Wednesday, November 7, 2012

keimana Abi thalib

MENGUNGKAP KEIMANAN ABÎ THÂLIB; Perspektif Buku Asnâ Al-Mathâlib Fî Najâh Abî Thâlib Karya Zainî Dahlân - Kang Khoirul Anwar

MENGUNGKAP KEIMANAN ABÎ THÂLIB; Perspektif Buku Asnâ Al-Mathâlib Fî Najâh Abî Thâlib Karya Zainî Dahlân *

Oleh: Khoirul Anwar **

“Dalam buku Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib tertimbun segudang dalil yang bertalian dengan keimanan Abî Thâlib.”
[Shâlih al-Wardânî][1]

I. Prolog

Dalam wacana agama yang sudah mapan di tengah ummat Islam Abû Thâlib sering kali diklaim sebagai orang kafir dan kelak di akhirat akan menjadi penghuni setia Neraka, asumsi demikian dapat dimaklumi keberadaannya mengingat para “penganggit” kitab dalam beberapa statemennya seringkali mendaku pendapat tersebut sebagai suara mayoritas.

Sebagai sampel, misalnya Abû Zahrah dalam bukunya yang bertitel Khâtam al-Nabiyyîn Shallallah ‘Alaih wa Âlih wa Sallam menyatakan bahwa, “Abû Thâlib mati dalam keadaan syirik”. Menurutnya pendapat ini dikemukakan oleh suara mayoritas dari ulama` Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah, pakar fikih (fuqahâ`), dan ahli hadis. Sedangkan pendapat yang mewacanakan “keimanan Abû Thâlib dan keselamatannya di akhirat” oleh Abû Zahrah dituding sebagai pendapat ulama` berhaluan Syî’ah.[2]

Syahdan, klaim Abû Zahrah dan ulama` yang sependapat dengannya tak lebih dari “pepesan kosong” karena Ahmad bin Zainî Dahlân atau yang biasa dikenal dengan Zainî Dahlân, salah seorang “penjaga gawang” Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah dan seorang yang rajin mengkritik wahabi, menyatakan sebaliknya, yaitu mayoritas Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah berpendapat bahwa Abû Thâlib merupakan salah seorang yang beriman kepada Allah dan utusan-Nya dan kelak akan dimasukkan ke dalam Sorga selama-lamanya.

Pernyataan Zainî Dahlân ini terekam dalam karya intelektualnya yang bertitel Asnâ Al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib. Oleh karena itu kitab ini sangat urgen untuk dikaji mengingat wacana keagamaan yang diyakini oleh umat Islam bertentangan dengan “keyakinan yang sesungguhnya”.

A.       Identitas Buku Asnâ Al-Mathâlib Fî Najâh Abî Thâlib
Buku Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib (mempermudah beberapa pencarian dalam keselamatan Abî Thâlib) ditulis oleh ulama` termuka di masanya (farîd al-‘Ashr wa al-awwân), Ahmad bin Zainî Dahlân, yang lahir di Kota Makkah pada 1232 H. (1817 M.) dan wafat di Madinah pada 1304 H. (1886 M.), ia dikenal sebagai orang yang membidangi semua ilmu; fikih, hadis, sejarah, teologi, dan yang lainnya. Buah karyanya sangat banyak sekali, antara lain; al-Futûhât al-Islâmiyyah, al-Jadâwal al-Mardliyyah fî Târîkh al-Dual al-Islâmiyyah, Khulâshah al-Kalâm fî `Umarâ` al-Balad al-Harâm, al-Fath al-Mubîn fî Fadlâ`il al-Khulafâ` al-Râsyidîn wa Ahl al-Bait al-Thâhirîn, al-Sîrah al-Nabawiyyah, Risâlah fi al-Rad ‘ala al-Wahâbiyyah, Asna al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, dan yang lainnya.[3] Selama hidupnya ia hanya digunakan untuk mengabdikan diri kepada ilmu dan masyarakat, belajar, mengajar, dan mengarang. Ia pernah menjadi guru besar di Masjid al-Haram dan menjabat sebagai Mufti madzhab Syafi’î.[4] Sangkin banyaknya hafalan hadis yang ia miliki para ulama` memujinya dengan mengatakan, “Kitab shahîh Bukhâri bagi Zainî Dahlan bagaikan surat al-Fâtihah.”[5]

Di telinga santri nama tersebut tidak asing lagi karena di samping para ulama Nusantara banyak yang berguru kepadanya juga hampir semua ilmu yang diajarkan di pesantren memiliki “genealogi sanad” bersambung kepadanya. Zainî Dahlân dikenal sebagai salah satu ulama` yang memperjuangkan aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah di tengah gebyar aliran wahabiyyah, hal ini tercermin dalam beberapa buah karyanya yang khusus ia sajikan untuk “menelanjangi” dan menyingkirkan paham tersebut, antara lain; Risâlah fi al-Rad ‘ala al-Wahâbiyyah, Fitnah al-Wahâbiyyah, Khulâshah al-Kalâm, dan al-Durar al-Saniyyah fi al-Radd ‘ala al- Wahâbiyyah.

Buku Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib sebagaimana yang tercermin dalam titelnya berisi tentang pembahasan keimanan Abî Thâlib. Melalui buku ini yang terdiri dari lima pembahasan pokok (baca: bab); bab menetapkan keimanan (Bâb Itsbât al-Îmân), bab Abû Thâlib dan nabi Muhammad Saw. (Bâb Abû Thâlib wa al-Nabî), bab sya’ir Abû Thâlib (Bâb Syi’r Abû Thâlib), bab Abû Thâlib dan pertolongan (Bâb Abû Thâlib wa al-Syafâ’ah), dan bab keselamatan Abû Thâlib (Bâb Najâh Abû Thâlib), Zainî Dahlân hendak menyatakan bahwa Abû Thâlib termasuk orang yang beriman dan kelak di akhirat akan masuk Sorga.

Namun sebagaimana diakuinya sendiri bahwa buku ini tidak lebih dari komentar (syarh) atas karya al-Barzanjî (w. 1130 H.)[6] yang membahas tentang “keselamatan kedua orang tua nabi Muhammad Saw. (Najâh Abawaî al-Nabî Shallallah ‘Alaîh wa Sallam).”[7]

Dalam buku tersebut al-Barzanjî di samping mengkaji tentang keselamatan kedua orang tua nabi Saw. juga membicarakan keselamatan paman nabi Saw. yang bernama Abû Thâlib, dan ia berkesimpulan bahwa Abû Thâlib beriman kepada Allah dan utusan-Nya dan kelak di akhirat akan selamat. Namun karena –menurut Zainî Dahlân- pengkajian yang dilakukan oleh al-Barzanjî ini terlalu dalam sehingga menjadikan bukunya sulit dipahami khususnya bagi para pelajar tingkat pemula, Zainî Dahlân melaui Asna al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib mengurai pembahasan tersebut dengan bahasa yang mudah dan renyah sembari membuang pembahasan yang tidak memiliki relevansi dengan tema terkait serta menambahkan keterangan yang ia ambil dari kitab al-Mawâhib al-Laduniyyah dan al-Sîrah al-Halbiyyah.

B.       Konsep Iman Dan Islam
Sebagai pra wacana dalam mengungkap keimanan Abû Thâlib, Zainî Dahlân mengawali pembahasannya dengan menyuguhkan konsep iman di bawah judul “Bab menetapkan keimanan (itsbât al-îmân).” Menurut pendapatnya yang ia copy dari al-Barzanjî, pengertian iman ialah pembenaran hati terhadap ke-Esaan Tuhan dan risalah nabi Muhammad Saw., serta percaya bahwa semua pesan yang dibawa oleh nabi Saw. berasal dari Allah Swt. Sedangkan Islam adalah tunduk kepada Allah dengan menjalankan aktifitas dzahir yang diperintahkan-Nya.[8]

Islam bertali temali dengan anggota dzahir, sedangkan iman hanya bertalian dengan anggota batin. Kendati keduanya memiliki wilayah sendiri-sendiri namun dalam tataran praksisnya keduanya harus saling bertalian intim, bagai dua sisi mata uang yang dapat dibedakan namun tidak bisa dipisahkan. Untuk menjadi seorang mukmin harus menjalankan keduanya; percaya terhadap Tuhan yang maha Esa dan Utusan-Nya, dan mengakui secara lisan dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Sehingga apabila “islam” berjauhan dengan “iman” maka seseorang tidak bisa menjadi “mu’min” sebagaimana yang terjadi pada diri orang munafiq, mereka mengucapkan dua kalimat syahadat dan tunduk terhadap hukum Tuhan (baca: berislam), namun di dalam hatinya ia mengingkari hal tersebut. Begitu juga yang terjadi pada diri orang yang mengakui ke-Esaan Tuhan dan risalah nabi Muhammad Saw. (baca: beriman) namun dzahirnya tidak mengakui, sebagaimana para pembesar Yahudi, hati mereka mengakui risalah nabi Muhammad Saw. namun dzahirnya mengingkari.

Keislaman orang munafiq tidak diterima oleh Tuhan karena di dalam hati mereka terdapat pengingkaran, ia hanya diakui oleh manusia di sekelilingnya saja. Sedangkan para pembesar Yahudi walaupun di dalam hati sebenarnya beriman, namun karena dzahirnya mengingkari padahal dalam kondisi normal maka keimanannya sama seperti keislaman orang munafiq, di sisi Tuhan tidak diterima.

Berbeda dengan situasi normal sebagaimana permasalahan di atas, apabila keadaan yang dialami seseorang tidak normal (li‘udzr) seseorang boleh untuk tidak menampakkan keislamannya, cukup islam di dalam hati (iman). Beriman namun secara dzahir tidak berislam karena terdapat halangan yang merintangi, bukan menentang, di sisi Allah dapat diterima. Kelak di akhirat akan dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang beriman (mukminîn), namun secara dzahir di dunia ia diperlakukan sebagaimana orang kafir, singkatnya berlabel kafir di dunia dan muslim di akhirat.[9]

Halangan dimaksud menurut Zainî Dahlân memiliki beberapa sebab, di antaranya; khawatir terhadap penganiayaan, apabila seseorang menampakkan keislamannya di muka umum maka ia akan disakiti atau dibunuh. Atau khawatir menyakiti salah satu dari anak-anak atau kerabat-kerabatnya. Dalam kondisi demikian seseorang boleh untuk menyamarkan keislamannya, bahkan apabila ia dipaksa untuk mengucapkan perkataan kufur ia diperbolehkan mengatakannya. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh Allah Swt. dalam QS. al-Nahl 106:

Barangsiapa yang kufur kepada Allah sesudah beriman (maka dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir, namun hatinya tetap tenang beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. 

Setelah mengajukan konsep keimanan yang diramu dari pemikiran al-Barzanjî dan ulama` lain yang seide Zainî Dahlân segera menerapkannya pada permasalahan yang dikaji, yaitu tentang keimanan Abû Thâlib. Menurutnya, keislaman Abû Thâlib berada dalam kondisi ‘udzur. Abû Thâlib sebenarnya beriman, namun ia tidak menampakkan keislamannya karena merasa khawatir akan terjadi hal-hal negatif yang menimpa kepada keponakannya, Muhammad Saw.[10]

Pada masa-masa awal berdakwah nabi Muhammad Saw. banyak mendapat serangan dari kafir Quraisy, namun berkat perlindungan pamannya, Abû Thâlib, serangan tersebut sedikit demi sedikit menjadi berkurang. Hal ini karena sejak Abdul Muthallib (kakek nabi Muhammad Saw./ayah Abdullah dan Abû Thâlib) wafat kepemimpinan Quraisy dikendalikan oleh Abû Thâlib, sehingga Abû Thâlib mendapat tempat yang sangat baik dan berpengaruh di kalangan suku Quraisy, ia sangat disegani oleh mereka, bahkan perlindungannya pun kepada nabi Muhammad Saw. diterima oleh mereka tanpa kecurigaan sedikitpun.

Kafir Quraisy menerima hal tersebut lantaran mereka beranggapan bahwa Abû Thâlib melindungi nabi Muhammad Saw. karena didorong oleh rasa ikatan darah (Himyah), bukan karena membela agama yang dibawanya (Ittibâ’). Anggapan seperti ini diperkuat dengan kesaksian mereka bahwa Abû Thâlib masih setia mengikuti agama leluhurnya yang berlaku dikalangan suku Quraisy.

Oleh karena itu andai masyarakat Quraisy mengetahui bahwa ternyata Abû Thâlib telah masuk ke agama Islam dan mengikuti nabi Muhammad Saw. maka mereka tidak akan pernah menerima perlindungannya yang diberikan kepada nabi Muhammad Saw., mereka akan membabi buta dalam menyerang nabi Saw. dan berbuat lebih kasar ketimbang sebelumnya, bahkan akan segera membunuhnya.

Fenomena demikian jelas menjadi halangan besar bagi Abû Thâlib untuk berterus terang dalam beragama, sehingga kepercayaan keagamaannya pun hanya ia semayamkan di dalam hati. Hal ini pula yang menjadikan Abû Thâlib terkadang “bermuka dua” sesekali ia menyampaikan perkataan-perkataan yang menunjukkan keislamannya, namun dalam satu kesempatan terkadang ia menyampaikan perkataan yang mengindikasikan bahwa dirinya masih tetap berpegang teguh dengan agama kaum Quraisy dan tidak mengikuti ajakan Rasulullah Saw.[11]

Sebagai penunjang gagasannya, Zainî Dahlan mengungkap persoalan yang bertalian dengan pernyataan dua kalimat syahadat yang telah dibahas oleh al-Barzanjî. Apakah mengucapkan dua kalimat syahadat termasuk bagian dari ketentuan iman (musammâ al-Îmân), atau hanya sebagai persyaratan pemberlakuan hukum di dunia (al-Ahkâm al-Dunyawiyyah).? Jika pengucapan tersebut menjadi ketentuan keimanan maka orang yang tidak mengucapkannya dihukumi kafir dan berhak hidup di Neraka selama-lamanya. Namun apabila hanya sebagai persyaratan pemberlakuan hukum di dunia maka di sisi Allah dihukumi sebagai orang yang beriman dan apabila masuk Neraka hanya bersifat sementara, tidak abadi.[12]

Dalam menjawab persoalan ini Zainî Dahlan memilih pendapat yang menyatakan bahwa mengucapkan dua kalimat syahadat hanya sebagai persyaratan pemberlakuan hukum di dunia, bukan sebagai syarat keabsahan iman. Karena sebagaimana yang dikatakan Al-Safâqasî dalam Syarh al-Tamhîd bahwa iman adalah membenarkan. Sehingga yang terpenting pengakuan di dalam hati, bukan penampilan luar.[13]

Al-‘Ainî dalam Syarh al-Bukhârî mengatakan, “pengakuan dengan lisan merupakan syarat pemberlakuan hukum. Sehingga orang yang membenarkan ajaran yang dibawa nabi Muhammad Saw. berarti ia mu’min di sisi Allah walaupun di lisan ia tidak mengakuinya.”

Pendapat seperti ini juga diungkapkan oleh para pembesar Ahl al-Sunnah lainnya seperti Abû Hanîfah, Abû al-Hasan al-Asy’arî, Abû Manshûr al-Mâturîdî, ‘Idludd al-Dîn, Imâm al-Haramain, al-Bâqillânî, Abû Ishâq al-Isfirâyinî, dan yang lainnya. Bahkan al-Ghazâlî dalam karya monumentalnya, Ihya` ‘Ulûm al-Dîn, dan al-Taftâzânî, menetapkan pendapat ini sebagai madzhab Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah.[14]

Di samping berpijak pada pendapat para ulama` Zainî Dahlân -dengan mengutip dari al-Barzanjî- juga mendasarkan pendapatnya pada beberapa hadis nabi Muhammad Saw.[15] Di antaranya hadis yang diriwayatkan oleh ‘Imrân bin Hushain:

من علم أن الله ربه وإني نبيه صادقا عن قلبه حرم الله لحمه على النار

Barang siapa mengetahui bahwa sesungguhnya Allah adalah Tuhannya, dan aku nabinya sembari membenarkan di dalam hati maka Allah mengharamkan dagingnya masuk Neraka.”

Hadis riwayat Muslim, dari ‘Utsmân bin ‘Affân bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

من مات وهو يعلم أن لاإله إلاالله دخل الجنة

Orang yang meninggal dunia dan ia tahu bahwa tiada Tuhan selain Allah maka ia akan masuk Sorga.” 
Hadis riwayat Thabrânî dari Salmah bin Nu’aim al-Asyja’î bahwa Rasulullah Saw. bersabda: 

من لقى الله لايشرك به شيئا دخل الجنة، قال: قلت يارسول الله وإن زنى وإن سرق؟ قال: وإن زنى وإن سرق.

“Barang siapa bertemu Allah (meninggal dunia) dan ia tidak mensekutukan-Nya maka ia masuk Sorga. Salmah bertanya: Walaupun ia pernah melakukan zina atau mencuri ya Rasul? Nabi Saw. menjawab: (Ya), walaupun ia pernah berzina dan mencuri.”

Di samping persoalan di atas, masih dalam Bab pertama dalam bukunya, Zainî Dahlân mendedah permasalahan apakah dalam mengucapkan dua kalimat syahadat harus menggunakan lafadz khusus (لاإله إلاالله وأشهد أن محمدا رسول الله أشهد أن) atau boleh diganti dengan yang lain. Dengan mengutip pernyataan al-Barzanjî ia mengatakan bahwa pendapat yang kuat (al-Râjih) dikalangan para ‘ulama` ialah tidak harus menggunakan dua kalimat tersebut, melainkan menggunakan lafadz lain pun diperbolehkan sebagaimana dalam persaksian kepada Tuhan menggunakan kata “غير الله”, “ماعدا الله”, “سوى الله” “إلاالباري” sebagai ganti dari kata “إلاالله”. Dalam bersaksi kepada nabi Muhammad Saw. sebagai utusan Allah juga tidak harus menggunakan kalimat “وأشهد أن محمدا رسول الله” tapi boleh menggunakan lafadz lain seperti “محمد نبي الله”, “محمد مبعوث الله”, atau “أحمد الماحي.” Begitu juga boleh menggunakan bahasa lain selain bahasa Arab (al-Lughât al-‘Ajamiyyah).[16]
  
C.       Mengungkap Keimanan Abî Thâlib
Jika dalam bab pertama Zainî Dahlân mewejangkan konsep iman dan islam yang kemudian diterapkan pada keimanan Abû Thâlib, dalam bab kedua di bawah judul Abû Thâlib dan Nabi Muhammad Saw. (Bâb Abû Thâlib wa al-Nabî) dan bab ketiga dengan judul Sya’ir Abû Thâlib (Bâb Syi’r Abû Thâlib) melalui analisanya yang tajam ia membuktikan bahwa Abû Thâlib benar-benar seorang mukmin.

Dengan mengutip perkataan dari al-Barzanjî, Zainî Dahlân menyatakan bahwa riwayat yang memberikan informasi tentang kecintaan Abû Thâlib kepada nabi Muhammad Saw. sangat banyak sekali, antara lain sya’ir yang dikumandangkan olehnya:

ولقد علمت بأن دين محمد      #         من خير أديان البرية دينا

“Sesungguhnya aku benar-benar tahu bahwa agama Muhammad merupakan agama terbaik yang dimiliki makhluk di persada bumi ini.” 

ألم تعلموا أنا وجدنا محمدا      #         رسولا كموسى صح ذلك في الكتب 

“Apakah kalian tidak tahu bahwa sesungguhnya aku menemukan Muhammad sebagai utusan Tuhan sebagaimana Musa, (kerasulan Muhammad) benar adanya dan terungkap dalam semua kitab suci.”

إذا أجمعت يوما قريش لمفخر   #         فعبد مناف سرها وصميمها
فإن حصلت أنساب عبد منافها   #         ففي هاشم أشرافها وقديمها
وإن فخرت يوما فإن محمدا      #         هو المصطفى من سرها وكريمها 

“Pada suatu hari ketika kaum Quraisy berkumpul untuk membanggakan diri maka keturunan Abd Manâf menjadi hatinya.
Apabila keturunan Abd Manâf berkumpul maka keturunan Hâsyim orang-orang yang paling mulia (di antara mereka) dan pemimpinnya.
Apabila pada suatu hari nanti keturunan Hâsyim berada pada derajat termulia maka sesungguhnya Muhammad sebagai orang yang terpilih menjadi pemimpinnya dan termulia (di antara mereka).”[17] 

Sya’ir Abû Thâlib yang terakhir ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad Saw. yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah telah memilihku dari keturunan Hâsyim.”

Dalam mengomentari hadis nabi Saw. ini al-Barzanjî mengatakan, bahwa sya’ir yang pernah didendangkan oleh Abû Thâlib sesuai dengan wahyu yang diberikan kepada Muhammad Saw., karena beberapa saat setelah itu nabi mendapatkan wahyu bahwa dirinya telah terpilih menjadi manusia pilihan (al-Mushthafâ).”[18]
Dalam berbagai kesempatan Abû Thâlib juga sering berpesan (washiyyah) kepada orang-orang Quraisy untuk mengikuti nabi Muhammad Saw., ia mengatakan:

والله لكأني به وقد غلب ودانت له العرب ودانت له العرب والعجم فلا يسبقنكم إليه سائر العرب فيكونوا أسعد منكم 

“Demi Allah, sesungguhnya aku akan selalu bersama Muhammad, ia akan menang, orang Arab dan ‘Ajam akan bersatu karenanya. Oleh karena itu jangan sampai kalian didahului oleh orang Arab lain untuk mengikuti Muhammad, sehingga mereka lebih bahagia daripada kalian.” 

Wasiat untuk menjadi pengikut nabi Muhammad Saw. ini berulang kali Abû Thâlib sampaikan, baik kepada Banî Hâsyim maupun kepada semua orang Quraisy lainnya.[19] Dalam satu kesempatan lain Abû Thâlib juga berkata kepada orang Quraisy:

“Kalian akan selalu mendengarkan sebaik-baik perkataan dari Muhammad dan sebaik-baik tindakan yang akan kalian ikuti darinya. Oleh karena itu taatlah kepada Muhammad, niscaya kalian akan mendapatkan petunjuk.”[20] 

Bukan basa basi, bahkan jauh sebelum Muhammad Saw. diutus menjadi nabi, Abû Thâlib menyebutkan “kenabian Muhammad Saw.”, yaitu pada saat ia berkhutbah dalam acara pernikahan Muhammad Saw. dengan Khadîjah Ra.
Dalam khutbahnya Abû Thâlib mengatakan:

الحمد لله الذي جعلنا من ذرية إبراهيم وزرع إسمعيل وضئضئ معد وعنصر مضر، وجعلنا حصنة بيته وسواس حرمه، وجعل لنا بيتا محجوبا وحرما أمنا، وجعلنا الحكام على الناس. ثم إن ابن أخي هذا محمد بن عبد الله لايوزن برجل إلارجح شرفا ونبلا وفضلا وعقلا وهو والله بعد هذا له نبأ عظيم وخطر جسم. 

“Segala puji bagi Allah, Dzat yang telah menjadikan kita sebagai keturunan nabi Ibrahîm melalui nabi Isma’îl berpangkal pada Mu’ad dan berasal dari Mudlar, dan Dzat yang telah menjadikan kita sebagai penjaga rumah-Nya dari syaitan yang berada di tanah Haram, Dzat yang telah menjadikan rumah tertutup, mulia, dan aman untuk kita, Dzat yang telah menjadikan kita juru hukum untuk manusia. Sesungguhnya keponakanku ini, Muhammad bin Abdullah, tidak bisa dibandingkan dengan siapapun kecuali ia akan unggul kemuliaannya, kepintarannya, keutamaannya, dan kecerdasannya. Demi Allah, setelah ini Muhammad akan memiliki cerita yang besar dan derajat yang paling tinggi.”

Khutbah ini disampaikan jauh sebelum nabi Muhammad Saw. diutus menjadi nabi dengan selisih lima belas tahun.[21] Bayangkan, jauh-jauh hari sebelum nabi Muhammad diutus menjadi nabi, Abû Thâlib sudah melihat tanda-tanda kebaikan (tafarras) pada diri Muhammad, hal ini sudah cukup menjadi bukti bahwa ketika nabi Muhammad Saw. diutus Abû Thâlib seketika itu langsung beriman dan membenarkan risalahnya.

Abû Thâlib juga banyak meriwayatkan hadis nabi Muhammad Saw. dan beberapa kalimat lain yang mengindikasikan bahwa dirinya beriman, hatinya dipenuhi dengan keperpacayaan terhadap ke-Esaan Tuhan. Di antaranya hadis yang diriwayatkan oleh al-Khathîb al-Baghdâdî dengan sanad yang bersambung kepada Ja’far al-Shâdiq, Muhammad al-Bâqir, Zain al-‘Âbidîn, Husain, Ali bin Abî Thâlib, bahwa Ali bin Abî Thâlib mengatakan: Aku pernah mendengar Abû Thâlib berkata:

حدثني محمد ابن أخي وكان والله صدوقا. قال: قلت له بم بعثت يامحمد؟ قال: بصلة الأرحام وإقامة الصلاة وإيتاء الزكاة. 

“Muhammad, keponakanku, bercerita kepadaku dan demi Allah dia orang yang sangat jujur. Abî Thâlib berkata: Aku bertanya kepada Muhammad Saw., dengan apa engkau diutus wahai Muhammad? Muhammad menjawab: Dengan menyambung tali persaudaraan, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat.”

Dalam mengomentari hadis ini Zainî Dahlân menafsirkan kata shalat dengan dua macam; pertama, shalat dua raka’at sebelum matahari terbit dan dua raka’at sebelum matahari terbenam, shalat ini dilakukan pada masa-masa permulaan Islam. Kedua, shalat tahajjud, karena sejak nabi Muhammad Saw. diutus beliau diperintahkan Allah untuk melaksanakannya.

Shalat dalam hadis tersebut tidak boleh dipahami dengan shalat lima waktu sebagaimana sekarang, karena shalat lima waktu baru diwajibkan di malam Isrâ`, sementara Isrâ` sendiri baru dilakukan setelah Abî Thâlib wafat dengan selisih waktu satu tahun setengah. Abî Thâlib wafat pada pertengahan bulan Syawal tahun kesepuluh setelah nabi Saw. diutus dalam usia lebih dari delapan puluh tahun.

Kata zakat yang terdapat dalam hadis di atas juga menurut Zainî Dahlân tidak boleh ditafsirkan dengan zakat sebagaimana yang ada sekarang (al-Zakâh al-Syar’iyyah), melainkan zakat yang dimaksud adalah shadaqah secara mutlak, memuliakan tamu dan bentuk shadaqah harta lainnya, karena al-Zakâh al-Syar’iyyah dan zakat fitrah baru disyari’atkan setelah nabi Muhammad Saw. hijrah ke Madinah, dan ini terjadi setelah Abû Thâlib wafat.[22]
Al-Khathîb juga meriwayatkan hadis yang sanadnya berakhir kepada Abû Thâlib. Diceritakan oleh Abî Râfi’, hamba yang telah dimerdekakan oleh Ummi Hânî` bint Abî Thâlib, bahwa ia mendengar Abû Thâlib mengatakan:

حدثني محمد ابن أخي أن الله أمره بصلة الأرحام وأن يعبد الله لايعبد معه أحدا. قال ومحمد عندي الصدوق الأمين. 

“Muhammad, keponakanku bercerita kepadaku bahwa Allah telah memerintahkannya untuk menyambun

No comments: