dikembangkan dalam kerangka Negara Hukum Indo­nesia berdasarkan UUD 1945. Jika dinamika yang berkenaan dengan keseluruhan aspek, elemen, hirarki dan komponen tersebut tidak bekerja secara seimbang dan sinergis, maka hukum sebagai satu kesatuan sistem juga tidak dapat diharapkan tegak sebagaimana mestinya. Sebagai contoh, karena bangsa kita mewarisi tradisi hukum Eropa Konti­nen­tal (civil law), kita cenderung menumpahkan begitu banyak perhatian pada kegiatan pembuatan hukum (law making), tetapi kurang memberikan perhatian yang sama banyaknya terhadap kegiatan penegakan hukum (law enforcing). Bah­kan, kitapun dengan begitu saja menganut paradigma dan doktrin berpikir yang lazim dalam sistem civil law, yaitu berlakunya teori fiktie yang beranggapan bahwa begitu suatu norma hukum ditetapkan, maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu hukum. Ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat membebaskan orang itu dari tuntutan hukum. Teori ini diberi pembenaran pula oleh prinsip yang juga di­akui universal, yaitu persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Orang kaya di Jakarta harus diperlakukan sama oleh hukum dengan orang miskin di daerah terpencil di Mentawai (Sumbar), di Lembah Baliem (Papua), suku Kubu di perbatasan Jambi-Sumatera Selatan, ataupun suku ter­pencil di pulau-pulau kecil di seluruh wilayah Nusantara.
Teori fiktie di atas memang fiktie sifatnya atau hayalan saja, karena tidak mencerminkan realitas yang sebenarnya. Untuk lingkungan negara-negara maju dan apalagi kecil seperti Belanda dengan tingkat kesejahteraan dan pengeta­huan masyarakatnya yang merata, tentu tidak ada persoalan dengan teori fiktie itu. Dalam masyarakat homogen seperti itu informasi hukum yang tersedia dalam masyarakat bersifat simetris. Tetapi di negara yang demikian besar wilayahnya, begitu banyak pula jumlah penduduknya, serta miskin dan terbelakang pula kondisi kesejahteraan dan pendidikan­nya seperti Indonesia, sudah tentu sistem informasi hukum yang tersedia dalam masyarakat tidak bersifat simetris. Tidaklah adil untuk memaksakan berlaku sesuatu norma hukum ke­pada mereka yang sama sekali tidak mengerti, tidak terlibat, dan tidak terjangkau pengetahuannya tentang norma aturan yang diberlakukan itu kepadanya. Jika dalam norma aturan itu terjadi proses kriminalisasi, sudah tentu orang yang bersangkutan terancam menjadi kriminal tanpa ia sendiri menyadarinya. Oleh karena itu, di samping adanya dan di antara kegiatan pembuatan hukum (law making) dan pe­negakan hukum (law enforcing), diperlukan kegiatan, yaitu pemasya­rakatan hukum (law socialization) yang cenderung diabaikan dan di­anggap tidak penting selama ini. Padahal, inilah kunci tegaknya hukum. Tanpa basis sosial yang me­nyadari hak dan kewajibannya seca­ra hukum, maka hukum apapun yang dibuat tidak akan efektif, tidak akan tegak, dan tidak akan ditaati dengan sungguh-sungguh.
Oleh karena itu, memahami hukum secara kompre­hen­sif sebagai suatu sistem yang terintegrasi menjadi sangat penting untuk dilakukan. Strategi pembangunan hukum ataupun pembangunan nasional untuk mewujudkan gagasan Negara Hukum (Rechtsstaat atau The Rule of Law) juga tidak boleh terjebak hanya berorientasi membuat hukum saja, ataupun hanya dengan melihat salah satu elemen atau aspek saja dari keseluruhan sistem hukum tersebut di atas. Itulah sebabnya, saya sering mengemukakan penting kita sebagai bangsa menyusun dan merumuskan mengenai apa yang kita maksud dengan konsepsi Negara Hukum Indonesia yang diamanatkan dalam UUD 1945, terutama sekarang telah ditegaskan dalam rumusan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Semua lembaga atau institusi hukum yang ada hen­daklah dilihat sebagai bagian dari keseluruhan sistem hukum yang perlu dikembangkan dalam kerangka Negara Hukum itu. Untuk itu, bangsa Indonesia perlu menyusun suatu blue-print, suatu desain makro tentang Negara Hukum dan Sistem Hukum Indonesia yang hendak kita bangun dan tegakkan di masa depan.

A.   PEMBENTUKAN DAN PEMBARUAN HUKUM
Kita sudah berhasil melakukan constitutional reform secara besar-besaran. Jika UUD 1945 yang hanya mencakup 71 butir ketentuan di dalamnya, maka setelah empat kali mengalami perubahan, UUD 1945 sekarang berisi 199 butir ketentuan.
Perubahan UUD 1945 dilakukan secara bertahap dan menjadi salah satu agenda Sidang Tahunan MPR[6] dari tahun 1999 hingga perubahan keempat pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002 bersamaan dengan kesepakatan dibentuknya Komisi Konstitusi yang bertugas melakukan pengkajian secara komprehensif tentang perubahan UUD 1945 berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi.
Perubahan Pertama dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 1999 yang meliputi Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan (3), Pasal 20, dan Pasal 22 UUD 1945. Berdasarkan ketentuan pasal-pasal yang diubah, arah Perubahan Pertama UUD 1945 adalah membatasi kekuasaan Presiden dan memperkuat kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif.[7]
Perubahan Kedua dilakukan dalam sidang Tahunan MPR Tahun 2000 yang meliputi Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C UUD 1945. Perubahan Kedua ini meliputi masalah wilayah negara dan pembagian pemerintahan daerah, menyempurnakan perubahan pertama dalam hal memperkuat kedudukan DPR, dan ketentuan-ketentuan yang terperinci tentang HAM.[8]
Perubahan Ketiga yang ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2001 mengubah dan atau menambah ketentuan-ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan (3), Pasal 3 ayat (1), (3), dan (4), Pasal 6 ayat (1) dan (2), Pasal 6A ayat (1), (2), (3), dan (5), Pasal 7A, Pasal 7B ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), dan (7), Pasal 7C, Pasal 8 ayat (1) dan (2), Pasal 11 ayat (2) dan (3), Pasal 17 ayat (4), Bab VIIA, Pasal 22C ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 22D ayat (1), (2), (3), dan (4), Bab VIIB, Pasal 22E ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6), Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23A, Pasal 23C, Bab VIIIA, Pasal 23E ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23F ayat (1), dan (2), Pasal 23G ayat (1) dan (2), Pasal 24 ayat (1) dan (2), Pasal 24A ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), Pasal 24 B ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 24C ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6) UUD 1945. Materi Perubahan Ketiga UUD 1945 meliputi ketentuan tentang Asas-asas landasan bernegara, kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara, dan ketentuan-ketentuan tentang Pemilihan Umum.[9]
Perubahan keempat dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2002. Perubahan dan atau penambahan dalam Perubahan Keempat tersebut meliputi Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3); Pasal 11 ayat (1); Pasal 16, Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 ayat (3); Bab XIII, Pasal 31 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Pasal 32 ayat (1), (2), (3), dan (4); Bab IV, Pasal 33 ayat (4) dan (5); Pasal 34 ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 37 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III; Aturan Tambahan Pasal I dan II UUD 1945. Materi perubahan pada Perubahan Keempat adalah ketentuan tentang kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), ketentuan tentang pendidikan dan kebudayaan, ketentuan tentang perekonomian dan kesejahteraan sosial, dan aturan peralihan serta aturan tambahan.[10]
Perubahan-perubahan tersebut bukan hanya perubahan redaksional, melainkan menyangkut pula perubahan paradigma pemi­kiran yang sangat mendasar. Karena itu, segera setelah agenda constitutional reform (pembaruan konstitusi), kita perlu melanjutkan dengan agenda legal reform (pembentuk­an dan pem­baruan hukum) yang juga besar-besaran. Jika kita mencermati ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 setelah empat kali dirubah, terdapat 22 butir ketentuan yang menyatakan “diantur dengan undang-undang” atau “diatur lebih lanjut dengan undang-undang”, 11 butir ketentuan yang menyatakan “diatur dalam undang-undang” atau “diatur lebih lanjut dlaam undang-undang”, dan 6 butir ketentuan menyatakan “ditetapkan dengan undang-undang.
Bidang-bidang hukum yang memerlukan pemben­tuk­an dan pembaruan tersebut dapat dikelompokkan menurut bidang-bidang yang dibutuhkan, yaitu:
1.  Bidang politik dan pemerintahan.
2.  Bidang ekonomi dan dunia usaha.
3.  Bidang kesejahteraan sosial dan budaya.
4.  Bidang penataan sistem dan aparatur hukum.

Sebagai konsekuensi dari supremasi konstitusi dan hierarki perundang-undangan dalam suatu sistem hukum, maka perubahan konstitusi mengharuskan adanya perubahan terhadap perundang-undangan dalam sistem hukum tersebut, serta pelaksanaannya oleh pihak yang berwenang. Demikian pula halnya dengan perubahan UUD 1945 yang cukup mendasar dan meliputi hampir keseluruhan ketentuan yang terdapat di dalamnya, harus diikuti dengan perubahan perundang-undangan yang berada di bawahnya dan pelaksanaannya oleh organ yang berwenang.[11]  Ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang telah ada yang bersumber pada ketentuan tertentu dalam UUD 1945 sebelum perubahan harus dilihat kembali kesesuaiannya dengan ketentuan hasil perubahan UUD 1945.
Sebagai suatu kesatuan sistem hukum, upaya perubahan perundang-undangan untuk menyesuaikan dengan perubahan UUD 1945 seharusnya adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan hukum nasional secara keseluruhan. Karena itu, perubahan berbagai perundang-undangan sebaiknya dilakukan secara terencana dan partisipatif dalam program legislasi nasional sekaligus bentuk legislatif review. Program legislasi nasional harus disusun pertama dan utamanya adalah untuk melaksanakan ketentuan dalam UUD 1945. Berdasarkan ketentuan UUD 1945 dapat dielaborasi perundang-undangan yang harus dibuat dalam program legislasi nasional baik di bidang politik, ekonomi, maupun sosial.
Disamping itu masyarakat juga dapat mengajukan permohonan constitutional review kepada Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang yang dianggap merugikan hak konstitusionalnya dalam UUD 1945 yang telah diubah.[12] Masyarakat juga dapat mengajukan judicial review kepada Mahkamah Agung terhadap peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Putusan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945  yang telah dibuat oleh Mahkamah Konstitusi terhadap berbagai permohonan pengujian yang diajukan juga harus diperhatikan dalam upaya pembangunan hukum nasional khususnya perubahan perundang-undangan.[13] Dalam putusan-putusan tersebut memuat pengertian-pengertian dan konsep-konsep terkait dengan pemahaman suatu ketentuan dalam konstitusi. Hingga saat ini telah terdapat berbagai putusan Mahkamah Konstitusi baik di bidang politik[14], ekonomi[15], dan sosial[16] terkait dengan ketentuan dalam UUD 1945.
Hukum yang perlu disusun dan diperbarui tidak saja berupa Undang-Undang tetapi juga Peraturan Pe­merintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peratur­an di lingkungan lembaga-lembaga tinggi negara dan badan-badan khusus dan independen lainnya seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Bank Indonesia, Komisi Pemilihan Umum, dan sebagainya. Demikian pula di daerah-daerah, pembaruan dan pembentukan hukum juga dilakukan dalam bentuk Peraturan Daerah dan nantinya dapat pula berupa Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati dan Peraturan Walikota. Untuk menampung kebutuhan di tingkat lokal, termasuk meng­akomodasikan perkembangan norma-norma hukum adat yang hidup dalam masyarakat pedesaan, dapat pula dibentuk Peraturan Desa. Di samping itu, nomenklatur dan bentuk sistem hukumnya juga perlu dibenahi, misalnya, perlu dibedakan dengan jelas antara peraturan (regels) yang dapat dijadikan objek judicial review dengan penetapan administratif berupa keputusan (beschikking) yang dapat dijadikan objek peradilan tata usaha negara, dan putusan hakim (vonis) dan fatwa (legal opinion).

B.   PENATAAN KELEMBAGAAN
Selain perubahan dan penambahan butir-butir ketentuan, perubahan UUD 1945 juga mengakibatkan adanya perubahan kedudukan dan hubungan beberapa lembaga negara, penghapusan lembaga negara tertentu, dan pembentukan lembaga-lembaga negara baru.
Dalam setiap pembicaraan mengenai lembaga negara, ada 2 (dua) unsur pokok yang sa­ling berkaitan, yaitu organ dan functie. Organ ada­lah bentuk atau wadahnya, sedangkan functie adalah isinya; organ adalah status bentuknya (Inggris: form, Jerman: vorm), sedangkan functie ada­lah gerakan wadah itu sesuai maksud pemben­tukannya. Dalam naskah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, organ-organ yang dimaksud, ada yang disebut secara eks­plisit namanya, dan ada pula yang disebutkan eksplisit hanya fungsinya. Ada pula lembaga atau organ yang disebut bahwa baik namanya maupun fungsi atau kewenangannya akan diatur dengan peraturan yang lebih rendah.[17]
Dapat dikemukakan bahwa sebenarnya yang disebut atau disebut-sebut dalam UUD 1945, terdapat lebih dari 34 buah organ, jabatan, atau lembaga. Organ, jabatan, atau lembaga-lembaga dimaksud adalah:
(i)          Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) diatur dalam Bab II;
(ii)          Presiden Republik Indonesia dan 
(iii)         Wakil Presiden yang diatur dalam Bab III;
(iv)         Dewan pertimbangan presiden diatur dalam Pasal 16 UUD 1945;
(v)         Kementerian Negara diatur dalam Bab V;
(vi)         Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama sebagai triumpirat yang diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UUD 1945;
(vii)        Menteri Dalam Negeri sebagai tirumpirat yang diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UUD 1945;
(viii)       Menteri Pertahanan sebagai triumpirat dalam Pasal 8 ayat (3) UUD 1945;
(ix)         Duta yang diatur dalam Pasal 13 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945;
(x)         Konsul yang diatur dalam Pasal 13 ayat (1) UUD 1945;
(xi)         Pemerintahan Daerah Provinsi diatur dalam Bab VI yang mencakup:
(xii)        Gubernur/Kepala Pemerintah daerah provinsi;
(xiii)       Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi (DPRD provinsi);
(xiv)       Pemerintahan Daerah Kabupaten yang mencakup:
(xv)        Bupati/Kepala Pemerintah daerah kabupaten, dan
(xvi)       Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten (DPRD Kabupaten);
(xvii)      Pemerintahan Daerah Kota;
(xviii)     Walikota/Kepala Pemerintah Daerah Kota; dan
(xix)       Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota (DPRD Kota);
(xx)        Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang diatur dalam Bab VII UUD 1945;
(xxi)       Dewan Perwakilan Daerah diatur dalam Bab VIIA;
(xxii)      Komisi penyelenggara pemilihan umum yang oleh undang-undang dinamakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam Bab VIIB dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang;
(xxiii)     Satu bank sentral yang ditentukan dalam Bab VIII dan akan diatur lebih lanjut dengan undang-undang;
(xxiv)     Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diatur dalam Bab VIIIA;
(xxv)      Mahkamah Agung (Bab XIV);
(xxvi)     Mahkamah Konstitusi (Bab XIV);
(xxvii)    Komisi Yudisial (Bab XIV);
(xxviii)    Tentara Nasional Indonesia (TNI) (Bab XII);
(xxix)     Kepolisian Negara Republik Indonesia (Bab XII).
(xxx)      Angkatan Darat (TNI AD) yang diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
(xxxi)     Angkatan Laut (TNI AL) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
(xxxii)    Angkatan Udara (TNI AU) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
(xxxiii)    Satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa seperti diatur dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945;
(xxxiv) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945.

Dari setidaknya ke-34 lembaga tersebut di atas, ada yang substansi kewenangannya belum ditentukan dalam UUD 1945, misalnya bank sentral. Dalam Pasal 23D UUD 1945 hanya ditentukan, “Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang”. Artinya, apa yang menjadi kewenangan bank sentral itu sendiri masih akan diatur dengan undang-undang. Artinya, UUD sama sekali belum memberikan kewenangan apa-apa kepada bank sentral yang oleh UU dan oleh kebiasaan sejarah selama ini disebut Bank Indonesia. UUD 1945 hanya menyebutkan sifat dari kewenangan bank sentral itu yang dinyatakan bersifat independen, meskipun independensinya itu sendiri masih harus diatur dalam undang-undang.
   Sedangkan komisi pemilihan umum, meskipun namanya belum disebut secara pasti, tetapi kewenangannya sebagai penyelenggara sudah ditegaskan. Dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 ditentukan bahwa “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”. Artinya, bahwa komisi pemilihan umum itu adalah penyelenggara pemilu, dan sebagai penyelenggara ia bersifat nasional, tetap, dan mandiri (independen).
   Oleh karena itu, baik bank sentral maupun komisi penyelenggara pemilihan umum masih dapat dilihat segi-segi konstitusionalitas kewenangannya. Jika pelaksanaan operasional kewenangan atau sifat kewenangannya itu menyimpang dari ketentuan UUD, maka hal demikian dapat saja menjadi objek persengketaan di pengadilan. Sejauh menyangkut aspek-aspek konstitusionalitas kewenangannya itu, tidak dapat tidak forum peradilannya adalah Mahkamah Konstitusi.
Dari ke-34 organ atau lembaga-lembaga tersebut di atas yang sama sekali tidak ditentukan hak-hak atau kewenangannya dalam UUD 1945 adalah (i) Duta; (ii) Konsul; (iii) Angkatan Darat; (iv) Angkatan Laut; dan (v) Angkatan Udara. Organ atau lembaga-lembaga selain bank sentral dan komisi pemilihan umum serta kelima organ terakhir ini pada umumnya disebut tegas namanya dengan kewenangan yang juga jelas ditentukan dalam UUD 1945. Oleh karena itu, dengan ikut memperhitungkan komisi penyelenggara pemilihan umum dan bank sentral, maka dapat dikatakan bahwa dalam UUD 1945, terdapat 28 lembaga atau organ negara yang memiliki kewenangan konstitusional atau yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
   Di samping itu, dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 ditentukan, “Badan-badan lain yang fungsinya ber­kaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Yang dimaksud dengan badan-badan lain dalam ayat ini antara lain adalah Kejaksaan Agung. Kejaksaan Agung memang tidak disebut secara eksplisit dalam UUD 1945, tetapi fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Hal mengenai Kejaksaan Agung ini, diatur lebih lanjut dalam un­dang-undang atau bahkan dengan undang-undang tersendiri. Namun, kedudukannya dalam sistem peradilan terpadu dan prinsip negara hukum yang demokratis secara konstitusional jelas sama pentingnya (constitutional importance) dengan Kepolisian Negara yang secara khusus diatur ketentuannya dalam Pasal 30 UUD 1945. Artinya, hal tidak diaturnya Kejaksaan Agung dalam UUD 1945, berbanding dengan diaturnya Kepolisian tidak dapat dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa Kepolisian Negara lebih penting atau lebih tinggi kedudukannya konstitusionalnya daripada Kejaksaan Agung. Secara konstitusional, kedua-duanya sama-sama penting dalam rangka menjamin tegaknya hukum dan keadilan dalam upaya perwujudan cita-cita negara hukum (rechtsstaat atau the rule of law).
Contoh kejaksaan sebagai lembaga yang ter­cakup dalam perkataan “badan-badan lain” menurut Pasal 24 ayat (3) itu sejalan pula dengan latar belakang perumusan ketentuan Pasal 24 ayat (3) seperti yang diuraikan di atas. Pada mulanya, berkembang gagasan untuk mencantumkan pengaturan mengenai kejaksaan dalam bab tentang Kekuasaan Kehakiman UUD 1945. Ide ini masih ter­can­tum dalam Rancangan Perubahan UUD 1945 yang masih tersisa sesudah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tahun 2001.[18] Namun demikian, setelah naskah Perubahan Keempat disahkan pada tahun 2002, ketentuan mengenai kejaksaan ini tidak men­dapat kesepakatan untuk dicantumkan dalam pasal secara eksplisit. Sebagai gantinya, muncullah rumusan Pasal 24 ayat (3) tersebut di atas. Karena itu, salah satu badan yang dimaksud dalam ayat ini memanglah lem­ba­ga kejaksaan. Namun karena dinyatakan disitu ba­dan-badan lain, maka terbuka kemungkinan ada pula badan lain yang terkait dengan kekuasaan kehakiman itu selain kejaksaan.
Dengan demikian, ada kemungkinan jumlah ba­dan-badan lain itu lebih dari satu, sehingga jumlah keseluruhan lembaga negara berdasarkan UUD 1945 juga lebih dari 34 buah. Misalnya, selain kejaksaan, lembaga lain yang juga berkaitan fungsinya dengan kekuasan kehakiman adalah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Advokat, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan para pejabat yang tergolong ke dalam pengertian penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), seperti petugas bea cukai, petugas pajak, petugas Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya (DLLAJR), dan bahkan termasuk TNI Angkatan Laut yang mempunyai kewenangan tertentu di bidang penyidikan dalam kasus-kasus tindak pidana di laut.[19] Dengan perkataan lain, apabila ditambah dengan lembaga-lembaga atau badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan ke­ha­kiman sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 ayat (3) UUD 1945, maka jelaslah bahwa jumlah lembaga ne­ga­ra yang disebut secara eksplisit dan implisit dalam UUD 1945 berjumlah lebih dari 34 buah.
Ke-34 organ negara atau lebih itu sendiri dapat pula dibagi ke dalam beberapa ke­lom­pok. Pertama, kelompok lembaga negara yang dapat disebut sebagai Lembaga Tinggi Negara (LTN), yaitu (i) Presiden dan Wakil Presiden sebagai satu kesatuan institusi; (ii) DPR; (iii) DPD; (iv) MPR; (v) MK; (vi) MA; dan (vii) BPK. Jika Presiden dan Wakil Presiden serta lembaga-lembaga tinggi negara tersebut dilihat dari segi pejabatnya, maka jumlahnya menjadi delapan yang masing-masing diwakili oleh (i) Presiden; (ii) Wakil Presiden; (iii) Ketua DPR; (iv) Ketua DPD; (v) Ketua MPR; (vi) Ketua MK; (vii) Ketua MA; dan (viii) Ketua BPK. Meskipun sekarang kita tidak lagi mengenal adanya lembaga tertinggi negara, namun sebutan sebagai lembaga tinggi negara masih tetap relevan untuk dikaitkan dengan ketujuh lembaga negara di atas yang diwakili oleh 8 delapan jabatan tersebut.
Kedua, dari 34 lembaga atau lebih tersebut tercatat beberapa lembaga negara yang kewenangannya langsung diberikan oleh undang-undang dasar, tetapi tidak tepat untuk disebut sebagai lembaga tinggi negara. Sebabnya ialah (i) fungsinya hanya bersifat supporting atau auxiliary terhadap fungsi utama, seperti Komisi Yudisial yang bersifat penunjang ter­ha­dap kekuasaan kehakiman. Tugas komisi ini sebenar­nya bersifat internal di lingkungan kekuasaan kehakim­an, tetapi agar pengawasan yang dilakukannya efektif, kedudukannya dipastikan bersifat independen di luar dan sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mah­ka­mah Konstitusi; (ii) pemberian kewenangan konsti­tusio­nal yang eksplisit hanya dimaksudkan untuk me­ne­gaskan kedudukan konstitusionalnya yang indepen­den, meskipun tetap berada dalam ranah atau domain urusan pemerintahan, seperti misalnya Tentara Nasio­nal Indonesia dan Kepolisian Negara; (iii) penentuan kewe­nangan pokoknya dalam undang-undang dasar ha­nya bersifat by implication, bukan dirumuskan secara tegas (strict sense), seperti kewenangan sebagai penyelenggara pemilihan umum yang dikaitkan dengan komisi pemilihan umum. Bahkan komisi pemilihan ini­pun tidak tegas ditentukan namanya dalam UUD 1945, melainkan hanya ditegaskan oleh undang-undang; atau (iv) karena keberadaan kelembagaannya atau kewe­nangan­nya tidak tegas ditentukan dalam undang-un­dang dasar, melainkan hanya disebut akan ditentukan diatur dengan undang-undang, seperti keberadaan bank sentral yang menurut Pasal 23D UUD 1945 masih akan diatur dengan undang-undang. Tetapi, dalam undang-undang dasar ditentukan bahwa kewenangan itu harus bersifat independen. Artinya, by implication kewenangan bank sentral itu diatur juga dalam UUD 1945, meskipun bukan substansinya, melainkan hanya kualitas atau sifatnya.
Dengan demikian, di samping lembaga-lembaga negara yang secara eksplisit disebut dalam UUD 1945, ada pula lembaga-lembaga negara yang memiliki constitutional importance yang sama dengan lembaga negara yang disebutkan dalam UUD 1945, meskipun keberadaannya hanya diatur dengan atau dalam undang-undang. Baik yang diatur dalam UUD maupun yang hanya diatur dengan atau dalam undang-undang, asalkan sama-sama memiliki constitutional importance, dapat dikategorikan sebagai lembaga negara yang memiliki derajat konstitusional yang serupa, tetapi tidak dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara.
   Lembaga-lembaga negara dalam kategori kedua ini yang meme­nu­hi keempat kriteria di atas adalah (i) Komisi Yudisial; (ii) Menteri dan Kementerian Negara; (iii) Menteri Triumpirat; (iv) Dewan per­timbangan presiden; (v) Bank sentral; (vi) Tentara Nasional Indonesia; (vii) Kepolisian Negara; dan (viii) Komisi penyelenggara pemilihan umum. Di samping kedelapan lembaga negara yang disebut secara eksplisit ataupun implisit dalam UUD 1945 tersebut, ada pula lembaga-lembaga negara yang murni diciptakan oleh undang-undang, yang dapat dikategorikan sebagai lembaga yang memiliki constitutional importance juga. Lembaga-lembaga seperti dimaksud misalnya adalah (ix) Kejaksaan Agung; (x) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK); dan (xi) Komisi Nasional Hak Asasi Ma­nu­sia (KOMNAS HAM); dan lain-lain sebagainya.
   Misalnya, ombudsman yang  mempunyai peran penting dalam rangka perwujudan prinsip-prinsip good governance dalam rangka pelayanan umum (public services). Cita-cita UUD 1945 sebagai konstitusi negara kesejahteraan[20] atau welfare state, yang oleh Bung Hatta pernah diterjemahkan dengan perkataan negara pengurus[21],  juga berkaitan dengan fungsi lembaga seperti ombudsman yang dapat berperan penting dalam pengawasan dan penyaluran keluhan-keluhan masyarakat akan buruknya kualitas pelayanan umum (public services) oleh birokrasi pemerintahan. Jika lembaga ombudsman ini dibentuk berdasarkan undang-undang, bukan tidak mungkin suatu kali nanti dapat pula berkembang penafsiran bahwa lembaga ini juga akan dianggap sebagai lembaga yang penting secara konstitusional.[22]
   Khusus mengenai Komisi Yudisial, dapat dikata­kan bahwa kedudukannya secara struktural sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi, secara fungsional, peranannya bersifat penun­jang (auxiliary) terhadap lembaga kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial, meskipun fungsinya terkait dengan kekuasaan kehakiman, tetapi tidak men­jalankan fungsi kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial bukanlah lembaga penegak norma hukum (code of law), melainkan lembaga penegak norma etik (code of ethics). Lagi pula komisi ini hanya berurusan dengan persoalan kehormatan, keluhuran martabat, dan peri­laku hakim, bukan dengan lembaga peradilan atau lem­baga kekuasaan kehakiman secara institusional. Kebe­ra­daannyapun sebenarnya berasal dari lingkungan inter­nal hakim sendiri, yaitu dari konsepsi mengenai majelis kehormatan hakim yang terdapat di dalam dunia profesi kehakiman dan di lingkungan Mahkamah Agung. Artinya, sebelumnya, fungsi ethical auditor ini bersifat internal. Namun, untuk lebih menjamin efek­tifitas kerjanya dalam rangka mengawasi perilaku ha­kim, maka fungsinya ditarik keluar menjadi external auditor yang kedudukannya dibuat sederajat dengan para hakim yang berada di lembaga yang sederajat de­ngan pengawasnya.
   Memang benar bahwa kewenangan Komisi Yu­disial, seperti halnya Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, juga diatur dalam UUD 1945. Tepatnya, Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 24A, Komisi Yudisial dalam Pasal 24B, sedangkan Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24C UUD 1945. Akan tetapi, pengaturan mengenai kewenangan sesuatu lembaga da­lam UUD tidak mutlak harus diartikan bahwa lembaga yang bersangkutan adalah lembaga yang dapat dikate­gori­kan sebagai lembaga tinggi negara. Sebabnya ialah Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara juga diatur kewenangannya dalam UUD 1945, yaitu dalam Pasal 30. Namun, fungsi organisasi tentara dan kepo­lisian sebenarnya termasuk ke dalam kategori fungsi pemerintahan (eksekutif), sehingga kedudukan proto­ko­lernya tidak dapat disederajatkan dengan Presiden, Wakil Presiden, DPR, DPD, MPR, MK, MA, dan BPK hanya karena kewenangannya sama-sama diatur dalam UUD 1945. Mirip dengan itu, maka Komisi Yudisial juga tidak dapat disejajarkan dengan lembaga tinggi negara yang lain hanya karena kewenangannya diatur dalam Pasal 24B seperti halnya kewenangan tentara dan kepolisian yang diatur dalam Pasal 30 UUD 1945.
   Secara struktural dapat dikatakan bahwa Komisi Yudisial memang sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Namun, karena sifat fung­sinya yang khusus dan bersifat penunjang (auxiliary), maka kedudukan protokolernya tidak perlu dipahami sebagai lembaga yang diperlakukan sama dengan Mah­kamah Agung dan Mahkamah Konstitusi serta DPR, MPR, DPD, dan BPK. Karena, Komisi Yudisial itu sen­diri bukanlah lembaga negara yang menjalankan fungsi kekuasaan negara secara langsung. Komisi Yudisial bu­kan lembaga yudikatif, eksekutif, apalagi legislatif. Ia hanya berfungsi menunjang tegaknya kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim sebagai peja­bat penegak hukum dan lembaga yang menjalankan fung­si kekuasaan kehakiman (judiciary).
Dengan demikian, dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, Komisi Yudisial juga bekerja ber­dam­pingan dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, bukan dengan pemerintah ataupun dengan lem­baga perwakilan rakyat. Dalam bekerja, Komisi Yudisial, meskipun tetap bersifat independen, haruslah lebih dekat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, bukan dengan pemerintah ataupun dengan parlemen. Lebih tegasnya, Komisi Yu­disial harus mengambil jarak sehingga tidak menjadi alat politik para politisi, baik yang menduduki jabatan eksekutif maupun legislatif, pemerintah ataupun lem­ba­ga perwakilan rakyat untuk mengontrol dan meng­inter­vensi independensi kekuasaan kehakiman.
Dari ke-34 atau lebih lembaga negara yang sama sekali ti­dak atau belum ditentukan substansi kewenangannya dalam UUD 1945 adalah pula bank sentral. Mengenai bank sentral ini, Pasal 23D UUD 1945 hanya menentukan, “Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung-jawab, dan independensinya di­atur dengan undang-undang”. Artinya, apa yang men­jadi kewenangan bank sentral itu sendiri masih akan diatur dengan undang-undang. Artinya, undang-un­dang dasar sama sekali belum memberikan kewe­nangan apa-apa kepada bank sentral yang oleh UU dan oleh kebiasaan sejarah selama ini disebut Bank Indo­nesia. Yang ditentukan dalam UUD 1945 hanya sifat kewenangan bank sentral itu, yaitu diharuskan bersifat independen. Dengan demikian, harus diakui, tetap ada persoalan konstitusionalitas yang terkait dengan kewenangan bank sentral ini, bukan mengenai substansinya, tetapi mengenai sifat kewenangan konstitusionalnya itu. Artinya, bank sentral juga dapat menghadapi persoalan konstitusionalitas kewenangan yang menjadi obyek perkara di Mahkamah Konstitusi.
   Sedangkan komisi penyelenggara pemilihan umum, meskipun namanya belum disebut secara pasti, tetapi kewe­nangan­nya sebagai penyelenggara sudah ditegaskan. Dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 ditentukan bahwa “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”. Artinya, bahwa komisi pemilihan umum itu adalah penyelenggara pemilu, dan sebagai penye­leng­gara pemilu ia diharuskan bersifat nasional, tetap, dan mandiri (independen).
Organ atau lembaga-lembaga selain bank sen­tral dan komisi pemilihan umum tersebut pada umumnya disebut tegas namanya dengan kewenangan yang ditentukan dengan jelas pula dalam UUD 1945. Dapat dikatakan, dari 34 lembaga negara yang telah diuraikan di atas, ada 28 lembaga yang kewenangannya ditentukan baik secara umum maupun secara rinci dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ke-28 lembaga negara inilah yang dapat disebut sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan konstitusional atau yang kewenangannya diberikan secara eksplisit oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ke-28 lembaga negara itu adalah: (i) Majelis Permusyawaratan Rakyat; (ii) Presiden; (iii) Wakil Presiden; (iv) Menteri atau Kementerian Negara; (v) Menteri Luar Negeri selaku Menteri Triumpirat, (vi) Menteri Dalam Negeri selaku Menteri Triumpirat, (vii) Menteri Pertahanan selaku Menteri Triumpirat, (viii) Dewan pertimbangan pre­siden; (ix) Pemerintahan Daerah Provinsi; (x) Gubernur/Kepala Pemerintah daerah provinsi; (xi) De­wan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi; (xii) Pe­me­rintahan Daerah Kota; (xiii) Walikota/Kepala Pemerintah Daerah Kota; (xiv) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota; (xv) Pemerintahan Daerah Kabupaten; (xvi) Bu­pati/Kepala Pemerintah daerah kabupaten; (xvii) De­wan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten; (xviii) Satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa; (xix) De­wan Perwakilan Rakyat; (xx) Dewan Perwakilan Daerah; (xxi) Komisi pemilihan umum; (xxii) Badan Peme­riksa Keuangan; (xxiii) Mahkamah Agung; (xxiv) Mah­kamah Konstitusi; (xxv) Komisi Yudisial; (xxvi) Bank Sentral; (xxvii) Tentara Nasional Indonesia; dan (xxviii) Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Sedangkan lima organ atau jabatan lainnya, kewenangannya sama sekali tidak atau belum disebut dalam UUD 1945, baik secara implisit ataupun apalagi secara eksplisit. Kelima organ yang di­maksud adalah (i) Duta; (ii) Kon­sul; (iii) Angkatan Darat; (iv) Angkatan Laut; dan (v) Ang­katan Udara. Sementara itu, seperti telah diuraikan di atas, ada pula beberapa lembaga lain yang termasuk kategori seperti yang dimaksud oleh Pasal 24 ayat (3) UUD 1945. Badan-badan lain dimaksud dapat disebut sebagai lembaga negara yang juga memiliki constititonal importance atau yang secara konstitusional dianggap penting tetapi belum disebut secara eksplisit dalam UUD 1945.
Sebagai tindak lanjut dari pembaruan konstitusional, setelah dengan ditetapkannya Perubahan Keempat UUD 1945 maka struktur ketatanegaraan Republik Indonesia ha­rus segera disesuaikan dengan desain UUD yang telah ber­ubah itu. Semua institusi pada lapisan supra struktur kene­garaan dan pemerintahan harus ditata kembali. Demi­kian pula institusi publik di sektor masyarakat (infrastruktur ma­syarakat), seperti partai politik, organisasi kemasyara­kat­an dan organisasi non-pemerintah seperti yayasan (stichting) dan perkumpulan (vereenigings), juga perlu ditata kembali. Bahkan, or­ganisasi di sektor bisnis atau ekonomi pasar (market), seperti perseroan, koperasi, dan BUMN/BUMD juga memerlukan penataan kembali.
Di sektor negara dan pemerintahan, upaya penataan itu mencakup kelembagaan di ranah legislatif, eksekutif, ju­di­katif, dan bahkan di wilayah-wilayah campuran atau yang disebut dengan badan-badan independen. Sekarang, telah bermunculan banyak lembaga independen, misalnya, Komisi Pemilihan Umum, Komisi Nasional HAM, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara, Komisi Penga­was Persaing­an Usaha, Komisi Ombudsman, Komisi Penyiar­an Indonesia, dan sebagainya. Semua badan-badan ini perlu dikonsolidasi­kan sehingga tidak berkembang tanpa arahan yang jelas.
Di lingkungan pemerintahan, juga perlu ditata kembali pembedaan antara fungsi-fungsi politik dan teknis adminis­tratif, antara organisasi departemen dan non departemen pemerintahan, dan. Pasal 17 ayat (4) UUD 1945, misalnya, menentukan bahwa pembentukan, pengubahan, dan pembu­baran organisasi ke­menterian negara harus diatur dalam Undang-Undang. Artinya, diperlukan pula Undang-Undang yang di dalamnya diatur mengenai berbagai aspek berkenaan dengan kementerian negara, sehingga Presiden tidak seenak­nya membentuk, mengubah dan membubarkan suatu orga­nisasi departemen. Penataan kelembagaan ini bahkan juga berkaitan dengan pembenahan yang harus dilakukan sebagai akibat diselenggarakannya otonomi daerah yang luas ber­da­sarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang masih perlu pemikiran berkelanjutan untuk disesuaikan dengan ke­tentuan Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B UUD 1945. Keseluruhan dan tiap-tiap kelembagaan tersebut, baik di lapisan supra stuktural kenegaraan dan pemerintahan maupun di lingkungan infra stuktur masyarakat, diharapkan dapat melakukan (i) reorganisasi, reorientasi dan retraining sumber daya manusia (pegawai administrasi), (ii) stream­lining dan efisiensi struktur jabatan, (iii) pe­nataan sistem informasi dan pelayanan umum berbasis teknologi informasi, (iv) penyempurnaan sistem pengawasan dan pem­bentukan infrastruktur penegakan sistem reward and punishment.

C.   PENEGAKAN HUKUM
Penegakan Hukum (law enforcement) dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun me­lalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian seng­keta lainnya (alternative desputes or conflicts resolu­tion). Bah­kan, dalam pengertian yang lebih luas lagi, kegiat­an pe­ne­gakan hukum mencakup pula segala aktifitas yang di­mak­sudkan agar hukum sebagai perangkat kaedah norma­tif yang mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam se­gala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-be­nar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mesti­nya. Dalam arti sempit, penegakan hukum itu me­nyang­kut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau pe­nyimpangan terhadap peraturan perundang-undang­an, khu­susnya –yang lebih sempit lagi— melalui proses per­adil­an pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian, ke­jak­saan, advokat atau pengacara, dan badan-badan per­adilan.
Karena itu, dalam arti sempit, aktor-aktor utama yang peranan­nya sangat menonjol dalam proses penegakan hu­kum itu adalah polisi, jaksa, pengacara dan hakim. Para pe­ne­gak hukum ini dapat dilihat pertama-tama sebagai orang atau unsur manusia dengan kualitas, kualifikasi, dan kultur kerjanya masing-masing. Dalam pengertian demikian perso­alan penegakan hukum tergantung aktor, pelaku, peja­bat atau aparat penegak hukum itu sendiri. Kedua, penegak hukum dapat pula dilihat sebagai institusi, badan atau orga­nisasi dengan kualitas birokrasinya sendiri-sendiri. Dalam kaitan itu kita melihat penegakan hukum dari kaca­mata kelembagaan yang pada kenyataannya, belum terinsti­tusio­na­lisasikan secara rasional dan impersonal (institutio­na­lized). Namun, kedua perspektif tersebut perlu dipahami secara komprehensif dengan melihat pula keterkaitannya satu sama lain serta keterkaitannya dengan berbagai faktor dan elemen yang terkait dengan hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang rasional.
Profesi hukum perlu ditata kembali dan ditingkatkan mutu dan kesejahteraannya. Para profesional hukum itu antara lain meliputi (i) legislator (politisi)[23], (ii) perancang hukum (legal drafter), (iii) konsultan hukum, (iv) advokat, (v) notaris, (vi) pejabat pembuat akta tanah, (vii) polisi, (viii) jaksa, (ix) panitera, (x) hakim, dan (xi) arbiter atau wasit. Untuk meningkatkan kualitas profesionalisme masing-masing profesi tersebut, diperlukan sistem sertifikasi na­sional dan standarisasi, termasuk berkenaan dengan sistem kesejahteraannya. Di samping itu juga diperlukan program pen­didikan dan pelatihan terpadu yang dapat terus menerus membina sikap mental, meningkatkan pengetahuan dan kemampuan profesional aparat hukum tersebut.
Agenda pengembangan kualitas profesional di kalang­an profesi hukum ini perlu dipisahkan dari program pembi­naan pegawai administrasi di lingkungan lembaga-lembaga hukum tersebut, seperti di pengadilan ataupun di lembaga perwakilan rakyat. Dengan demikian, orientasi peningkatan mutu aparat hukum ini dapat benar-benar dikembangkan secara terarah dan berkesi­nambung­an. Di samping itu, pem­bi­naan kualitas profesional aparat hukum ini dapat pula dila­kukan melalui peningkatan keberdayaan organisasi profesi­nya masing-masing, seperti Ikatan Hakim Indonesia, Ikatan Notaris Indonesia, dan sebagainya. Dengan de­mikian, kuali­tas hakim dapat ditingkatkan melalui peranan Mahka­mah Agung di satu pihak dan melalui peranan Ikatan Hakim Indonesia di lain pihak.
Di samping itu, agenda penegakan hukum juga me­mer­lukan kepemimpinan dalam semua tingkatan yang me­menuhi dua syarat. Pertama, kepemimpinan diharapkan dapat menjadi penggerak yang efektif untuk tindakan-tindakan penegakan hukum yang pasti; Kedua, kepemim­pinan tersebut diharapkan dapat menjadi teladan bagi ling­kungan yang dipimpinnya masing-masing mengenai integri­tas kepri­badian orang yang taat aturan.
Salah satu aspek penting dalam rangka penegakan hukum adalah proses pembudayaan, pemasyarakatan, dan pendidikan hukum (law socialization and law education). Tanpa didukung oleh kesadaran, pengetahuan dan pemahaman oleh para subjek hukum dalam masyarakat, nonsens suatu norma hukum da­pat diharapkan tegak dan ditaati. Karena itu, agenda pem­bu­dayaan, pemasyarakatan dan pendidikan hukum ini perlu dikembangkan tersendiri dalam rangka perwujudan ide nega­­ra hukum di masa depan. Beberapa faktor yang terkait de­ngan soal ini adalah (a) pembangunan dan pengelolaan sis­tem dan infra struktur informasi hukum yang berbasis tek­nologi informasi (information technology); (b) pening­katan Upaya Publikasi, Ko­munikasi dan Sosialisasi Hukum; (c) pengembangan pendidikan dan pelatihan hukum; dan (d) pemasyarakatan citra dan keteladanan-keteladanan di bi­dang hukum.
Dalam rangka komunikasi hukum, perlu dipikirkan kembali kebutuhan adanya media digital dan elektro­nika, baik radio, televisi maupun jaringan internet dan media lain­nya yang dimiliki dan dikelola khusus oleh pemerintah. Me­nge­nai televisi dan radio dapat dikatakan bahwa televisi dan radio swasta sudah sangat banyak dan karena itu, ke­mung­kinan terjadinya dominasi arus informasi sepihak dari peme­rintah seperti terjadi selama masa Orde Baru tidak mung­kin lagi terjadi. Karena itu, sumber informasi dari masyarakat dan dari pemodal sudah tersedia sangat banyak dan bera­gam. Namun, arus informasi dari pemerintah kepa­da ma­sya­rakat, khususnya berkenaan dengan pendidikan dan pe­ma­sya­­rakatan hukum terasa sangat kurang. Untuk itu, pem­ba­ngunan media khusus tersebut dirasakan sangat di­perlu­kan. Kebijakan semacam ini perlu dipertimbangkan ter­ma­suk me­ngenai kemungkinan memperkuat kedudukan TVRI dan RRI sebagai media pendidikan hukum seperti yang dimaksud.

D.   INFRASTRUKTUR SISTEM KODE ETIK POSITIF
Untuk menunjang ber­fungsinya sistem hukum diperlukan suatu sistem etika yang ditegakkan secara positif berupa kode etika di sektor publik. Di setiap sektor ke­negaraan dan pemerintahan selalu terda­pat peraturan tata tertib serta pedoman organisasi dan tata kerja yang bersifat internal. Di lingkungan organisasi-organi­sasi masyarakat juga selalu terdapat Anggaran atau Pedoman Dasar dan Anggaran atau Pedoman Rumah Tangga organi­sasi. Namun, baru sedikit sekali di antara organisasi atau lembaga-lembaga tersebut yang telah memiliki perang­kat Kode Etika yang disertai oleh infra struktur kelembagaan Dewan Kehormatan ataupun Komisi Etika yang bertugas menegakkan kode etika dimaksud. Di samping itu, kalaupun pedoman atau anggaran dasar dan rumah tangga tersebut sudah ada, dokumen-dokumen itu hanya ada di atas kertas dalam arti tidak sungguh-sungguh di­jadikan pedoman peri­laku berorganisasi. Pada umumnya, dokumen-dokumen per­aturan, pedoman atau anggaran dasar dan rumah tangga terse­but hanya dibuka dan dibaca pada saat diadakan kong­res, muktamar atau musyawarah nasional organisasi yang ber­sangkutan. Selebihnya, dokumen-dokumen tersebut ha­nya biasa dilupakan.
Dengan perkataan lain, dalam kultur keorganisasian atau kultur berorganisasi di berbagai kalangan masyarakat kita, kebiasaan untuk menaati aturan, rule of the game belumlah menjadi tradisi yang kuat. Tradisi taat aturan itu masih harus dibudayakan secara luas. Untuk itu, diperlukan proses pelembagaan tradisi normatif yang bertingkat-tingkat, baik berkenaan dengan norma hukum, norma etika dan moral, serta norma hukum. Karena itu, selain menata dan memperbaiki kembali sistem norma hukum, kita juga perlu me­lembagakan sistem dan infrastruktur etika positif dalam masyarakat kita. Sistem dan infra struktur etika tersebut dilembagakan, baik melalui mekanisme di lingkungan supra struktur kenegaraan dan pemerintahan maupun di ling­kung­an infra struktur masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA


Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve, 1994.
_______________. “UUD 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas di Masa Depan”. Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1998.
______________. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
______________. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
______________. Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. translated by: Anders Wedberg. New York: Russell & Russell, 1961.
Montesquieu. The Spirit of the laws.  Translated by Thomas Nugent. London: G. Bell & Sons, Ltd, 1914.
Phillips, O. Hood and Paul Jackson. Constitutional And  Administrative Law. Eighth Edition. London: Sweet & Maxwell, 2001.



[1] Disampaikan pada acara Seminar “Menyoal Moral Penegak Hukum” dalam rangka Lustrum XI Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 17 Februari 2006.
[2] Ketua Mahakamah KOnstitusi Republik Indonesia
[3] Pasal 1 ayat (3) ini merupakan hasil Perubahan Keempat UUD 1945.
[4] Montesquieu, The Spirit of the laws,  Translated by Thomas Nugent, (London: G. Bell & Sons, Ltd, 1914), Part XI, Chapter 67.
[5] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by: Anders Wedberg, (New York; Russell & Russell, 1961), hal. 115 dan 123-124.
[6] Sidang Tahunan MPR baru dikenal pada masa reformasi berdasarkan Pasal 49 dan Pasal 50 Ketetapan MPR No. II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
[7] Ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999.
[8] Ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000.
[9] Ditetapkan pada tanggal 9 November 2001.
[10] Ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002.
[11] Hukum dapat dikategorikan menjadi empat kelompok pengertian hukum dilihat dari wilayah pembuatan dan  pembentukan hukum, yaitu Hukum Negara (The State’s Law), Hukum Adat (The People’s Law), Doktrin (The Professor’s Law), dan hukum praktek (The Professional’s Law). Lihat Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta; Konstitusi Press, 2005), hal. 4.
[12] Berdasarkan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, kewenangan constitutional review Mahkamah Konstitusi dibatasi hanya untuk Undang-Undang yang ditetapkan sesudah perubahan pertama UUD 1945. Namun dalam putusan perkara No. 04/PUU-I/2003 Pasal 50 Undang-Undang Tahun 2003 dikesampingkan oleh Mahkamah Konstitusi karena mereduksi kewenangan Mahkamah Konstitusi berdasarkan UUD 1945.
[13] Proses judicial review secara luas yang meliputi juga constitutional review telah menjadi sarana menegakkan supremasi konstitusi di negara-negara demokrasi modern. O. Hood Phillips and Paul Jackson, Constitutional And  Administrative Law, Eighth Edition, (London: Sweet & Maxwell, 2001), hal. 7-8.
[14] Misalnya Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003 yang mengembalikan hak politik pasif dan aktif eks anggota PKI dan organisasi terlarang lainnya dengan menyatakan bahwa Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4277) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
[15] Misalnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. Perkara 002/PUU-I/2003 dalam perkara permohonan konstitusionalitas Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. Perkara 001-021-022/PUU-I/2003 yang menyatakan Undang-Undang No. 20 Tahun 2002 secara keseluruhan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena Pasal-Pasal yang diuji dan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, yaitu Pasal 16, Pasal 17 ayat (3), dan Pasal 68 merupakan jantung dari Undang-Undang No. 20 Tahun 2002.
[16] Misalnya Putusan No. Perkara 011/PUU-III/2005 dalam perkara permohonan pengujian Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
[17] Jimly asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, (Jakarta; Konstitusi Press, 2005), hal. 49-50.
[18] Lihat Rancangan Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Sekretariat Jenderal MPR-RI, Jakarta, 2002.
[19] Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, meskipun TNI dan POLRI telah dipisahkan secara tegas menurut UUD 1945, tetapi TNI Angkatan Laut tetap menjalankan tugas-tugas penyidikan dalam kasus-kasus pidana-pidana tertentu yang terjadi dalam lingkup tugas keamanan di laut. Dengan perkataan lain, untuk membantu tugas-tugas Kepolisian di laut, sampai sekarang tugas-tugas tersebut masih ditangani oleh TNI Angkatan Laut.
[20] Jimly Asshiddiqie, “UUD 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas di Masa Depan”, Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1998.
[21] Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Jakarta; Ichtiar Baru-van Hoeve, 1994).
[22] Dalam rangka perubahan UUD 1945, pernah berkembang ide untuk mencantumkan keberadaan ombudsman dalam UUD 1945. Di samping itu, dalam RUU tentang Mahkamah Konstitusi, lembaga ini juga pernah diusulkan agar diberi kedudukan hukum (legal standing) untuk menjadi pemohon dalam perkara konstitusi guna menampung keluhan-keluhan konstitusional (constitutional complaint) warga negara terhadap sesuatu undang-undang ataupun konstitusionalitas tindakan pemerintahan lainnya. Kedua ide ini, memang tidak berhasil memperoleh kesepakatan. Tetapi, ide ini muncul bukan tanpa alasan rasional sesuai tingkat perkembangan kebutuhan kenegaraan Indonesia dewasa ini dan nanti. Oleh karena itu, mungkin saja ide semacam ini akan muncul lagi dan mendapat tempat di masa depan.
[23] Untuk sementara ini, para politisi sebagai legislator di lembaga perwa­kilan memang belum dapat dikategorikan sebagai profesi yang tersendiri. Akan tetapi, di lingkungan sistem politik yang sudah mapan dan peran-peran profesional telah terbagi sangat ketat, jabatan sebagai anggota parlemen juga dapat berkembang makin lama makin profesional. Politisi lama kelamaan menjadi profesi karena menjadi pilihan hidup profesional dalam masyarakat.

No comments: