Wednesday, September 12, 2012

SESUCI HUMAIRA

SESUCI HUMAIRA
Hembusan bayu yang dingin bersama lautan yang membisu petang itu
menyebabkan seorang usahawan muda, Firdaus namanya, mengenang
kembali kisah silamnya yang penuh suka duka.
Humaira......begitulah nama seorang gadis yang amat dikasihinya 10 tahun
lalu yang kini hanya tinggal kenangan.
Waktu pemeriksaan ujian masuk universitas yang akan mereka masuki itu
hanya tinggal dua hari saja. Mereka telah berjanji untuk bersama-sama
meneruskan pelajaran di sana dan bersama-sama memperoleh hasil yang
cemerlang ke menara gading, impian mereka selama ini. Walaupun begitu,
betullah kata pepatah, "Kusangkap panas sampai petang, rupanya hujan di
tengah hari," bisik hati kecil Firdaus ketika mendapati dirinya gagal
mendapat tempat di menara gading itu sedangkan Humaira berhasil
dengan gemilang.
"Humairah...," kata Firdaus perlahan petang itu. "Sesungguhnya ada satu hal
yang hendak Fir sampaikan dan semoga Humaira tidak mengecewakan Fir."
Humaira yang tadinya masih dalam sedu sedan tangisnya karena kegagalan
Firdaus, tiba-tiba terhenti lalu memandang wajah Firdaus dengan penuh
keheranan.
"Sebenarnya, telah lama kusimpan perasaan ini, namun demi pelajaran kita
dulu, kusimpan ia hingga hari ini. Humaira...sebelum kau ke menara gading,
ingin kunyatakan bahwa aku terlalu menyayangi dirimu teman hidupku,"
kata Firdaus penuh harapan.
"Fir...apakah kata-kata itu datang dari hati Fir yang ikhlas ?" tanya Humaira
ingin mendapatkan kepastian. "Ya, Humaira, semoga Humaira tidak
mengecewakan Fir," sambung Firdaus lagi. Humaira tunduk malu tanda
setuju.
Mereka pun mengikat tali pertunangan setelah mendapat persetujuan dari
kedua belah pihak keluarga dan akan melangsungkan perkawinan tiga
tahun lagi, setelah Humaira menamatkan belajarnya di universitas.
Dalam usia setahun pertunangan mereka, hanya surat dan telefon yang
menjadi penghubung antara mereka dan bertemu bila Humaira pulang
liburan.
Masuk tahun kedua pertunangan mereka, Firdaus merasakan sesuatu yang
berbeda dengan Humaira. Kalau dulu, isi suratnya mengenai ketidaksabaran
menemui Firdaus, tetapi kini...cuma menasihati Firdaus supaya tidak
meninggalkan sholat liwa waktu, jadi hamba Allah yang taat dan macammacam
lagi. Beberapa risalah bercorak Islam juga sering disertakan bersama
suratnya
buat Firdaus.
Di tahun ketiga Humaira di universitas, Firdaus merasakan dirinya dan
Humaira semakin jauh, tidak seperti dulu lagi. Dulu, meeka begitu mesra
sekali tetapi sekarang...semuanya sepi, beku dan kaku! Setiap kali Firdaus
menelepon Humaira, jarang dia dapat berbicara sendiri dengan Humaira.
Kalau dapat pun tiada lagi tawa riang macam dulu, malah semuanya serius!
"Kenapa ?"
bisik hati kecil Firdaus.
Firdaus mencoba menelepon Humaira lagi pada suatu ketika dengan
harapan semoga Humaira sudi keluar bersamanya karena dia telah begitu
rindu kepada Humaira.
"Assalamu'alaikum," bunyi suara yang menyambut telepon. Firdaus merasa
pasti bahwa itu suara Humaira yang dirindukannya. "Humaira ?" tanya Firdaus
tanpa menjawab salam yang diberi. "Ya, Humaira di sini, siapa ini ?" tanya
Humaira. "Hai...tunangan sendiri pun sudah tak kenal ?" kata Firdaus dengan
nada merajuk. "Oh!...Firdaus,"jawab Humaira agak kaget. "Fir ingin mengajak
Humaira ke Restoran Jamilah, tempat kita selalu makan dulu, Fir akan jemput
Humaira jam 8 malam ini, OK ?" kata Firdaus penuh harapan.
"Maaf, Fir, Humaira agak sibuk sekarang," balas Humaira. "Hai! Tak ingin
ketemu tunangan sendiri lagi ? Tak ingin seperti orang lain atau seperti kita
sewaktu di awal-awal pertunangan dahulu ? Ada apa dengan engkau,
Humaira? Kau selalu menolak ajakan Fir dengan alasan yang bermacammacam,"
keluh Firdaus dengan suara yang agak keras.
"Begini, Fir...sebenarnya antara kita masih belum ada apa-apa ikatan yang
sah, cuma bertunangan dan bertunangan juga tidak boleh dijadikan tiket
untuk kita berdua-duaan tanpa mahram dan hukumnya adalah haram,"
kata Humaira
menjelaskan alasan kenapa dia enggan memenuhi ajakan Firdaus. "Wah!
Wah!
Wah...! Sejak kapan engkau jadi ustadzah nih ? Setahu Fir, Humaira sekolah
ambil jurusan Ekonomi, bukan Syari'ah atau Ushuluddin," kata Firdaus sekali
lagi dengan nada kesal.
"Ini bukan masalah ustadzah atau bukan ustadzah, Fir...tetapi, setiap orang
Islam mesti mengetahui halal dan haramnya sebelum melakukan sesuatu
agar tidak dimurkai Allah SWT. Maaf, Fir...Humaira tak dapat memenuhi
permintaan Fir untuk keluar berdua. Humaira rasa lebih baik Fir berjumpa
dengan keluarga Humaira jika ada hal yang hendak dibincangkan," jelas
Humaira
dengan harapan Firdaus memahaminya.
"Ah! Sudahlah Humaira, aku sudah bosan dengan engkau, itu tak boleh...ini
haram...itu haram. Mulai hari ini antara kita telah putus dan tiada apa-apa
ikatan lagi," sambung Firdaus marah.
"Fir, bukan itu maksud Humaira," kata Humaira yang agak terkejut dengan
keputusan Firdaus. "Ya, Humaira...aku rasa lebih baik kita putuskan saja tali
pertunangan kita ini karena antara kita sudah tiada penyesuaian lagi,
pergilah kau dengan da'wahmu dan biarkan aku dengan cara hidupku,"
kata Firdaus penuh ego.
Suasana sepi seketika, Firdaus tahu Humaira terkejut dengan keputusan dan
kekerasan kata-katanya. "Fir," Humaira memulai lagi kata-katanya.
"Andai itu sudah menjadi keputusan Fir, apa boleh buat, cuma do'a Humaira
semoga suatu hari nanti Allah membuka hati Fir dan menjadi hamba-Nya
yang ta'at dan sama-sama dalam perjuangan Islam yang suci," kata
Humaira tenang.
"Selamat tinggal Humaira!" kata Firdaus memutuskan percakapan sambil
menghempaskan gagang telepon. Fikiran Firdaus terganggu akibat
perpisahan dengan Humaira, satu-satunya gadis yang sangat dikasihinya.
Tapi lama-kelamaan, Firdaus dapat melupakan Humaira...sehingga dua
tahun kemudian ketika tiba-tiba seorang lelaki yang tidak dikenalinya
memberi salam muncul di pintu kantornya.
Dari air mukanya yang bersih dan pakainnya yang kemas, Firdaus yakin dia
seorang yang baik dan punya kedudukan tinggi.
"Wa'alaikumussalam, silakan duduk," jawab Firdaus sambil mengulurkan
tangannya menyambut salam tamu itu. "Apa yang bisa saya bantu, Saudara
?"
tanya Firdaus.
"Sebenarnya, begini...saya Dr. Abdur Rahman, baru pulang dari England tiga
minggu yang lalu dan bertugas di Rumah Sakit di kota ini. Kedatangan saya
ini untuk menyampaikan barang yang dikirimkan buat Saudara."
"Barang?" tanya Firdaus penuh keheranan karena setahunya dia tidak
pernah membuat pesanan barang apa-apa dari England. "Barang ini dari
saudari Humaira binti Muhammad, pasti Saudara mengenalinya," kata lelaki
itu.
"Humaira !" terlontar lagi perkataan itu dari mulut Firdaus setelah dua tahun
dia telah melupakan nama itu.
"Humaira telah pergi buat selama-lamanya setelah mendapatkan
kecelakaan lalu lintas sewaktu di kota London. Kebetulan isteri saya adalah
sahabat karibnya semasa sama-sama menuntut ilmu di sana. Beberapa hari
sebelum kejadian itu dan sebelum kami pulang ke Malaysia, Humaira benarbenar
meminta kami untuk menyampaikan barang ini buat Saudara. Seolahlah
dia tahu bahwa dia tidak akan bersama kita lagi," papar Dr. Abd
Rahman.
Bagaikan dipanah petir jantung Firdaus menerima berita yang tidak pernah
terduga olehnya selama ini. Lantas, Firdaus menutupkan kedua tangannya
ke wajah tanda kesedihan yang amat sangat, karena sesungguhnya
Humaira masih
di hatinya.
"Bersabarlah saudara, kesemuanya adalah kehendak Allah. Allah lebih
menyayanginya. Humaira adalah gadis yang baik dan ta'at akan perintah
Allah," kata Dr. Abd Rahman menenangkan keadaan sambil memegang
bahu Firdaus. Setelah dilihatnya Firdaus agak tenang, dia pun meminta diri
untuk pulang.
Firdaus segera membuka kiriman Humaira buat dirinya. Terdapat surat di
dalamnya. Firdaus membuka surat itu dengan tangan yang gemetar
menahan kesedihan.
"Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang," bunyi
kepala surat Humaira.
"Menemui Saudara Firdaus yang saya hormati semoga di bawah lindungan
Allah dan semoga lembaran ini menemui Saudara dalam keadaan kita
sama-sama beriman kepada Allah SWT. Maaf, seandainya lembaran yang
tidak diundang ini mengganggu situasi saudara Firdaus saat ini. Humaira tahu
tidak ada alasan bagi Humaira harus menghubungi saudara Firdaus lagi
setelah perpisahan dulu. Tetapi karena Islam dan tidak sanggup melihat
sesama Muslim terus lalai dalam arus jahiliyyah ini, maka Humaira tabahkan
hati untuk menulisnya. Saudara Firdaus yang saya hormati...ketahuilah
bahwa apa yang kita lakukan selama ini adalah merupakan rencana syaitan
laknatullah dan musuh Islam untuk meruntuhkan generasi muda Islam agar
Islam tidak tertegak di
bumi Allah ini. Kita adalah di antara yang telah menjadi mereka lantaran
dangkalnya kepahaman diri kita mengenai Islam.
Saudara Firdaus...kembalilah kepada Islam yang suci, kembalilah kepada
fitrah asal kejadian manusia yang seharusnya ta'at kepada Allah, tetapi
lantaran keegoan dan tunduk kepada hawa najsu, manusia lupa akan
pencipta-Nya sendiri.
Harapan Humaira, carilah kebenaran dalam sisa usia yang masih ada ini dan
bertaubatlah atas kesalahan yang lalu. Binalah satu kehidupan baru
berlandaskan Islam. InsyaAllah, saudara Firdaus akan berbahagia dunia dan
akhirat. InsyaAllah sahabat Humaira bernama Dr. Abd Rahman yang tinggal
di no. 2 Jalan Makmur di kota ini bisa membantu saudara Firdaus untuk
mencari kebenaran itu." Firdaus berhenti sebentar dan terbayang kembali di
pelupuk matanya wajah orang yang datang menemuinya baru saja. Lalu dia
meneruskan membaca surat Humairah,
"Bersama ini saya sertakan sebuah tafsir Qur'an khusus untuk saudara Firdaus,
semoga itu bermanfaat kepada saudara Firdaus. Akhir kata, dan doa dari
Humaira semoga Allah membuka hati saudara Firdaus dan menjadi hamba-
Nya yang ta'at dalam usaha mencari kebenaran ini. Sekian, dari Humaira,
semoga Allah SWT senantiasa bersama kita."
"Humairah...kenapa engkau tinggalkan aku...sesungguhnya aku masih
menyayangi dirimu," itulah kata-kata yang keluar dari mulut Firdaus
ketika selesai membaca surat Humaira. Sejak peristiwa itu, Firdaus mulai
berubah. Dia selalu lengket dengan sajadahnya yang sebelumnya jarang
sekali digunakan dengan alasan kesibukan dengan tugas-tugasnya di
kantor.
"Oh! Tuhan...ampunilah dosa hamba-Mu ini, sesungguhnya, aku telah lalai
dari mengingati-Mu selama ini. Pandulah hamba-Mu ini mencari kebenaran
di muka bumi-Mu ini dan tempatkanlah arwah Humaira bersama orangorang
yang
beriman, Ya Allah...Amin Ya Robbal'Alamin, kata Firdaus di suatu shubuh
yang dingin hingga manik-manik jernih jatuh menuruni pipinya tanpa dia
sadari.
Firdaus bergegas bangun dari sholat shubuh itu dan terus mempersiapkan tas
kantornya ketika dia teringat alamat yang diberi Humaira. Selesai sarapan,
Firdaus terus melaju dengan mobil Honda Accord merahnya mencari
rumah Dr. Abd Rahman dengan penuh harapan.
"Assalamu'alaikum!" kata Firdaus. "Walaikumussalam," jawab Abd Rahman.
Hati Firdaus melonjak gembira terkaannya tepat dan bersyukur Dr. Abd
Rahman ada di rumah waktu itu. Sengaja Firdaus pergi ke rumahnya pada
hari Ahad karena jika hari lain, pasti beliau tiada di rumah karena "on-call"
dari Rumah Sakit.
Setelah lama bercakap-cakap, Firdaus pun menyatakan maksud
kedatangannya, yaitu agar Dr. Abd Rahman sudi membimbing dirinya
dalam mengenal Islam dan mencari kebenaran di bumi Allah ini
sebagaimana yang diharapkan oleh
Humaira selama ini. Namun, bagi Firdaus, dia melakukan semua ini bukanlah
semata-mata karena Humaira tetapi atas kesadaran dan keinsyafan yang
ada dalam dirinya serta taufiq dan hidayah Allah SWT.
"Syukurlah, saudara telah insyaf, semoga Allah senantiasa bersama kita," kata
Dr. Abd Rahman. Firdaus pun permisi pulang ketika dilihatnya jam sudah
menunjukkan 11 pagi, yang berarti dia telah dua jam berada di rumah Dr.
Abd Rahman hari itu. Firdaus memeluk Dr. Abd Rahman tanda terima kasih
dengan linangan air mata, penuh keinsyafan dan harapan.
Sejak saat itu, Firdaus pun mulai mengetahui dan memahami mengapa
Humaira begitu menghindarkan diri darinya apabila diajak berjumpa suatu
ketika dulu.
"Benar kata-katamu dulu, lelaki dan perempuan yang bukan mahram, haram
berdua-duaan dan jubah serta kerudung yang kau pakai dan yang kubenci
dulu itu adalah cara pakaian wanita Islam. Oh!...Humaira sungguh suci dan
mulia dirimu,"
kata Firdaus penuh keinsyafan.
"Humaira! Andai kau masih ada, pasti kujadikan dirimu teman hidupku dan
isteriku yang bakal mendidik anak-anak kita supaya menjadi anak yang
shalih. Juga karena aku yakin engkau pasti dapat membantuku dalam
perjuangan suci ini, sebagaimana sayyidina Khadijah dan 'Aisyah r.a.
membantu perjuangan suami mereka, Rasulullah SAW."
Lamunan Firdaus tiba-tiba terhenti ketika titik-titik air hujan yang turun secara
mengejutkan petang itu membasahi tubuhnya. Lalu ia pun berdo'a,
"Ya Allah, kupanjatkan syukur hamba kepada-Mu karena telah membuka
hatiku dan juga karena telah menemukan hamba dengan Humaira, yang
telah banyak memberi kesadaran sebelum hamba tersesat lebih jauh dari
jalan-Mu. Semoga arwahmu ditempatkan bersama mereka yang beriman
wahai Humaira, gadis yang suci.....Amin Ya Robbal'aalamiin.

No comments: