MAHKAMAH
KONSTITUSI
REPUBLIK
INDONESIA
---------
MEMBANGUN BUDAYA SADAR BERKONSTITUSI[1]
Oleh:
Jimly Asshiddiqie[2]
A. KEDUDUKAN KONSTITUSI
Dalam pengertian yang sederhana, konstitusi adalah suatu dokumen yang
berisi aturan-aturan untuk menjalankan suatu organisasi.[3]
Organisasi dimaksud beragam bentuk dan kompleksitas strukturnya, mulai dari
organisasi mahasiswa, perkumpulan masyarakat di daerah tertentu, serikat
buruh, organisasi-organisasi kemasyarakatan, organisasi politik, organisasi
bisnis, perkumpulan sosial sampai ke organisasi tingkat dunia seperti misalnya
Perkumpulan ASEAN, European Communities (EC), World Trade Organization
(WTO), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan sebagainya semuanya membutuhkan
dokumen dasar yang disebut konstitusi.
Demikian pula negara, pada umumnya selalu memiliki naskah yang disebut
sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Bahkan negara yang tidak memiliki
satu naskah konstitusi seperti Inggris, tetap memiliki aturan-aturan yang tumbuh[4]
menjadi konstitusi dalam pengalaman praktek ketatanegaraan dan para ahli tetap
dapat menyebut adanya konstitusi dalam konteks hukum tata negara Inggris,
sebagaimana dikemukakan oleh Phillips Hood and Jackson sebagai berikut” “a body of laws, customs and conventions
that define the composition and powers of the organs of the State and that
regulate the relations of the various State organs to one another and to the
private citizen.”[5]
Dengan demikian, ke dalam konsep konstitusi itu tercakup juga pengertian
peraturan tertulis dan tidak tertulis. Peraturan tidak tertulis berupa
kebiasaan dan konvensi-konvensi kenegaraan (ketatanegaraan) yang menentukan
susunan dan kedudukan organ-organ negara, mengatur hubungan antar organ-organ
negara itu, dan mengatur hubungan organ-organ negara tersebut dengan warga
negara.
Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan
atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu
negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber
legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah paham
kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi.
Hal inilah yang disebut oleh para ahli sebagai constituent power[6]
yang merupakan kewenangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem
yang diaturnya. Karena itu, di lingkungan negara-negara demokrasi, rakyatlah
yang dianggap menentukan berlakunya suatu konstitusi.
Hal itu dapat dilakukan secara langsung oleh rakyat, misalnya melalui referendum,
seperti yang dilakukan di Irlandia pada tahun 1937, atau dengan cara tidak
langsung melalui lembaga perwakilan rakyat. Dalam hubungannya dengan kewenangan
mengubah UUD, cara tidak langsung ini misalnya dilakukan di Amerika
Serikat dengan menambahkan naskah perubahan Undang-Undang Dasar secara terpisah
dari naskah aslinya. Meskipun, dalam pembukaan Konstitusi Amerika
Serikat (preambule) terdapat perkataan “We the people”, tetapi
yang diterapkan sesungguhnya adalah sistem perwakilan, yang pertama kali
diadopsi dalam konvensi khusus (special convention) dan kemudian disetujui
oleh wakil-wakil rakyat terpilih dalam forum perwakilan negara yang didirikan
bersama.
Dalam hubungan dengan pengertian constituent
power tersebut di atas, muncul pula pengertian constituent
act. Dalam hubungan ini, konstitusi dianggap sebagai constituent act,
bukan produk peraturan legislatif yang biasa (ordinary legislative act).
Constituent power mendahului konstitusi, dan konstitusi mendahului
organ pemerintahan yang diatur dan dibentuk berdasarkan konstitusi. Seperti
dikatakan oleh Bryce, konstitusi tertulis merupakan[7]:
“The instrument in
which a constitution is embodied proceeds from a source different from that
whence spring other laws, is regulated in a different way, and exerts a
sovereign force. It is enacted not by the ordinary legislative authority but by
some higher and specially empowered body. When any of its provisions conflict
with the provisions of the ordinary law, it prevails and the ordinary law must
give way”.
Karena itu, dikembangkannya pengertian constituent
power berkaitan pula dengan pengertian hirarki hukum (hierarchy of law).
Konstitusi merupakan hukum yang lebih tinggi atau bahkan paling
tinggi serta paling fundamental sifatnya, karena konstitusi itu sendiri
merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau
peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum
yang berlaku universal, maka agar peraturan-peraturan yang tingkatannya berada
di bawah Undang-Undang Dasar dapat
berlaku dan diberlakukan, peraturan-peraturan itu tidak boleh bertentangan
dengan hukum yang lebih tinggi tersebut. Atas dasar logika demikian itulah maka
Mahkamah Agung Amerika Serikat
menganggap dirinya memiliki kewenangan untuk menafsirkan dan menguji materi
peraturan produk legislatif (judicial review) terhadap materi
konstitusi, meskipun Konstitusi Amerika tidak
secara eksplisit memberikan kewenangan demikian kepada Mahkamah Agung[8].
Basis pokok berlakunya konstitusi adalah adanya kesepakatan umum atau
persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan
yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara itu diperlukan oleh
warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau
dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara.[9]
Kata kuncinya adalah konsensus atau general agreement. Jika kesepakatan
umum itu runtuh, maka runtuh pula legitimasi kekuasaan negara yang
bersangkutan, dan pada gilirannya perang saudara (civil war) atau
revolusi dapat terjadi. Hal ini misalnya, tercermin dalam tiga peristiwa
besar dalam sejarah umat manusia, yaitu revolusi penting yang terjadi di Perancis tahun 1789, di Amerika pada tahun 1776,
dan di Rusia pada tahun 1917,
ataupun di Indonesia pada tahun
1945, 1965 dan 1998.
B.
PERUBAHAN UUD 1945
Salah satu keberhasilan yang dicapai oleh bangsa Indonesia pada masa
reformasi adalah reformasi konstitusional (constitutional
reform). Reformasi konstitusi dipandang merupakan kebutuhan dan
agenda yang harus dilakukan karena UUD 1945 sebelum perubahan
dinilai tidak cukup untuk mengatur dan mengarahkan
penyelenggaraan negara sesuai harapan rakyat, terbentuknya good governance,
serta mendukung penegakan demokrasi dan hak asasi manusia.
Perubahan UUD 1945 dilakukan secara bertahap dan
menjadi salah satu agenda Sidang MPR dari 1999 hingga 2002[10]. Perubahan pertama dilakukan dalam Sidang Umum MPR Tahun 1999. Arah perubahan pertama UUD 1945 adalah membatasi
kekuasaan Presiden dan memperkuat kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
sebagai lembaga legislatif.[11]
Perubahan kedua dilakukan dalam sidang Tahunan
MPR Tahun 2000. Perubahan
kedua menghasilkan rumusan perubahan pasal-pasal yang meliputi masalah
wilayah negara dan pembagian pemerintahan daerah, menyempumakan perubahan
pertama dalam hal memperkuat kedudukan DPR, dan ketentuan-ketentuan terperinci
tentang HAM.[12]
Perubahan ketiga
ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR 2001. Perubahan tahap ini mengubah
dan atau menambah ketentuan-ketentuan pasal tentang asas-asas
landasan bemegara, kelembagaan negara dan hubungan antarlembaga negara, serta ketentuan-ketentuan
tentang Pemilihan Umum.[13] Sedangkan perubahan keempat dilakukan dalam
Sidang Tahunan MPR Tahun 2002. Perubahan Keempat tersebut meliputi ketentuan tentang kelembagaan
negara dan hubungan antarlembaga negara, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung
(DPA), pendidikan dan kebudayaan, perekonomian dan kesejahteraan sosial, dan
aturan peralihan serta aturan tambahan.[14]
Empat tahap perubahan
UUD 1945 tersebut meliputi hampir keseluruhan materi UUD 1945. Naskah asli UUD 1945 berisi
71 butir ketentuan, sedangkan
perubahan yang dilakukan menghasilkan 199 butir ketentuan.[15] Saat ini, dari 199 butir ketentuan
yang ada dalam UUD 1945, hanya 25 (12%) butir ketentuan yang tidak mengalami
perubahan. Selebihnya, sebanyak 174 (88%) butir ketentuan merupakan materi yang
baru atau telah mengalami perubahan.
Dari sisi kualitatif, perubahan UUD 1945
bersifat sangat mendasar karena mengubah prinsip kedaulatan rakyat yang semula
dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR menjadi dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar. Hal itu menyebabkan semua lembaga negara dalam UUD 1945 berkedudukan
sederajat dan melaksanakan kedaulatan rakyat dalam lingkup wewenangnya
masing-masing. Perubahan lain adalah dari kekuasaan Presiden yang sangat besar (concentration of power and responsibility
upon the President) menjadi prinsip saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances). Prinsip-prinsip
tersebut menegaskan cita negara yang hendak dibangun, yaitu negara hukum yang
demokratis.
Setelah berhasil melakukan
perubahan konstitusional, tahapan selanjutnya yang harus dilakukan adalah
pelaksanaan UUD 1945 yang telah diubah tersebut. Pelaksanaan UUD 1945 harus
dilakukan mulai dari konsolidasi
norma hukum hingga dalam praktik kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sebagai hukum dasar, UUD 1945 harus menjadi acuan dasar sehingga benar-benar hidup dan
berkembang dalam penyelenggaraan negara dan kehidupan warga negara (the living constitution).
C.
NEGARA
HUKUM YANG DEMOKRATIS
Salah satu prinsip dasar
yang mendapatkan penegasan dalam perubahan UUD 1945 adalah prinsip negara hukum,
sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945[16] yang menyatakan bahwa ‘Negara
Indonesia adalah negara hukum’. Bahkan secara historis negara hukum (Rechtsstaat)
adalah negara yang diidealkan oleh para pendiri bangsa sebagaimana dituangkan
dalam penjelasan umum UUD 1945 sebelum perubahan tentang sistem pemerintahan negara yang
menyatakan bahwa Negara Indonesia
berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka
(Machtsstaat)[17].
Ide negara hukum sesungguhnya telah lama dikembangkan oleh para filsuf
dari zaman Yunani Kuno. Plato, dalam bukunya “the Statesman” dan “the
Law” menyatakan bahwa negara hukum merupakan bentuk paling
baik kedua (the second best) guna mencegah kemerosotan kekuasaan. Konsep negara hukum modern
di Eropa Kontinental dikembangkan dengan menggunakan istilah Jerman yaitu “rechtsstaat”
antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan
lain-lain. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika konsep negara hukum
dikembangkan dengan sebutan “The Rule of Law” yang dipelopori oleh A.V.
Dicey. Selain itu, konsep negara hukum juga terkait dengan istilah nomokrasi (nomocratie)
yang berarti bahwa penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan negara adalah
hukum. [18]
Prinsip-prinsip negara hukum senantiasa berkembang sesuai dengan
perkembangan masyarakat. Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, serta semakin kompleksnya kehidupan masyarakat
di era global, menuntut pengembangan prinsip-prinsip negara hukum. Dua
isu pokok yang senantiasa menjadi inspirasi perkembangan prinsip-prinsip negara
hukum adalah masalah pembatasan kekuasaan dan perlindungan HAM. Saat ini, paling tidak dapat
dikatakan terdapat dua belas prinsip negara hukum, yaitu Supremasi Konstitusi (supremacy of law), Persamaan dalam
Hukum (equality before the law), Asas
Legalitas (due process of law),
Pembatasan Kekuasaan (limitation of
power), Organ Pemerintahan yang Independen, Peradilan yang Bebas dan Tidak
Memihak (independent and impartial judiciary), Peradilan Tata Usaha Negara (administrative court), Peradilan Tata
Negara (constitutional court),
Perlindungan Hak Asasi Manusia, Bersifat Demokratis (democratische-rehtsstaats), Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare
Rechtsstaat), serta Transparansi dan Kontrol Sosial.[19]
Dalam suatu negara hukum, mengharuskan adanya pengakuan normatif
dan empirik terhadap prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah
diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Pengakuan normatif
mengenai supremasi hukum terwujud dalam pembentukan norma hukum secara hirarkis
yang berpuncak pada supremasi konstitusi. Sedangkan secara empiris terwujud
dalam perilaku pemerintahan dan masyarakat yang mendasarkan pada aturan hukum.
Dengan demikian, segala
tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang
sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tersebut harus ada dan berlaku
terlebih dulu atau mendahului perbuatan yang dilakukan. Dengan demikian, setiap
perbuatan administratif harus didasarkan atas aturan atau rules and
procedures.
Namun demikian, prinsip
supremasi hukum selalu diiringi dengan dianut dan dipraktikkannya prinsip demokrasi
atau kedaulatan rakyat yang menjamin peran serta masyarakat dalam proses
pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan
yang diterapkan dan ditegakkan mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Hukum
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan
diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa. Hukum
tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan beberapa orang yang
berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang. Dengan
demikian negara hukum yang dikembangkan bukan absolute rechtsstaat,
melainkan democratische rechtsstaat.
Berdasarkan prinsip negara hukum, sesungguhnya
yang memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan
hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti
bahwa dalam sebuah negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi.
Supremasi konstitusi disamping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum,
sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud
perjanjian sosial tertinggi.
Oleh karena itu,
aturan-aturan dasar konstitusional harus menjadi dasar dan dilaksanakan melalui
peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan negara dan kehidupan
masyarakat. Dengan demikian, perubahan UUD 1945 yang bersifat mendasar tentu
saja berpengaruh terhadap sistem dan materi peraturan perundang-undangan yang
telah ada. Perubahan UUD 1945 membawa implikasi terhadap jenis peraturan
perundangan-undangan serta materi muatannya. Adanya perubahan UUD 1945 tentu
menghendaki adanya perubahan sistem peraturan perundang-undangan, serta
penyesuaian materi muatan berbagai peraturan perundang-undangan yang telah ada
dan berlaku.
Sebagai wujud perjanjian sosial tertinggi[20],
konstitusi memuat cita-cita yang akan dicapai dengan pembentukan negara dan
prinsip-prinsip dasar pencapaian cita-cita tersebut. UUD 1945 sebagai
konstitusi bangsa Indonesia merupakan dokumen hukum dan dokumen politik yang
memuat cita-cita, dasar-dasar, dan prinsip-prinsip penyelenggaraan kehidupan
nasional.[21] Pasal II
Aturan Tambahan UUD 1945 menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal[22].
Pembukaan dan pasal-pasal adalah satu kesatuan norma-norma konstitusi yang supreme
dalam tata hukum nasional (national legal order).
Cita-cita pembentukan negara kita kenal dengan istilah tujuan nasional
yang tertuang dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu (a) melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (b) memajukan
kesejahteraan umum; (c) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (d) ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial. Cita-cita tersebut akan dilaksanakan dalam suatu susunan
Negara Republik Indonesia yang berdiri di atas lima dasar yaitu Pancasila
sebagaimana juga dicantumkan dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945.
Untuk mencapai cita-cita tersebut dan melaksanakan penyelenggaraan negara
berdasarkan Pancasila, UUD 1945 telah memberikan kerangka susunan kehidupan berbangsa
dan bernegara. Norma-norma dalam UUD 1945 tidak hanya mengatur kehidupan
politik tetapi juga kehidupan ekonomi dan sosial. Hal ini karena para pendiri
bangsa menghendaki bahwa rakyat Indonesia berdaulat secara penuh, bukan hanya
kedaulatan politik. Maka UUD 1945 merupakan konstitusi politik, konstitusi
ekonomi, dan konstitusi sosial yang harus menjadi acuan dan landasan secara
politik, ekonomi, dan sosial, baik oleh negara (state), masyarakat (civil
society), ataupun pasar (market).
Sebagai konstitusi politik, UUD 1945 mengatur masalah susunan kenegaraan,
hubungan antara lembaga-lembaga negara, dan hubungannya dengan warga negara.
Hal ini misalnya diatur dalam Bab I tentang Bentuk Kedaulatan, Bab II tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara,
Bab V tentang Kementerian Negara, Bab VI
tentang Pemerintah Daerah, Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat, Bab VIIA
tentang Dewan Perwakilan Daerah, Bab VIIB tentang Pemilu, Bab VIII tentang Hal
Keuangan, Bab VIIIA tentang Badan Pemeriksa Keuangan, Bab IX tentang Kekuasaan
Kehakiman, Bab IX tentang Wilayah Negara, Bab X tentang Warga Negara Dan
Penduduk khususnya Pasal 26, Bab XA tentang Hak Asasi Manusia khususnya Pasal
28I ayat (5), Bab XII tentang Pertahanan Dan Keamanan Negara, Bab XV tentang
Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan, Bab XVI tentang
Perubahan Undang-Undang Dasar, Aturan Peralihan, dan Aturan Tambahan.
Sebagai konstitusi ekonomi, UUD 1945 juga mengatur bagaimana sistem
perekonomian nasional seharusnya disusun dan dikembangkan. Ketentuan utama UUD
1945 tentang sistem perekonomian nasional dimuat dalam Bab XIV Pasal 33.
Ketentuan tentang sistem perekonomian nasional memang hanya dalam satu pasal
yang terdiri dari lima ayat. Namun ketentuan ini harus dielaborasi secara
konsisten dengan cita-cita dan dasar negara berdasarkan konsep-konsep dasar
yang dikehendaki oleh pendiri bangsa. Selain itu, sistem perekonomian nasional
juga harus dikembangkan terkait dengan hak-hak asasi manusia yang juga mencakup
hak-hak ekonomi, serta dengan ketentuan kesejahteraan rakyat.
Sebagai konstitusi sosial, UUD 1945 mengatur tata kehidupan bermasyarakat
terutama dalam Bab X tentang Warga Negara Dan Penduduk khususnya Pasal 27 dan
Pasal 28, Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, Bab XIII tentang Pendidikan Dan
Kebudayaan, dan Bab XIV tentang Perekonomian Nasional Dan Kesejahteraan Rakyat
khususnya Pasal 34.
D. BUDAYA SADAR BERKONSTITUSI
Kita tentunya menghendaki agar UUD 1945 merupakan konstitusi yang
benar-benar dilaksanakan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara demi
tercapainya cita-cita bersama. Kontitusi mengikat segenap lembaga negara dan
seluruh warga negara. Oleh karena itu, yang menjadi pelaksana konstitusi adalah
semua lembaga negara dan segenap warga negara sesuai dengan hak dan kewajiban
masing-masing sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Dalam perspektif hukum,
kata “pelaksanaan” (implementation) terdiri dari dua konsep fungsional,
yaitu; pertama, identifying constitutional norms and
specifying their meaning; dan kedua, crafting doctrine or
developing standards of review.[23]
Agar setiap lembaga dan segenap warga negara dapat melaksanakan kehidupan
berbangsa dan bernegara berdasarkan UUD 1945, diperlukan adanya budaya sadar
berkonstitusi. Untuk menumbuhkan budaya sadar berkonstitusi diperlukan
pemahaman terhadap nilai-nilai dan norma-norma dasar yang menjadi materi muatan
konstitusi. Pemahaman tersebut menjadi dasar bagi masyarakat untuk dapat selalu
menjadikan konstitusi sebagai rujukan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
Jika masyarakat telah memahami norma-norma dasar dalam konstitusi dan
menerapkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka pasti mengetahui
dan dapat mempertahankan hak-hak konstitusionalnya yang dijamin dalam UUD 1945.
Selain itu, masyarakat dapat berpartisipasi secara penuh terhadap pelaksanaan
UUD 1945 baik melalui pelaksanaan hak dan kewajibannya sebagai warga negara,
berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, serta dapat pula
melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan negara dan jalannya pemerintahan.
Kondisi tersebut dengan sendirinya akan mencegah terjadinya penyimpangan
ataupun penyalahgunaan konstitusi.
Salah satu bentuk nyata pentingnya budaya sadar berkonstitusi bagi
pelaksanaan konstitusi adalah terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pengujian tersebut
dilakukan untuk menentukan apakah suatu ketentuan dalam suatu undang-undang,
bertentangan atau tidak dengan UUD 1945. Namun Mahkamah Konstitusi dalam hal
ini tidak dapat bertindak secara aktif. Mahkamah Konstitusi hanya dapat
menjalankan wewenang tersebut jika ada permohonan pengujian suatu undang-undang
yang diajukan oleh masyarakat.
Dalam pengajuan permohonan inilah diperlukan adanya budaya sadar
berkonstitusi berupa kesadaran akan hak konstitusionalnya sebagai warga negara baik sebagai perorangan maupun
kelompok bahwa hak-hak konstitusional telah dilanggar oleh suatu ketentuan
undang-undang. Di sisi lain, juga diperlukan adanya kesadaran untuk mendapatkan
perlindungan atas hak konstitusional yang dilanggar dengan cara mengajukan
permohonan pengujian konstitusional atas ketentuan undang-undang yang
merugikannya. Jika tidak ada budaya sadar berkonstitusi, masyarakat tidak akan
mengetahui apakah haknya terlanggar atau tidak dan tidak melakukan upaya
konstitusional untuk mendapatkan perlindungan. Akibatnya, UUD 1945 akan banyak
dilanggar oleh ketentuan undang-undang sehingga pada akhirnya konstitusi hanya
akan menjadi dokumen di atas kertas tanpa dilaksanakan dalam praktik.
Di sisi lain, dalam budaya
berkonstitusi juga terkandung maksud ketaatan kepada aturan hukum sebagai
aturan main (rule of the game) dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Segenap komponen bangsa harus bertindak
sesuai dengan aturan yang ditetapkan, serta apabila timbul permasalahan atau
sengketa, harus diselesaikan melalui mekanisme hukum. Budaya mematuhi aturan
hukum merupakan salah satu ciri utama masyarakat beradab. Hal ini sangat
diperlukan terutama dalam konteks politik, misalnya dalam pelaksanaan Pemilu,
baik Pemilu legislatif, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, maupun Pemilukada.
Tanpa adanya kesadaran
berkonstitusi, yaitu kedasaran mematuhi rambu-rambu permainan dan mekanisme
penyelesaian sengketa, momentum politik yang sejatinya adalah untuk membentuk
pemerintahan yang demokratis dapat tergelincir ke dalam konflik yang justru
merugikan masyarakat serta kepentingan bangsa dan negara. Oleh karena itu,
diperlukan kesadaran baik bagi untuk peserta pemilu, penyelenggara pemilu,
maupun pihak dan lembaga lain yang memiliki peran dalam pelaksanaan Pemilu. Semua
permasalahan yang muncul harus dipercayakan dan diselesaikan melalui mekanisme
hukum yang telah ditentukan. Sebaliknya, lembaga yang memiliki kewenangan
terkait dengan pelaksanaan pemilu juga harus menjalankan wewenangnya dengan
baik.
Oleh karena itulah harus ada upaya
secara terus-menerus untuk membangun budaya sadar berkonstitusi. Budaya
sadar berkonstitusi tercipta tidak hanya sekedar mengetahui norma dasar dalam
konstitusi. Lebih dari itu, juga dibutuhkan pengalaman nyata untuk melihat dan
menerapkan konstitusi dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Oleh karena itu, menumbuhkan budaya sadar berkonstitusi adalah suatu
proses panjang dan berkelanjutan.
Setiap warga negara dan
penyelenggara negara harus mempelajari dan memahami UUD 1945 melalui berbagai
cara dan berbagai media. Untuk itu informasi tentang konstitusi harus tersedia
agar mudah diakses dengan cepat dan mudah pula dipahami. Oleh karena itu,
peningkatan budaya sadar berkonstitusi tidak hanya dilakukan melalui forum tatap
muka, tetapi melalui berbagai bentuk kemasan dan media yang berbeda-beda.
Salah satu masalah yang dihadapi
dalam upaya mendekatkan UUD 1945 sebagai konstitusi kita kepada masyarakat umum
serta menumbuhkan the living contitution
adalah karena pembahasan masalah konstitusi dan materi muatan yang terkandung
di dalamnya selalu menggunakan kerangka pikir, rujukan teori, dan rujukan
praktik yang berasal dari luar negeri.
Untuk itu, diperlukan upaya
domestikasi UUD 1945, yaitu menjadikan UUD 1945 dan pengkajiannya dilakukan
dengan merujuk pada pengalaman bangsa Indonesia dan problem nyata yang dihadapi
oleh masyarakat. Pengkajian sejarah ketatanegaraan bangsa Indonesia selama ini
masih terbatas mulai penjajahan Belanda. Padahal, sebelumnya terdapat kerajaan-kerajaan
di wilayah nusantara yang memiliki sistem dan struktur ketatanegaraan
tersendiri yang dapat dibandingkan dengan sistem ketatanegaraan modern. Sebagai
contoh, pembagian fungsi kekuasaan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif
sudah terbentuk walaupun kekuasaan Raja cukup dominan karena menjadi ketua dari
semua lembaga yang menjalankan fungsi-fungsi kekuasaan tersebut. Bahkan prinsip
demokrasi juga mulai terlihat karena pengambilan keputusan diambil secara
musyawarah oleh wakil-wakil masyarakat, meskipun keputusan terakhir tetap ada
pada pimpinan tertinggi. Kenyataan-kenyataan sejarah tersebut dapat dijumpai di
kerajaan dan satuan pemerintahan lain di berbagai wilayah nusantara.
Dengan elaborasi pengalaman bangsa Indonesia sendiri dan
dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi dalam UUD 1945, maka masyarakat akan
merasakan bahwa sistem dan pemikiran yang menjadi materi muatan UUD 1945 bukan
lagi sebagai hal yang asing, tetapi tumbuh dan berkembang seiring dengan
pertumbuhan dan perkembangan masyarakat Indonesia. Jika hal ini diiringi dengan
upaya mendekatkan UUD 1945 dengan masyarakat, misalnya melalui penulisannya
dalam bahasa dan huruf daerah, masyarakat dapat menjadikan UUD 1945 benar-benar
sebagai landasan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat
akan dapat mensikapi masalah yang dihadapi berdasarkan norma-norma
konstitusional. Hal ini menjadi awal dari berkembangnya kehidupan dan pemikiran
konstitusional sesuai dengan kondisi dan perkembangan masyarakat (the living constitution).
DAFTAR PUSTAKA
Alrasid, Harun. Naskah
UUD 1945 Sesudah Empat Kali Diubah Oleh MPR. Revisi Cetakan Pertama.
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2003.
Asshiddiqie,
Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi Dan Pelaksanaannya Di
Indonesia. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1994.
---------------------------. Struktur
Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945. Makalah
Disampaikan dalam Simposium yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional,
Departemen Kehakiman dan HAM, 2003.
---------------------------. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Konstitusi Press,
2005.
---------------------------. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta; Konstitusi
Press, 2005.
Barendt, Eric. An
Introduction to Constitutional Law. New York: Oxford University Press,
1998.
Fallon, Richard H. Jr.. Implementing the Constitution. Cambridge, Massachusetts, and London: Harvard University Press, 2001.
Field, G. Lowell. Government In Modern Society.
New York – Toronto – London: McGraw-Hill Book Company, Inc., 1951.
Jelić, Zoran. A
Note On Adolf Merkl’s Theory Of Administrative Law. Journal Facta
Universitatis, Law and Politics. Vol. 1
No. 2, 1998.
Kelsen, Hans. General
Theory of Law and State. translated by: Anders Wedberg. New York; Russell
& Russell, 1961.
Mahfud MD., Moh. Dasar
Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta,
2001.
Montesquieu. The
Spirit of the laws. Translated by
Thomas Nugent. London: G. Bell & Sons, Ltd, 1914.
Phillips, O. Hood
and Paul Jackson. Constitutional And Administrative
Law. Eighth Edition. London: Sweet & Maxwell, 2001.
Simanjuntak,
Marsillam. Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur, dan Riwayatnya
dalam Persiapan UUD 1945. Jakarta: Pustaka Grafiti, 1993.
Stewart, Ian. The
Critical Legal Science of Hans Kelsen. Journal of Law and Society, 17 (3), 1990.
Thompson, Brian. Textbook
on Constitutional Law & Administrative Law. Third Edition. London:
Blackstone Press Limited, 1997.
Tim Nasional
Reformasi Menuju Masyarakat Madani, Pokok-pokok
Usulan Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dan Pemilihan Presiden Secara
Langsung, dipresentasikan di hadapan Pimpinan dan
Anggota Dewan Pertimbangan Agung RI pada tanggal 15 Juni 1999 di Jakarta.
Yamin, Muhammad. Naskah
Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Jilid Pertama. Jakarta: Yayasan
Prapanca, 1959.
[1]
Bahan disampaikan pada acara Seminar “Membangun Masyarakat Sadar Konstitusi”,
yang diselenggarakan oleh DPP Partai Golkar, Jakarta, 8 Juli 2008.
[2]
Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
[3] Brian Thompson, Textbook on
Constitutional and Administrative Law, edisi ke-3, (London: Blackstone Press ltd., 1997), hal. 3.
[4] Bandingkan dengan kesimpulan yang
dikemukakan oleh Brian Thompson tentang Konstitusi Inggris, “In other words
the British constitution was not made, rather it has grown”. Ibid.,
hal. 5.
[5] O. Hood Phillips, Constitutional
and Administrative Law, 7th ed., (London:
Sweet and Maxwell, 1987), hal. 5.
[6] Lihat misalnya Brian Thompson, op.
cit., hal. 5.
[7] J. Bryce, Studies in History and
Jurisprudence, vol.1, (Oxford: Clarendon Press, 1901), hal. 151.
[8] Lihat kasus Marbury versus Madison (1803) 5-US, 1
Cranch, 137, dalam Brian Thompson, Op. cit., hal. 5.
[9] William G. Andrews, misalnya, dalam
bukunya Constitutions and Constitutionalism, 3rd edition, menyatakan: “The members of a
political community have, bu definition, common interests which they seek to
promote or protect through the creation and use of the compulsory political
mechanisms we call the State”, (New Jersey: Van Nostrand Company, 1968),
hal. 9.
[10] Sidang Tahunan MPR dikenal pada masa reformasi
berdasarkan Pasal 49 dan Pasal 50 Ketetapan MPR No. II/MPR/1999 tentang
Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
[11]
Ditetapkan pada 19 Oktober 1999.
[12]
Ditetapkan pada 18 Agustus 2000.
[13]
Ditetapkan pada 9 November 2001.
[14]
Ditetapkan pada 10 Agustus 2002.
[15] Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan
Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, Makalah Disampaikan
dalam Simposium yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen
Kehakiman dan HAM, 2003, hal. 1.
[16]
Hasil perubahan ketiga UUD 1945.
[17]
Penjelasan UUD 1945 dalam proses perubahan UUD 1945 dihilangkan dengan
memasukkan ke dalam materi batang tubuh.
[18]
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Edisi
Revisi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 152.
[19]
Asshiddiqie, Op Cit., hal. 154-162.
[20]
Otoritas konstitusi berasal dari kekuasaan konstituen, yaitu otoritas yang
berada di luar dan atas sistem yang dibentuk. Dalam negara demokratis, pemegang
kekuasaan konstituen adalah rakyat. Brian Thompson, Op. Cit.
[21]
Eric Barendt, An Introduction to Constitutional Law, (New York: Oxford
University Press, 1998), hal. 2-7.
[22]
Hasil perubahan keempat UUD 1945. Sebelum dilakukan perubahan, diterima oleh
umum bahwa UUD 1945 terdiri dari pembukaan, batang tubuh, dan penjelasan.
[23]
Richard H. Fallon, Jr., Implementing the
Constitution, (Cambridge, Massachusetts, and London; Harvard University
Press, 2001), hal. 37 – 38.
1 comment:
Golden Nugget Casino and Resort Map - MapyRO
Golden Nugget Hotel and Casino · Golden Nugget 제주 출장안마 Hotel and Casino · Golden Nugget Hotel 구리 출장안마 and Casino 광주광역 출장마사지 · Golden 세종특별자치 출장샵 Nugget Hotel and Casino · Golden Nugget Hotel and Casino · Golden Nugget Hotel and 성남 출장마사지
Post a Comment