cerpen ku..

IMPIAN SEDERHANA
Mak Sum, veteran wanita zaman VOC, Usianya hampir menyentuh 85 tahun.
Lengkung punggungnya adalah sunnatullah ketuaan yang tak terelakkan.
Sumirah nama lengkapnya, meski lerlanjur lansia sirat kecantikannya tetap
ada- dan karena cantik dia sempat menjadi selir inlander dan di Batavia
orang-orang menyebutnya Lonte Belande. Dan kini, nasib
mendamparkannya di sebuah Bedeng di kota Kembang sebagai penjual
nasi uduk setiap pagi.
Untuk usia seudzur beliau, geraknya terkategori gesit. Aku mulai
mengenalnya setahun lalu, saat aku menjadikan komunitas Bedeng ini
sebagai bahan penelitianku. Ya Bedeng, begitulah daerah ini disebut-
Sebuah daerah kumuh yang komunitasnya heterogen secara asal-usul dan
pekerjaan tapi homogen dalam srata "kelas akar rumput". Aku dan Mak Sum
benar-benar merasa satu hati saat saling mengetahui berasal dari daerah
yang sama, Wates, sebuah daerah cantik di jogja sana, Impiannya adalah
bisa pulang kembali ke Wates. Nanti, jika aku pulang dia akan ikut denganku
karena segan pergi sendirian.
Dibalik sikap sumringahnya tak jarang kulihat sirat kesepian dan kerinduan
yang terpatahkan oleh nasib. Hidup sendiri tanpa anak dan sanak keluarga
didukung oleh kemiskinan adalah aroma yang kerap menyesakkan
dadanya, "Andai saja Mak punya anak..." Gumamnya, saat musim mudik
menjelang- Aku jadi merasa berdosa karena lebaran ini aku tak pulang-
Hingga Mak Sum pun harus menunda kepulangannya juga sampai lebaran
tahun depan.
***
Menjadi guru sukwan di Bedeng ini hanyalah cara agar aku bisa lebih dekat
dengan mereka. Aku mengajari anak-anak dan kaum buta huruf membaca
dan mengaji setiap sore. Dan ternyata, semakin aku mengenal mereka aku
semakin khawatir pada ketidaktahuan yang mayoritas tentang bertauhid
kepada Allah. Atau tentang shaum yang gegap gempitanya hanya tampak
di akhir Ramadhan saja. Karena bagi mereka, malam takbiran berarti panen
uang zakat. Pada dasarnya mereka mulai bisa menerima keberadaanku,
tapi hanya terbatas pada penggabungan huruf-huruf dari A sampai Z atau
mencoba merangkai hijaiyah dari Alif hingga Ya.
Sindiran pedas akan segera singgah di telingaku jika aku berbicara tentang
indahnya hidup beragama atau menyempurnakan ibadah kepada Allah.
Dan pernah aku merasa kebingungan dan tersudut diruang putus asa karena
itu semua.
"Nak Dyah jangan putus asa!" Hibur Mak Sum saat aku mengeluh padanya.
"Orang-orang disini memang kurang pandai bermasyarakat, jadi kalau
ngomong asal celetuk aja!" imbuhnya lagi dan aku hanya menanggapinya
dengan senyum terpaksa.
"Maklumlah, orang-orangnya tidak berpendidikan! Tidak seperti Nak Dyah"
tandasnya lagi.
Berpendidikan! Sekejap aku lupa jika ini adalah medah piiihan yang
kudefinisikan dengan arti sejati kebahagiaan, berbagi dengan sesama
dalam kesederhanaan. Dalam sekejap aku membenarkan kata-kata Riu jika
aku terlalu berani mengambil resiko sebuah jalan hidup, Aku terlalu berani
untuk berdiri diatas sebuah idealisme yang baginya hanyalah Utopia dan
bahkan artificial.
Saat itu aku hanya menjawabnya dalam hati, aku dan Riu hanya beda posisi
saja, aku tahu mengapa aku harus berani dan dia tidak. Aku punya alasan
untuk mengaplikasikan idealisme dan bukan menganggapnya sebagai
utopia atau sesuatu yang artificial. Riu bilang, idealismeku sesuram atmosfir
sosial negeri ini. Dan kini idealisme itu sedang mengujiku, benarkah aku akan
terus memegangnya sebagai sesuatu yang harus diaplikasikan. Hujan masih
begitu deras menghentak genting-genting gang kecil ini. Sesekali kudengar
suara gelegar, dari balik jendela kulihat kabut-kabut dingin mulai menebal.
Menjadikan hari yang beranjak malam semakin kelabu. Riuh daun-daun
beradu dengan pentalan bebatuan es yang menari di lantai porselen.
"Dyah, Dyah! Ada yang cari tuh. Katanya Mak Sum sakit!" aku meloncat dari
kursi plastikku mendengar nama Mak Sum disebut.
Diluar kulihat tiga abang becak yang sudah menjadi kawan akrabku sedang
berdiri pucat dan menggigil kedinginan.
"Mak Sum, Neng! Badannya panas dari tadi ngigau terus'" aku tahu pasti jika
di Bedeng tak ada dokter atau mantri, sementara untuk ke rumah sakit
jaraknya cukup jauh dan lagi aku tak punya uang lebih sejak tabunganku
harus masuk meja registrasi. Terpaksa...
"Inu, Inuyasha! Tolong aku Nu!" teriakku memukul keras pintu kamar Inuyasha.
"Apaan nih?" tanya Inu yang hanya menyembulkan kepalanya gelagapan.
"Mak Sum sakit Nu, ayo tolong dia!"
"Aku belum jadi dokter neng, baru calon!" kilahnya.
"Ayo Nu, cepet" paksaku menarik lengannya "Iya...iya bentar!"
***
Aku dan Inu berjalan memasuki komunitas Bedeng yang pengap, Hingga
kami harus meuntasi jalan becek selebar setengah meter. Tak lama kami
menurun tangga berbatu yang dikanan kirinya bertumpukan kaleng-kaleng
bekas. Kaus kakiku hitam sudah, rasa gatal mulai menjalari sela jemari kakiku.
Tiba-tiba, kami mendengar suara ribut tak jauh dari situ...
"Mak Sum hanyut, Mak Sum hanyut di kali!!!" begitu bunyi suara bergemuruh
itu
"Apa! Mak Sum hanyut? Bukannya dia sakit" Tegasku pada orang-orang itu
"lya dia memang sakit dan sekarang hanyut"
"Orang sakit kenapa dibiarkan keluar, kan jadinya jatuh!"
"Mak Sum hanyut sama rumahnya neng bukan karena jatuh"
"Apa?" Aku melihat bagian dinding rumah Mak Sum yang masih tersisa.
Sambungan triplek usang yang ditambal lempengan-lempengan kaleng
bekas. Rumah itu tepat di hulu kali seluas dua setengah meter. Gelodak
arusnya menenggelamkan apa saja yang sanggup diseretnya seperti juga
tubuh sakit Mak Sum. Lidahku kelu, urat syarafku rasanya putus semua,
Dikelopak mataku bergayut sesuatu yang semakin menghangat
bendungannya. Titik hujan samaikan airmata yang mengalir di ruas tirus
pipiku. Dikepalaku kini bermain siluet tubuh renta yang timbul tenggelam
dipermainkan arus air juga sebuah impian sederhana untuk pulang ke Wates
bersama-sama.

No comments: